01

3.2K 68 1
                                    

"Lyn. Bangun."

Oma mengguncang tangan Evelyn perlahan. Pasalnya jam sudah menunjuk angka 6 kurang 15 menit dan gadis itu harus bergegas mandi lalu berangkat ke sekolah. Tentu saja jika ia tidak ingin terlambat.

Evelyn menggeliat pelan. Gadis itu membuka kedua matanya dan mendapati Oma sudah berdiri di dekat tempat tidur.

"Jam berapa, Oma?" tanya Evelyn dengan suara serak. Tenggorokannya kering karena selama 8 jam penuh tidak teraliri air sama sekali.

"Jam 6. Cepat mandi," suruh Oma seraya melangkah keluar dari kamar cucu perempuannya.

Evelyn hanya menatap kepergian Oma dengan mata yang nyaris menutup kembali. Dan kedua mata itu benar-benar menutup beberapa detik kemudian. Rasa kantuk terkadang memiliki kekuatan luar biasa yang tak bisa ditanggulangi dengan apapun kecuali tidur.

"Ya, ampun, Evelyn! Kok tidur lagi?!"

Teriakan Oma yang membahana di kamar Evelyn terdengar beberapa menit kemudian. Wanita itu sempat curiga karena gadis itu tak kunjung menunjukkan batang hidungnya di dapur. Tepatnya kamar mandi yang berada di sebelah dapur. Bukankah waktunya ia mandi sekarang?

Evelyn terbangun seketika. Ia setengah bermimpi tadi.

"Cepat mandi sana!"

Evelyn bergegas menuruti perintah Oma tanpa komentar apapun. Ia tahu sekarang sudah tak ada waktu untuk melayangkan sepatah katapun. Ia harus mandi, berpakaian lalu berangkat ke sekolah.

Benar saja. Pintu gerbang sekolah sudah ditutup ketika gadis itu tiba di sana. Padahal ia hanya terlambat tiga menit saja.

Evelyn menggerutu kesal. Bagaimana ia bisa masuk jika pintunya dikunci?

"Telat Mbak Evelyn?" sapa Pak Satpam yang mendadak muncul di balik pintu gerbang. Laki-laki dengan nametag Suryono itu tampak galak dengan kumis melintang di atas bibirnya yang tebal dan hitam. Sepertinya ia seorang perokok berat.

"Bukain dong, Pak," pinta Evelyn tanpa segan. Ia memasang wajah memelas agar laki-laki itu merasa kasihan padanya.

"Nggak bisa. Kan udah jam 7," sahut Pak Suryono. Ia menunjukkan pergelangan tangannya yang berbalut sebuah jam tangan berwarna hitam. Tapi, tentu saja ia tidak benar-benar ingin menunjukkan di angka berapa jarum jamnya berhenti sekarang. Hanya sekadar formalitas belaka.

"Jahat banget, sih," keluh Evelyn kesal. "gimana anak-anak Indonesia bisa pinter kalau telat aja nggak boleh masuk sekolah kayak gitu," imbuhnya dengan cemberut.

Pak Suryono tersenyum mendengar ucapan Evelyn. Gadis itu cukup familiar di sekolah. Mayoritas penghuni sekolah tahu siapa Evelyn karena ia masuk dalam jajaran 'cewek dengan kecantikan di atas rata-rata'.

Evelyn merogoh sakunya sedetik kemudian. Seingatnya ia menyimpan selembar uang di sana.

"Buat beli rokok, Pak," ucap Evelyn seraya menyelipkan selembar uang lima puluh ribu yang ia temukan di dalam saku roknya, ke tangan Pak Suryono. Sebuah senyum manis ia sunggingkan demi meruntuhkan keteguhan disiplin dalam hati Bapak Satpam itu.

"Eh, nggak boleh nyogok. Kalau ketahuan pihak sekolah, Bapak bisa dipecat," bisik Pak Suryono dengan sepasang mata melirik ke sekeliling. Dan ternyata aman. Tak ada satupun guru yang tampak di area itu.

"Ini bukan sogokan, Pak. Ini hanya uang tanda terima kasih. Yeah, kalau Pak Sur berbaik hati mau bukain pintu. Gimana?" rayu Evelyn manis.

Pak Suryono menghela napas panjang. Rasanya sulit menolak permintaan gadis secantik Evelyn. Mengingat istrinya di rumah sedang hamil muda, ia hanya berharap semoga anaknya kelak bisa secantik Evelyn.

"Baiklah, tapi sekali ini aja," ucap Pak Suryono setelah berpikir sejenak. Laki-laki itu merebut lembaran uang yang didominasi warna biru dari dalam genggaman tangan Evelyn. "lain kali jangan sampai telat," ucapnya seraya memasukkan uang itu ke dalam saku celana biru pekat yang dipakainya.

Yes!  batin Evelyn seraya tersenyum penuh kemenangan. Tak peduli memakai cara licik sekalipun, yang penting sekarang ia bisa masuk dan mengikuti pelajaran.

Pak Suryono membuka pintu gerbang setelah lebih dulu memastikan keadaan sekitar aman.

"Makasih, Pak," bisik Evelyn seraya menepuk pundak laki-laki itu sebelum ngeloyor pergi ke kelasnya. Dan Pak Suryono hanya menyambutnya dengan anggukan ringan seraya berdoa semoga kejadian seperti ini tidak terulang kembali meski lembar biru itu sangat menggiurkan untuknya.

Evelyn melenguh. Ibarat kata lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Setelah menghadapi Pak Suryono, ia harus menghadapi Bu Natasha yang kebetulan sudah berdiri di depan kelas. Sebuah buku Sejarah sudah lekat dalam genggamannya.

Evelyn mengetuk pintu kelas dua kali dan ia melakukannya dengan sangat pelan.

"Maaf, Bu. Saya terlambat." Evelyn harus menahan malu setengah mati saat mengucapkannya di depan kelas. Semua pasang mata di sana sedang tertuju padanya.

Bu Natasha terdiam sesaat. Wanita itu tak bereaksi apapun dan sejurus kemudian menyuruh Evelyn untuk pergi ke tempat duduknya. Karena kehadirannya mengganggu konsentrasi pelajaran. Tapi, bukan berarti Bu Natasha membiarkan hal ini begitu saja. Ada waktu tersendiri untuk menangani hal semacam ini.

"Temui Ibu di ruang BK saat jam istirahat," suruh Bu Natasha memaksa Evelyn memutar tubuh lalu mengangguki perintah wanita itu.

Hana tersenyum menyambut kedatangan Evelyn di sebelahnya. Sepasang matanya dipenuhi dengan pertanyaan, tapi ia tidak bisa mengeluarkan semuanya sekarang. Ia harus menahan diri sampai pelajaran berakhir.

"Kenapa bisa telat?"

Akhirnya Hana bisa melontarkan pertanyaan itu setelah Bu Natasha keluar dari kelas mereka. Bahkan ia belum selesai menyalin catatan Bu Natasha di papan tulis.

"Kesiangan." Evelyn hanya menyahut dengan jawaban pendek. Tak bersemangat.

"Emang tadi pintu gerbangnya belum digembok?"

"Udah."

"Terus, kok loe bisa masuk sih?" Kening Hana mengernyit heran. Setahunya jam 7 tepat pintu gerbang sekolah dikunci, tidak mungkin kan Evelyn meloncat pagar setinggi 2 meter dengan rok selututnya. Kalau sobek kan bisa bahaya. "loe nggak loncat pagar kan, Lyn?"

Evelyn nyengir kuda. Ia tahu jika Hana akan mempertanyakan hal ini.

"Emang kalau loncat pagar kenapa?" pancing Evelyn seraya tersenyum. Ia suka sekali ekspresi Hana saat keheranan seperti itu.

"Jadi loe beneran loncat pagar?" tanya gadis itu setengah memekik. Ia mengguncang pundak Evelyn kuat-kuat. "loe udah gila? Kalau rok loe sobek gimana coba?"

"Nggak usah panik napa?" Evelyn sebal dengan guncangan di pundak kurusnya. Sudah tahu di pundaknya tak ada bantalan lemak sama sekali masih saja Hana mencengkeramnya kuat-kuat. "tenang aja, gue nggak loncat pagar kok."

"Terus?" desak Hana tak sabar.

"Gue lewat pintu gerbang. Puas?" Evelyn setengah melotot.

"Kok bisa? Emang dibukain sama Pak Sur?"

Evelyn mengangguk tegas.

"Kok baik banget Pak Sur sama loe?" gumam Hana tampak bodoh. "eh, kok udah dihapus sih? Angga! Gue kan belum nyatet!" Gadis itu panik saat melemparkan pandangannya kembali ke papan tulis yang sudah bersih tanpa ada satu huruf-pun yang tersisa di sana. Angga baru saja membersihkan papan tulis karena pelajaran berikutnya akan segera dimulai.

Evelyn hanya bisa cekikikan melihat sahabatnya.

"Udah, pinjem aja catatannya si Mika. Ntar gue pinjem punya loe," bisik Evelyn kemudian.

Sunshine In Your Heart# CompleteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang