04

1.1K 34 0
                                    

"Dari mana, Lyn? Kok jam segini baru pulang?"

Evelyn menutup pintu depan dengan malas. Setelah tadi pagi ia dihukum karena telat masuk, diceramahi Bu Natasha, setengah hari mengikuti jam pelajaran, sehingga mengakibatkan tubuhnya mengalami kelelahan, ngantuk, dan ia ingin segera merebahkan diri di atas kasurnya yang empuk, tiba-tiba saja Oma menghadang langkahnya begitu ia masuk rumah. Wanita tua itu menyambut dengan sebuah teguran serta menatap gadis itu dengan pandangan menginterogasi.

"Tadi mampir beli es campur, Oma. Maaf, Lyn nggak beliin Oma es campur," sahut Evelyn akhirnya. Setidaknya ia tidak berbohong pada Oma kali ini.

"Kenapa nggak telepon Oma? Biar Oma nggak nungguin kamu," tandas Oma mengungkapkan kekhawatirannya. Gurat-gurat di wajahnya tampak begitu jelas melukiskan tentang kegelisahannya. Menunggu Evelyn yang terlambat pulang sekolah, tanpa kabar pula. Seharusnya gadis itu sudah tiba di rumah satu setengah jam yang lalu. Mungkin Evelyn akan mengerti suatu saat nanti saat ia sudah memiliki anak.

"Iya, maafkan Lyn," ucap Evelyn terkesan datar. Tak ada rasa bersalah sedikitpun yang tergambar di wajahnya.

Oma menghela napas panjang.

"Ya, udah. Cepat ganti baju dan makan. Oma tadi masak perkedel kentang dan sup kesukaanmu," suruh Oma sejurus kemudian. Perihal keterlambatan Evelyn pulang rasanya sudah tidak perlu dibahas lebih panjang lagi. Wanita itu tidak akan mempermasalahkan hal itu karena takut menyinggung perasaan Evelyn.

"Baik, Oma." Evelyn menyahut malas dan segera melangkahkan kakinya menuju kamar. Sementara ia melangkah, sepasang mata Oma hanya bisa menatapnya dengan lekat-lekat.

Sejak kedua orang tua Evelyn meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat lima tahun yang lalu, perangai gadis itu memang berubah drastis. Ia bukan lagi Evelyn yang ceria dan ramah seperti saat ia masih kecil. Gadis itu menjadi seorang yang cenderung menutup diri dan acuh pada lingkungan sekitar. Ia seperti kehilangan sifat ceria dalam dirinya. Bahkan Oma jarang sekali melihat senyum terlukis di wajah cantik Evelyn. Oma tahu, jika gadis itu memendam sebuah beban berat dalam hatinya. Sebuah rasa kesepian yang teramat dalam dan hanya ia simpan sendirian. Ia lebih memilih diam dan menutupi apa yang ia rasakan. Kehilangan kedua orang tua di usia belia memang merupakan sebuah pukulan berat dan tidak semua orang bisa mengatasi perasaan berduka itu, termasuk Evelyn. Entah berapa lama ia bisa bangkit dari rasa terpuruknya. Andai saja ia lebih terbuka mungkin ia tidak seterpuruk sekarang.

Terlebih lagi kedua kakak laki-lakinya juga pergi meninggalkan Evelyn demi pekerjaan mereka. Abby yang seorang anggota TNI harus tinggal di asrama dan hanya sesekali pulang ke rumah. Itupun tak bisa lama, paling hanya sehari dan tak selalu rutin. Terkadang sebulan sekali atau dua kali. Sedang Leon, kakak kedua Evelyn, kini sedang berada di Singapura untuk sebuah pekerjaan di perusahaan telekomunikasi. Ia mendapat tawaran pekerjaan di sana sekitar empat tahun lalu, tepat setahun setelah kedua orang tua mereka meninggal, dan hanya menyempatkan diri pulang dua kali saja. Namun, sudah dua tahun ini ia absen pulang ke Indo. Walaupun begitu uang bulanan untuk Oma dan Evelyn tak pernah lupa ia kirimkan. Meski jumlah uang yang Leon kirimkan sudah lebih dari cukup untuk biaya hidup mereka berdua, tapi, Abby juga menyisihkan sebagian uang gajinya untuk Oma dan Evelyn. Setidaknya Evelyn masih beruntung memiliki kedua kakak yang sangat bertanggung jawab mengingat usia Oma yang sudah tidak memungkinkan dirinya untuk bekerja.

Jauh dari kedua kakak laki-lakinya otomatis hanya Oma yang selalu bisa melihat perkembangan cucu perempuan satu-satunya itu. Bisa dikatakan Evelyn kurang mendapat kasih sayang dari keluarga. Itulah intinya. Sebanyak apapun Oma memberikan perhatian dan kasih sayang pada Evelyn, tetap saja berbeda dengan kasih sayang orang tua pada anaknya.

Kasihan Evelyn.

"Lyn!"

Oma memutuskan untuk mengetuk pintu kamar Evelyn setelah sudah sepuluh menit berlalu dan gadis itu belum juga keluar dari sana. Harusnya ia sudah keluar untuk makan siang. Tapi, pintu kamarnya masih tertutup rapat sampai Oma memutuskan untuk mengetuknya.

Pintu kamar Evelyn terbuka beberapa detik kemudian dan muncullah seraut wajah kusut gadis itu. Seragam putih abu-abu masih lengkap membalut tubuh kurusnya. Dan rambut panjangnya yang diikat sembarangan membuat gadis itu tampak berantakan.

"Kamu nggak makan, Lyn?" tegur Oma lembut. Wanita itu mengerutkan dahi saat melihat raut wajah cucunya. Menambah jumlah kerutan di dahinya.

"Ntar aja, Oma. Lyn ngantuk," gumam Evelyn seraya mengucek mata kanannya dengan malas. Ia sempat tertidur selama beberapa menit setelah melempar tas dan sepasang sepatunya ke lantai.

Oma hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata untuk mengomentari tindakan cucu kesayangannya itu. Wanita itu sempat melihat benda-benda milik Evelyn berceceran di atas lantai dan kasur. Ia sudah hafal kebiasaan Evelyn namun tak mau menegur perilaku cucunya.

"Ya, udah," ucap Oma akhirnya berbesar hati. Wanita tua itu tidak sampai hati untuk mengomeli Evelyn. "kamu tidur aja lagi. Ntar kalau sudah bangun langsung makan."

Evelyn mengangguk pelan lalu kembali menutup pintu kamarnya kembali. Gadis itu merebahkan tubuhnya ke atas kasur dan melanjutkan tidur siangnya kembali. Semangkuk es campur yang ia makan tadi sepulang sekolah sudah cukup membuat perutnya kenyang.

Sunshine In Your Heart# CompleteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang