4. Kenangan

13.8K 828 9
                                    

Jika kenangan saja susah dilupakan, apa kabar dengan perasaan?

●○○○●

Helaan napas keluar dari mulut Karen, diikuti tangannya yang ia renggangkan. Setelah berkutat dengan tugas yang diberikan oleh Rafa---asisten dosen pak Burhan, ia langsung merasakan pegal di sekujur lengannya. Bayangkan saja, ia harus merekap semua nilai dari mahasiswa yang diajar oleh dosen tersebut. Dan harus di selesaikan hari itu juga.

What the...

Karen langsung mengusap dadanya, ketika menyadari ia hampir saja mengumpat dengan kata-kata yang tak pantas. Ia masih merasa kesal akibat hukuman yang di berikan oleh Rafa kepadanya. Ia langsung membereskan kertas-kertas yang berserakan diatas meja yang saat ini tengah bertengger sebuah laptop dan secangkir teh.

Tadi memang Rafa menawari Karen mau makan dan minum apa, dan Karen mengatakan jika ia hanya ingin meminum teh saja.

"Bagaimana? Apakah sudah selesai?"

Anggukan pelan dari Karen membuat orang tersebut tersenyum puas, ia tidak salah memberikan pekerjaannya pada Karen.

"Tidak salah saya menyuruh kamu untuk menangani hal ini. Walaupun ini hukuman atas sikap kamu, saya akan memberikan tambahan nilai padamu. Sebagai tanda terima kasih."

Mata Karen berbinar mendengar tenaga tersebut, karena jarang sekali ia mendapatkan kesempatan emas seperti ini. Bila ditelusuri lebih jauh, Pak Burhan adalah dosen dengan tipikal sulit memberikan nilai bagus. Bukan karena pelit, melainkan tugas yang diberikannya harus sempurna. Jadi, jarang sekali ada mahasiswa yang mendapatkan nilai baik dalam mata kuliahnya.

"Terima kasih," gumam Karen.

Orang tersebut tersenyum kecil, "saya harap, kamu tidak mengulanginya, Saras."

Karen mengernyit bingung mendengar panggilan tersebut, hal itu terdengar asing di matanya, "Saras?"

"Namamu Karenina Saras Kinanti, bukan?"

Karen mengangguk, "iya itu memang nama saya, namun mengapa bapak memanggil saya seperti itu?"

"Don't call me like that, panggil saya Rafa. Saya tidak setua itu, usia kita sepertinya tidak terpaut terlalu jauh." Tukas Rafa.

"Baiklah, tapi saya masih penasaran mengapa bap--kamu memanggil saya dengan sebutan 'Saras'?" Karen menutup mulutnya karena hampir saja menyebut kata 'bapak' untuk Rafa.

Karen tau jika Rafa memang memiliki usia yang tak terpaut jauh darinya, mungkin 3 tahun? Entahlah, ia hanya kira-kira. Melihat cara berpakaian Rafa yang masih terlihat seperti mahasiswa, tak memperlihatkan jika ia seorang asisten dosen.

Rafa kembali tersenyum, namun kali ini terlihat lebih manis karena menampilkan lesung pipinya, "entahlah, saya lebih menyukai nama Saras untukmu. Tidak keberatan, bukan?"

Karen membalas senyum tersebut, "it's okay, gak masalah. Kalau begitu saya mau pulang jika tidak ada lagi pekerjaan, permisi."

"Tunggu!"

Karen yang tangannya telah menyentuh gagang pintu berhenti kemudian berbalik menghadap Rafa yang saat ini tengah menggenggam tangannya bergelantung bebas.

Keduanya menatap tangan mereka yang terpaut, kemudian mata mereka bertemu dalam waktu yang cukup lama. Hingga Karen memalingkan wajahnya karena malu, diikuti Rafa yang tersadar dan langsung mengerjapkan matanya. Perlahan, Rafa melepaskan tautan tersebut karena merasa canggung.

"Kenapa, Raf?" Tanya Karen setelah berhasil menguasai dirinya.

Rafa mengusap tengkuknya yang sebenarnya tak gatal, "kamu pulang naik apa?"

K H I A N A TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang