08

927 32 0
                                    

Ya Tuhan!

Evelyn memekik dalam hati. Sehingga hanya ia dan Tuhan yang bisa mendengarnya.

Itu kan Raffa, batinnya bersorak. Cowok itu baru saja memasuki kantin bersama dua orang temannya, tapi bukan anggota tim basket. Ia masih seperti biasa. Tatapan dingin, sikap jutek, dan pelit senyum. Sangat berbeda dengan kedua temannya yang tampak normal seperti manusia kebanyakan. Mereka mengambil tempat duduk tidak begitu jauh dari meja Evelyn, sehingga gadis itu bisa melihat sosok Raffa dengan jelas.

"Kak Abby udah balik?"

Teguran Hana berhasil membuyarkan konsentrasi  Evelyn pada satu titik fokus di ujung sana. Sosok Raffa.

"Udah." Evelyn menggumam pendek dan kembali menyantap nasi soto miliknya. Pertanyaan Hana seolah mengingatkan jika mangkuk di hadapannya sedang menunggu.

"Lalu gimana dengan kakak loe yang satu lagi?" tanya Hana masih ingin mengorek keterangan dari bibir Evelyn.

Evelyn tak langsung menjawab.

"Loe nggak kangen sama kakak loe?" Satu pertanyaan lagi meluncur dari bibir Hana di tengah-tengah keasyikannya menikmati nasi soto kesukaannya.

Evelyn menggeleng cepat.

"Yang bener?" cecar Hana kemudian. Gadis itu tersenyum tipis. Aneh, batinnya. "masa sih, loe nggak kangen sama kakak loe? Siapa namanya? Gue lupa... "

Evelyn mendengus kuat-kuat. Sendok yang ia pegang langsung diletakkannya di atas mangkuk padahal nasi soto di dalamnya masih tersisa separuh.

Kak Leon.

Batin Evelyn mulai bekerja menerawang pada kakak keduanya. Sekitar empat tahun yang lalu, saat itu Kak Leon hendak berangkat ke Singapura, Evelyn sempat menahan kepergian kakaknya. Bahkan ia menangis saat itu, tapi, apa Kak Leon peduli? Apa Kak Leon mengindahkan larangannya untuk tidak pergi? Jawabannya tidak! Kak Leon tetap pergi. Dan imbasnya Evelyn jatuh sakit selama seminggu penuh setelahnya. Lalu dalam dua tahun pertama, Kak Leon hanya menyempatkan diri pulang dua kali saja. Itupun masing-masing tak lebih dari dua hari. Namun dua tahun belakangan ia tidak pulang sama sekali. Tanpa kabar. Meski ia tak pernah lupa mengirimkan sejumlah uang untuk biaya sekolah pada Evelyn. Tapi, perhatian dan kasih sayang seorang kakak apa bisa digantikan dengan sejumlah uang? Apa orang semacam itu bisa disebut sebagai kakak? Padahal Evelyn sangat menyayangi Kak Leon lebih dari rasa sayangnya pada Kak Abby. Apa Kak Leon tahu hal itu? Tidak sama sekali! Ia hanya peduli pada dirinya sendiri! Dasar egois!

"Dia ganteng nggak?"

"Bisa nggak, nggak ngomongin Kak Leon?!"

Evelyn berseru sedikit lebih kencang dari biasanya. Melebihi volume suara di sekitarnya. Gadis itu melotot marah pada Hana.

Sontak saja suara lantang Evelyn mengundang perhatian seisi kantin. Semua mata tertuju ke arah gadis itu dengan berbagai macam pikiran di benak mereka. Termasuk Raffa. Cowok itu juga ikut melempar tatapan dinginnya ke arah Evelyn, namun tak lama. Cowok itu kembali sibuk dengan makanan di hadapannya. Yang lainnya juga. Mereka tak lagi menatap ke arah Evelyn karena gadis itu sudah tak bersuara lantang seperti beberapa detik yang lalu.

Hana terkejut bukan kepalang melihat tingkah sahabatnya. Dalam beberapa detik ia masih tak percaya jika yang duduk di sebelahnya adalah Evelyn, sahabat terbaiknya. Tapi, kenapa tiba-tiba ia menjadi marah saat Hana menyinggung soal kakaknya? Apa ia salah? Atau ia terlalu banyak bertanya?

"Lyn... "

Hana menepuk punggung tangan Evelyn pelan. Sekadar menyadarkan gadis itu tentang pandangan seisi kantin padanya.

Evelyn mengerjapkan matanya yang mendadak panas. Kemarahan, rasa kecewa, dan kebencian campur aduk di dalam hati gadis itu. Bagaimana ia bisa mengatasi perasaan yang sangat menyakitkan seperti itu? Sedangkan tak ada seorangpun yang bisa memahami perasaannya.

"Sorry."

Evelyn bangkit dari tempat duduknya meninggalkan Hana dan mangkuk sotonya. Meninggalkan sebuah kata maaf yang nyaris tak terdengar di telinga Hana. Dengan wajah putus asa gadis itu melangkah pergi meninggalkan bangku kantin.

Hana terbengong. Punggung Evelyn yang bergerak meninggalkan kantin lamat-lamat ditatapnya. Otaknya penuh dengan pertanyaan. Evelyn kenapa?

Hana terloncat dari bangkunya setelah sadar jika ia harus bergegas mengejar langkah Evelyn. Ada sesuatu yang harus gadis itu jelaskan padanya. Mungkin jika ia tak keberatan, Evelyn bisa mengatakan apa yang kini mendera pikirannya. Hana tidak pernah melihat ekspresi wajah menyeramkan dari Evelyn sebelum ini. Pasti ada sesuatu yang terjadi dengannya.

Hana bernapas dengan lega setelah melihat sosok Evelyn di satu titik tepi lapangan basket. Tidak percuma ia memiliki mata yang jeli.

Evelyn tampak menatap nanar ke tengah lapangan basket yang kosong melompong tanpa seorang pemainpun di sana. Cuaca yang panas dan kering membuat anak-anak enggan untuk berlari di atas lapangan apalagi untuk men-drible bola. Tak terkecuali anggota tim basket. Kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk nongkrong di kantin ketimbang berpanas-panasan di lapangan. Mereka juga cowok yang manusiawi, takut kulitnya terbakar dan gosong. Bisa-bisa menguragi tingkat kegantengan mereka.

Hana menepuk pundak Evelyn sangat pelan lalu mengambil tempat duduk di sebelah sahabatnya. Dan tampaknya Evelyn tidak keberatan ia duduk di sana meski ia tak mengeluarkan sepatah katapun.

"Loe baik-baik, aja?" tegur Hana seraya melirik Evelyn sekilas. Ia tadi sempat berpikir jika Evelyn sedang menangis di sana sendirian. Nyatanya dugaan Hana salah. Evelyn tampak baik-baik saja, tanpa air mata. Hanya wajahnya saja yang masih ditekuk.

"Ya."

Hana menghela napas pelan. Jawaban tersingkat dari bibir Evelyn sudah cukup membuatnya puas.

"Gue minta maaf kalau kata-kata gue nyinggung loe," gumam Hana seraya menatap lantai lapangan basket yang terpapar terik matahari. Titik-titik air tampak terlukis di sana. Fatamorgana.

Evelyn tersenyum pahit.

"Gue yang salah," gumam Evelyn pelan. "harusnya gue nggak marah-marah kayak tadi."

Hana balas tersenyum. Tapi sungguh, ia sama sekali tidak ingin memaksa Evelyn untuk mengatakan sesuatu penyebab ia bersikap aneh seperti tadi. Mungkin saja gadis itu hanya ingin menyimpan masalah pribadinya sendirian.

Sunshine In Your Heart# CompleteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang