21

737 34 0
                                    

Lalu lalang kendaraan di depannya bukan menjadi perhatian Evelyn sekarang ini. Bahkan angkot yang biasa ia tumpangi juga sudah puluhan kali diabaikannya. Gadis itu mematung di tempatnya berdiri, menghadap ke tanah yang dipijaknya. Sesekali ujung sepatunya menggaruk-garuk tanah. Menyisakan noda kehitaman di ujung sepatu abu-abu miliknya. Tapi, sepertinya ia sangat tidak mempermasalahkan bagaimana rupa ujung sepatunya. Kegelisahan di dalam pikirannya seolah lebih dari apapun sekarang ini.

Ia sadar, hari sudah sore. Matahari nyaris jatuh di ufuk barat. Sekolah sudah terlalu sepi. Mungkin masih ada penghuni di dalamnya segelintir atau beberapa gelintir saja. Biasanya ada beberapa siswa yang mengikuti kegiatan ekstra kurikuler saat sepulang sekolah hingga hampir petang.

Pulang sekarang atau nanti?

Sebuah dilema yang mendera kepala Evelyn sejam terakhir. Pertengkarannya dengan Kak Leon belum bisa dilupakannya begitu saja. Sebuah tamparan manis yang dilayangkan Kak Leon tadi pagi masih melekat kuat di ingatannya. Terasa sakit sampai sekarang.

Nanti. Sebentar lagi, batin Evelyn sejurus kemudian. Saat hatinya sudah menyuruh gadis itu pulang. Semenit, dua, atau tiga menit lagi. Ia memutuskan akan tinggal di tempatnya berdiri sekarang sampai beberapa menit lagi. Saat hatinya sudah siap.

Beberapa kali angkot yang lewat mencoba memberi tanda pada gadis itu, kalau-kalau ia membutuhkan tumpangan. Tapi, masih diabaikannya sampai pada beberapa menit berikutnya.

Evelyn mendengus. Ujung sepatunya menendang-nendang sebuah kerikil seukuran kelereng. Mencoba mengisi waktu dengan melakukan hal konyol itu. Andai saja ada Hana, mungkin ia bisa menghabiskan waktu dengan jalan-jalan di mal. Evelyn terlalu malas untuk pergi sendirian di saat suasana hatinya sedang buruk seperti sekarang.

"Nggak pulang?!"

Siapa sih, kali ini yang berniat untuk menggodanya? Evelyn sudah memasang wajah bersungut-sungut saat hendak mengangkat dagunya untuk melihat siapa gerangan yang sudah lancang menegurnya.

Ya, ampun! Raffa?!

Evelyn tersentak kaget bukan kepalang. Segala umpatan yang siap dilancarkan mulutnya pada sang penegur, ia telan kembali bulat-bulat. Makhluk yang kini berada di hadapannya sekarang, nyatakah? Ia bukan sekadar ilusi atau halusinasi Evelyn saja kan? Apa sehebat itu daya imajinasi sehingga bisa memunculkan seseorang dalam bentuk yang sangat nyata dan sempurna?

Tidak, Evelyn. Ia nyata!

Gadis itu mengerjapkan mata. Sesuatu telah mengetuk kepalanya dan menyadarkan Evelyn dari khayalannya. Cowok yang baru saja menegurnya, yang kini sedang nangkring di atas motor, benar-benar adalah sosok Raffa. Cowok yang disukai Evelyn dari sekian banyak cowok yang ada di sekolahnya. Cowok yang pernah menghantam jidatnya dengan menggunakan bola basket. Raffa!

Evelyn menggeleng pelan. Ia butuh waktu untuk meyakinkan dirinya bahwa Raffa sedang meluangkan waktu untuk menghentikan motor dan menegur Evelyn.

"Kenapa?" Raffa bertanya lagi.

Gadis itu memutuskan untuk menggelengkan kepala sekali lagi. Bibirnya masih lekat satu sama lain.

Raffa tampak mendengus. Cowok itu ingin sekali bersikap acuh dan tak ambil peduli dengan gadis itu. Tapi, hari semakin sore. Dan tempat itu bukan salah satu tempat teraman di dunia bagi seorang gadis seumuran Evelyn. Terlebih wajah cantik gadis itu bisa mengundang berbagai bentuk kriminalitas.

Raffa memutuskan untuk menepikan motornya ke dekat Evelyn lalu menyambangi gadis itu.

"Loe punya rumah kan?" tanya Raffa terdengar sedikit kasar. Tatapan dinginnya seolah hendak membekukan sosok gadis di hadapannya.

Evelyn terenyak. Cowok itu masih sama seperti yang terakhir kali dilihatnya. Mungkin saja ia membawa terlalu banyak membawa gen jutek sejak lahir. Jika ia peduli, kenapa pertanyaannya sekasar itu?

Kali ini Evelyn mengangguk. Masih dengan bibir yang sama. Bungkam.

"Yuk, gue anterin. Nggak baik cewek kayak loe berdiri di pinggir jalan." Raffa menawarkan tumpangan gratis pada gadis itu meski tata bahasanya tidak semanis yang cowok-cowok lain lakukan.

Evelyn menatap kedua mata Raffa yang seperti menebarkan aroma es batu.

"Nggak usah, Raf. Gue bisa pulang sendiri, kok." Evelyn mencoba mengulas senyum tipis di bibirnya yang kering. Meski hatinya sangat ingin duduk di atas boncengan motor Raffa, tapi, ada sesuatu yang mengganjal di sana. Sikap Raffa.

Raffa melenguh.

"Bisa pulang sendiri, tapi dari tadi kok nggak pulang-pulang," celutuk Raffa setengah menyindir. "apa loe emang nggak mau pulang? Ada masalah di rumah?"

"Eh?"

Evelyn tampak kelimpungan mendapat pertanyaan bertubi-tubi dari cowok yang membuatnya sesak napas. Kenapa ia mesti jatuh cinta pada cowok yang tidak ganteng-ganteng amat plus super cuek itu? Masih banyak cowok lain yang bisa memperlakukan dirinya dengan lembut.

Raffa memutar bola matanya. Menatap gadis di hadapannya mulai dari atas kepala sampai ujung kakinya yang sesekali menggaruk tanah. Seperti anak TK.

"Daerah ini nggak aman kalau malam," ucap Raffa sejurus kemudian. Cowok itu terlalu lama menunggu jawaban Evelyn dan memutuskan untuk kembali menaiki motornya. "mau gue anter nggak?!" teriaknya dari balik helm.

Evelyn terkesiap. Sebuah kesempatan emas baru saja ditawarkan Raffa untuknya. Ia pasti akan menyesali hal ini seumur hidup jika menolak tawaran Raffa.

"Tunggu!"

Evelyn berlari ke arah Raffa dan segera naik ke atas boncengan motor.

"Pakai helm gue," suruh Raffa seraya menyodorkan helm yang baru saja ia lepas dari kepalanya.
Evelyn tak langsung menerima helm milik Raffa begitu saja. Akan lebih baik jika Raffa yang memakainya.

"Loe aja yang pakai. Gue kan di belakang," sahut Evelyn kaku.

"Pakai aja. Keselamatan loe lebih penting daripada gue," cetus  cowok itu setengah memaksa.

Apa? tanya Evelyn dalam hati. Apa ia tidak salah dengar? Raffa tidak serius kan? Tidak mungkin ucapannya mengandung sebuah maksud tertentu kan?

"Nih."

Evelyn tersadarkan dari pertanyaan-pertanyaan yang berputar di dalam kepalanya seperti kupu-kupu beterbangan. Raffa mengulurkan helm itu ke tangan Evelyn dengan paksa.

Evelyn pasrah dengan apa yang disuruh Raffa. Gadis itu bergegas memakai helm milik cowok itu tanpa mendebat lagi.

Ah, aroma shampo milik Raffa...

"Loe nggak mau pegangan?"

Evelyn tersentak. Pegangan? Tentu saja. Ia tidak akan menolak. Tapi, apa boleh?

Evelyn hanya mencengkeram kedua ujung jaket cokelat yang dikenakan Raffa. Sesuka apapun dirinya terhadap Raffa, ia tidak bisa menunjukkan perasaannya pada cowok itu. Tak bisa! Karena Raffa yang super jutek itu seperti membangun selembar selaput tipis untuk melindungi dirinya. Agar tak ada siapapun yang mampu menyentuh tubuh dan hatinya.

Tapi, sedingin apapun sikap Raffa ia masih memiliki sifat kepeduliam sosial terhadap sesama. Dan salah satunya adalah sekarang yang dilakukannya. Mengantar Evelyn pulang. Bukankah itu adalah salah satu bentuk kepedulian sosial?

Evelyn hanya terdiam di belakang punggung Raffa. Ternyata mencintai seseorang secara sepihak, lebih menyesakkan ketimbang patah hati!

Sunshine In Your Heart# CompleteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang