33

674 28 0
                                    

"Emang kapan kakak loe balik?" tegur Hana menjajari langkah Evelyn menyusuri koridor. Mereka melangkah dengan santai tak seperti beberapa anak lain yang tergesa. Mungkin saja perut mereka sudah melilit minta jatah makan siang.

"Tiga hari yang lalu."

"Terus kenapa nggak cerita kalau kakak loe udah balik? Loe mau ngumpetin kakak sekeren itu dari gue, hah?" Hana melotot ke arah gadis di sebelahnya. Pura-pura kesal.

Evelyn cekikikan melihat reaksi Hana.

"Sebenernya siapa yang loe taksir, sih? Edo, Kak Abby, atau Kak Leon? Apa semuanya?"

Hana merengut mendengar pertanyaan Evelyn.

"Emangnya gue cewek apaan?" omel Hana seraya menepuk punggung sahabatnya. "gue setia sama Edo. Tapi, kalau ntar Edo selingkuh, gue bakal ngejar kakak loe mati-matian."

Evelyn menderaikan tawa mendengar ucapan Hana. Ya, Kak Abby maupun Kak Leon memang tipe cowok idaman. Tapi, sepertinya tidak akan mudah untuk mendapatkan hati salah satu dari keduanya.

"Itu Kak Leon," ucap Evelyn girang. Ekor matanya menangkap penampakan Kak Leon di depan pintu gerbang sekolah, tempat kemarin ia menunggu Evelyn. Ia masih ganteng seperti biasa. Bahkan para siswi yang kebetulan lewat tak jauh darinya tampak menatap Kak Leon penuh dengan rasa kagum. "yuk, gue kenalin."

Evelyn menarik tangan sahabatnya menuju ke tempat Kak Leon berdiri dengan setengah berlari.

Kak Leon mengembangkan senyum begitu melihat Evelyn menghampirinya bersama seorang teman. Mereka pasti sangat dekat, batinnya bersiap menyambut kedua gadis cantik itu.

"Kak Leon!" Evelyn berseru dengan gembira. "nih, kenalin temen Lyn. Namanya Hana," ucap gadis itu memperkenalkan Hana pada kakaknya.

"Oh." Kak Leon buru-buru mengulurkan tangan kanannya. "Leon."

"Hana."

"Eh, kalau salaman jangan lama-lama. Inget Edo," celutuk Evelyn iseng. Ia melirik Hana dengan senyum mengejek.

Hana melenguh diingatkan seperti itu. Ia melepas tangan Kak Leon dan menjulurkan lidah ke arah Evelyn.

"Aku pulang dulu, ya, Kak," pamit Hana sejurus kemudian. "ntar malem telpon gue," ucapnya beralih kepada Evelyn disertai sebuah tepukan pada lengannya.

"Ogah. Pulsa gue abis," sahut Evelyn cepat.

Hana tak menjawab. Hanya dengusan keras yang terdengar. Gadis itu melambaikan tangannya dan berlari ke jalan di mana biasa Edo menunggunya.

"Temen sebangku?"

Evelyn belum habis menatap punggung Hana saat teguran Kak Edo terdengar menyapa telinga gadis itu. Ia langsung mengangguk dengan gerakan tegas.

"Dia baik," ucap Evelyn kemudian.

"Yuk," ajak Kak Leon seraya mengulurkan sebuah helm pada adiknya. "Kakak ingin mengunjungi mama dan papa."

Gerakan tubuh Evelyn terhenti. Ia urung naik ke atas boncengan setelah mendengar kalimat Kak Leon.

"Kenapa?" tegur Kak Leon melihat reaksi Evelyn. Raut wajah gadis itu berubah drastis saat ia mengutarakan niatnya. "kamu nggak kangen mereka?"

Kangen? batin Evelyn sembari menelan ludah. Sangat, jawabnya. Ia sangat merindukan mama dan papa. Bahkan ia sanggup menukar apa saja untuk bisa melihat mereka kembali.

Evelyn tak menjawab. Gadis itu bergegas naik ke atas boncengan motor dan langsung memeluk pinggang Kak Leon.

Kak Leon tak ingin menunggu jawaban yang tak akan pernah diucapkan bibir Evelyn. Ia menstarter motornya tanpa melanjutkan percakapan.

Evelyn membisu sepanjang jalan. Kak Leon juga sama. Laki-laki itu fokus ke jalan yang terbentang di hadapannya dan tetap pada tujuan semula, makam mama dan papa.

"Kamu nggak mau masuk?" tanya Kak Leon setelah mereka tiba di depan pintu area pemakaman.

Tempat itu sepi. Angin yang berhembus dan panas matahari menguarkan harum aroma bunga kamboja ke sekeliling tubuh Evelyn. Aroma yang sama seperti saat terakhir kali ia berkunjung ke sana lima tahun yang lalu saat pemakaman mama dan papa. Aroma duka kematian, kehilangan, perpisahan. Evelyn tak begitu mengingat bagaimana persisnya proses pemakaman mama dan papa. Ia pingsan saat itu. Tapi, aroma bunga kamboja masih lekat di kepalanya. Membawa ingatannya kembali ke masa itu. Menguak kembali luka lama yang teramat pedih. Perih.

Evelyn menggeleng lemah. Gadis itu mengedarkan tatapan matanya ke tempat lain. Sinar matanya redup beradu dengan panas matahari yang menyilaukan. Mencari pelarian agar kedua matanya baik-baik saja dan tak menimbulkan kabut buram di sana.

Kak Leon mendesah pelan. Ia sangat tahu ekspresi wajah Evelyn. Ia masih belum bisa melupakan semuanya. Kehilangan mama dan papa adalah sebuah pukulan berat baginya. Sudah lima tahun berlalu dan ia belum bisa menyembuhkan lukanya. Perlu waktu yang sangat panjang bagi Evelyn untuk menata hati dan menerima sebuah kehilangan.

"Kalau gitu, kamu tunggu di sini. Kakak masuk bentar," ucap Leon sembari mencekal pangkal lengan adiknya yang lemah terkulai. Dan gadis itu hanya memutar bola matanya ke bawah. Tanpa anggukan.

Sesuai janjinya, Kak Leon hanya menghabiskan beberapa menit saja di dalam sana. Usai menaburkan bunga dan berdoa, ia kembali ke tempat Evelyn menunggu. Gadis itu tampak berjongkok di tempatnya semula. Menunduk dan entah apa yang ia lakukan. Menangis? Tidak. Ia bahkan bangkit berdiri melihat kakaknya datang. Tanpa ekspresi, tanpa air mata. Ia pasti sedang berjuang setengah mati untuk tidak menumpahkan air mata saat ini. Ia juga harus mengatasi rasa sakit yang menggerogoti dadanya.

"Yuk, pulang," ajak Kak Leon. Laki-laki itu mencoba mengurai senyum terbaiknya untuk menguatkan hati Evelyn. "Oma pasti sedang menunggu kita di rumah. Oh, ya. Mungkin besok kakak sibuk. Tapi, Kakak akan mengusahakan untuk jemput kamu sekolah."

Evelyn tersenyum seraya mengangguk. Ia hanya ingin pergi dari tempat itu secepatnya.

Sunshine In Your Heart# CompleteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang