10th

9.1K 300 0
                                    

Amara mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali saat cahaya lampu masuk ke retinanya. Dia berusaha menggerakkan tangannya yang terasa kaku, lalu mengusap matanya. Yang pertama kali terlihat adalah langit-langit yang berwarna putih pucat.

"Akhirnya kau bangun juga." Suara berat itu membuat kedua mata Amara melebar. Spontan dia mendudukkan tubuhnya dan menatap seorang pria yang tengah berdiri sambil melipat tangannya. Penampilan pria itu tampak kacau. Jas yang sudah tersampir di atas sofa, lengan kemeja putihnya sudah dilipat hingga siku, dua kancing teratasnya terbuka dan dasinya sudah terbang entah ke mana.

Amara menghiraukan ucapan pria arrogant itu, matanya menjelajahi setiap sudut ruangan itu dan hidungnya mampu mencium bau obat-obatan. Jika kalian berpikiran bahwa dia di rumah sakit, maka kalian tidak salah.

"Kenapa aku di sini?" tanya Amara serak khas orang baru bangun. Dia hendak meraih gelas yang berada di atas nakas samping tempat tidurnya. Tetapi, Fernandes mendahuluinya dan memberikannya pada Amara. Laki-laki gentleman.

"Kamu pingsan." Hanya dua buah kalimat dan itu mampu membuat Amara mengingat semuanya. Mengingat soal Fernandes yang menggodanya dan perasaan deja vu tersebut.

"Dan aku baik-baik saja, 'kan?" tanya Amara dengan suara kecil, tapi Fernandes masih dapat mendengarnya.

"Tidak! Kau tidak baik-baik saja. Kau sedang mengandung."

Amara membelalakkan matanya. "Jangan bercanda!!!"

Wajah Fernandes terlihat serius. "Tidak. Aku tidak bercanda. Kau mengandung anakku."

Amara menggeleng keras. "Mana mungkin. Kau hanya memelukku. Jadi, mana mungkin aku hamil. Lagipula itu belum terjadi lebih dari 24 jam."

Fernandes mendekat, lalu menyentuh perut Amara. "No, Amour. Di sini ada dia, anak kita, buah cinta kita."

Amara menggeleng tegas. "Impossible! Jangan bilang kau mencuri kesempatan saat aku pingsan."

"Bisa jadi," jawab Fernandes dengan santai. Amara melotot ke arahnya dan tawa Fernandes meledak seketika. Fernandes menghentikan tawanya, lalu menggeleng kecil. "Kamu lucu sekali, Amour."

"You jerk!" umpat Amara. Dia berdiri kemudian berjalan ke arah Fernandes dengan tatapan sulit diartikan. Fernandes mengangkat sebelah alisnya sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya—kiri dan kanan.

Tangan kanan Amara terulur untuk menyentuh wajah tampan Fernandes. Tangannya menjelajahi bulu-bulu halus yang mengelilingi rahang Fernandes dengan pelan dan lembut. Kemudian, jari telunjuknya menelusuri garis hidungnya. Fernandes sangat menikmati sentuhan ini dan mulai menutup matanya. Amara mengelus pipi Fernandes lembut lalu berucap, "Kau membuatku terjebak dalam permainanmu. Kau menyalakan api kecil menjadi api besar yang luar biasa. Kau tahu, untuk pertama kalinya aku tidak bisa mengontrol diriku. Karena bara api itu menguasai jiwaku."

Dan plak. Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Fernandes. Spontan Fernandes membuka matanya dan menatap tajam amara.

"Kau!!!"

"Itu hadiah karena kau sudah berani menggodaku, Fernandes Hugo!"

Fernandes mencengkram tangan amara kuat hingga Amara mengaduh kesakitan.

"Sakit!"

Fernandes tidak peduli dan semakin mencengkramnya kuat. "Kau yang mau kasar, Amara."

"Lepas atau aku teriak?!" ancam Amara sambil terus memberontak.

"Coba saja kalau bisa,"tantang Fernandes membuat Amara berang.

"Tolo—Hmmmfffttt..."

Fernandes mencium amara dengan sangat kasar. Kedua tangan Amara diangkatnya ke atas, lalu menahannya dengan tangan kanannya. Tangan kirinya menarik tengkuk Amara untuk memperdalam ciumannya. Amara hanya bisa pasrah dan mengikuti permainan Fernandes. Fernandes menggigit bibir bawah amara sehingga dengan spontan Amara membuka mulutnya. Segera saja Fernandes memasukkan lidahnya dan mengabsen setiap isi rongga mulutnya. Fernandes melepaskan ciumannya, lalu mengusap bibirnya dengan punggung tangannya. Dia melepaskan tangan Amara dan memperhatikan wajah merona Amara akibat kehabisan oksigen.

"Aku suka rasa bibirmu, Amour." Fernandes berbisik dengan suara seraknya di telinga Amara. Amara tidak menghiraukannya, karena sibuk menghirup oksigen sebanyak mungkin.

"Beraninya kau!!!" pekik Amara saat dia sudah bisa menguasai diri.

"Kau harusnya bersyukur dan mengucapkan terima kasih karena aku tidak menelanjangimu, Amour."

Amara membelalakkan matanya, lalu memukul dada Fernandes bertubi-tubi. "Kau pria paling kurang ajar yang pernah kutemui!"

Fernandes tersenyum sinis, kemudian mundur beberapa langkah. "Lalu, bagaimana dengan sepupumu itu? Dia tidak ada bedanya denganku, bukan?"

Amara mengerutkan keningnya, lalu sedetik kemudian dia teringat akan Ricky. Amara menggepalkan kedua tangannya, berusaha meredam emosinya yang kian memuncak.

"Kau semakin cantik dengan pipi merah itu, Amour."

Amara mengacungkan jari tengahnya. "Shut your fucking mouth! Jangan memanggilku dengan panggilan menggelikan itu!"

Fernandes melipat kedua tangannya. "Jadi, kau tidak suka panggilan itu, heh? Baiklah, akan ku ganti."

Amara menggeleng. "Bukan begitu maksudku! Dasar gila!." Amara mengerang frustasi lalu berjalan ke arah pintu sambil menghentak-hentakkan kakinya.

"Kau mau ke mana, Amour?"

Amara tidak menghiraukan pertanyaan Fernandes dan semakin mempercepat langkah kakinya.

"Kau mau berhenti atau aku akan menciummu lagi, Amour?"

Amara seolah menulikan telinganya dan malah berlari. Dia membuka pintu dengan kencang dan segera keluar.

Fernandes tersenyum miring. "Kau tidak akan bisa lari dariku, Amour. Kita pasti akan bertemu lagi." Fernandes meraih jasnya yang tergeletak sembarangan di atas sofa, lalu memakainya dan segera keluar ruangan.



To Be Continue.....

My Sexy Lady | ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang