34. Sesak

7.5K 433 48
                                    

Rindu yang aku miliki semakin penuh, membuat dadaku terasa sesak karena sang penyebab terasa jauh dalam genggaman.

♤♤♤

Helaan napas lelah terdengar lirih dari seorang pemuda yang sedari tadi duduk di sebelah seseorang yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Matanya tak lepas dari orang yang beberapa waktu terakhir ini belum membuka mata sama sekali, membuat sang pemuda begitu merindukannya.

"Kak, kapan bangunnya?"

Hening.

"Masih lama ya tidurnya? Bangun dong," Kavi menundukkn kepalanya di atas punggung tangan sang Kakak yang bebas dari selang infus, "Kavi janji bakal traktir es krim sepuasnya deh." Kepala Kavi kembali mendongak, menatap sang Kakak yang masih betah memejamkan mata, "tapi kak Karen harus bangun, Kavi rindu..." suaranya melemah saat mengucapkan kata terakhirnya.

Untuk kali ini, Kavi membuang rasa gengsinya untuk mengungkapkan rasa sayang pada Kakaknya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan agar sang Kakak kembali membuka matanya. Meskipun terkadang sang Kakak berperilaku menyebalkan, tapi Kavi begitu menyayanginya.

Sebulir air mata jatuh di sudut mata Kavi, "Kakak harus bangun, jangan tidur terlalu lama. Mama, Papa dan semuanya rindu banget sama Kakak. Jadi, bangun ya Kak. Kavi mohon..."

Masih tak ada respon, hanya terdengar suara dari mesin penopang hidup seseorang yang sedang terbaring lemah. Hal tersebut membuat Kavi semakin putus asa, tidak tau lagi harus melakukan apa. Saat ia akan beranjak pergi, sebuah pergerakan menghentikannya. Jari sang Kakak mulai bergerak, dan tak lama ia segera menekan tombol yang berada di dekat tempat tidurnya.

♤♤♤

"Awww..."

Rafa langsung menoleh ketika mendengar suara rintihan yang suaranya tak lagi asing baginya. Saat melihat apa yang terjadi, wajahnya nampak panik dan langsung menghampiri orang tersebut.

"Ras, kamu kenapa?" Tanya Rafa sambil berjongkok saat melihat Karen yang selalu memegang kakinya.

Respon yang diberikan Karen hanya menggigit bibir bawahnya, menahan perih yang berasal dari telapak kakinya, "sakit..."

Rafa mendongak, "kalau mau nangis, nangis aja. Jangan ditahan..."

Dan tak lama, pecahlah tangis Karen saat merasakan bahwa duri-duri dari binatang laut yang menancap di telapak kakinya mulai dicabuti oleh Rafa dengan telaten. Duri-duri dengan ukuran yang begitu mungil, membuat Rafa harus sedikit kesusahan mencabutnya. Berulang kali ia menyiramnya dengan air, supaya memudahkan pekerjaannya.

"Tahan ya Ras, sebentar lagi selesai." Ucap Rafa saat mendengar Karen mendesis beberapa kali.

Awalnya, Karen dan Rafa berencana menepi setelah puas berfoto. Namun saat akan mensejajari langkah Rafa, tiba-tiba saja ada yang terasa menancap di kakinya. Setelah ia mengangkat kakinya, ia melihat sekumpulan duri membentuk pola abstrak pada telapak kakinya. Diawal tak terasa apa-apa, tapi lama kelamaan perih mulai menjalar di daerah kakinya.

"Sudah selesai," Rafa mengulurkan tangannya ke arah Karen, "bisa jalan?"

Karen mengangguk pelan, dan akhirnya Rafa memegang pelan lengan Karen. Menuntunnya untuk menuju tepi pantai, dan bisa memberi pertolongan pada kaki Karen. Pantai yang dalam keadaan surut, membuat Karen beberapa kali tergelincir. Untungnya, Rafa dengan sigap memegang Karen agar tidak terjatuh. Hal itu pula yang membuat Rafa akhirnya memilih untuk menggendong Karen karena tak tega. Dengan berjongkok di hadapan Karen, berharap agar si perempuan segera menaiki punggung.

Karen yang mengerti maksud Rafa, akhirnya pasrah dan dengan segera menaiki punggung Rafa. Ia melingkarkan tangannya di sekeliling leher Rafa, agar ia tak terjatuh.

Setelah sampai di tepian, Rafa mendudukkan Karen di sebuah kursi. Kemudian berpamitan untuk bertanya pada orang sekitar bagaimana menangani apa yang di alami Karen.

"Tidak apa-apa kok, Mas. Itu durinya kan warna putih, jadi gak berbahaya. Beda kasus kalau bulunya warna hitam, itu yang bahaya." Jawab seorang pria paruh baya yang merupakan penduduk asli di sekitaran pantai.

Dan mau tak mau, membuat Rafa bernapas lega, "terima kasih pak atas informasinya."

"Iya mas, sama-sama."

Rafa kembali menemui Karen dengan membawa sebotol air mineral, ia memberikan senyum lembut ke arah Karen yang menatapnya dengan mata sembab.

"Kamu tenang aja, kata bapak-bapak yang asli orang sini gak bahaya kok." Ucap Rafa setelah mendudukkan dirinya di sebelah Karen lalu menyerahkan botol mineral yang telah ia buka tutupnya.

"Beneran?"

"Iya," Rafa mengacak rambut Karen pelan, "diminum dulu airnya, suara kamu rada serak tuh."

Karen mengangguk, karena ia tenggorokannya terasa kering sehabis menangis tadi. Setelah setengah botol ia minum dengan sekali tegukan, ia kembalikan lagi pada Rafa yang langsung di teguk oleh lelaki itu sampai habis.

"Aku tadi udah panik ngeliat ringisan kamu waktu aku cabutin, gak tega. Tapi kalau dibiarin, takutnya bahaya. Jadi, antara tega gak tega tadi aku nyabutnya." Cerita Rafa, "sakit banget ya?"

Karen mengangguk mengiyakan, "iya. Apalagi pas waktu kamu cabutin, itu rasanya uhh..."

Tatapan Rafa melekat pada Karen, "sekarang kamu jangan jauh-jauh lagi dari aku, aku gak mau kejadian ini terulang."

♤♤♤

Tubuh tegap itu langsung tersentak dari tidurnya, napasnya memburu saat mimpinya lagi-lagi diisi oleh peristiwa demi peristiwa yang pernah ia lalui bersama Sarasnya. Tapi, masihkah Karen menjadi miliknya jika dilihat dengan apa yang telah dilakukannya selama ini.

Mengejarnya - mendapatkan - memberi banyak kenangan - lalu pada akhirnya menyakiti.

Hal itulah yang membuatnya tak bisa bertemu dengan perempuan yang sampai saat ini masih mengisi relung hatinya. Pantaskah dia menerima kesempatan kedua? Atau paling tidak kata maaf atas kesalahan yang telah di perbuatnya.

Saat melirik jam menunjukkan pukul delapan pagi, akhirnya ia memutuskan untuk mengunjungi basecamp pecinta alam. Ia ingin membuang sejenak pikiran yang merajainya beberapa waktu belakangan.

Sesampainya disana, ia melihat beberapa laki-laki yang tengah berbincang santai. Namun langkahnya terhenti, saat mendengar apa yang menjadi pokok pembahasan mereka.

"Eh, lo tau nama Kakaknya Kavi?"

"Kak Karen bukan sih, gue beberapa kali pernah ketemu." Timpal seorang lelaki dengan rambut gondrong.

"Ah iya," ucap si pemuda yang tadi bertanya, "gue dapet kabar nih katanya kakaknya udah sadar dari komanya."

Napas Rafa terhenti saat mendengarnya.

"Seriusan lo? Wah syukur deh, gue kasian kalo udah ketemu Kavi. Wajahnya kuyu banget."

"Bener banget, kadang gue nawarin diri buat bantu jaga. Tapi dia selalu nolak, gak enak katanya."

Tanpa mau mendengar kelanjutannya, Rafa langsung memutar arah tujuannya menuju rumah sakit tempat Karen dirawat. Urusan penolakan kehadirannya, itu urusan nanti. Yang penting ia bisa melihat wajah yang begitu dirindukannya.

Tunggu aku, Ras. Semoga kamu masih mau untuk bertemu denganku. Ucap Rafa dalam hati seraya berdoa semoga harapannya terkabul.

♤♤♤

Halo semuaaaa

Masih adakah yang membaca cerita ini?

Saya mengucapkan maaf sebesar-besarnya karena telah lama tidak update.

Karena berbagai ujian telah selesai di masa-masa terakhir SMA, jadi bisa update.

Terima kasih yang telah setia menunggu:)

Fany Faradila,
12 April 2019

K H I A N A TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang