22

737 30 0
                                    

"Baru pulang, Jane? Dianterin siapa? Kakak hampir mati karena mencemaskanmu, tahu nggak?"

Serentet pertanyaan memberondong Evelyn begitu ia sampai di rumah. Kak Leon sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah sepucat bulan kesiangan.

"Nggak dari mana-mana," sahut Evelyn dengan wajah kesal. Gadis itu menyeruak masuk, tak peduli tas ranselnya sempat menyenggol lengan Kak Leon.

"Kenapa handphone-nya dimatiin? Kakak nggak akan secemas ini kalau kamu bisa dihubungi," cecar Kak Leon seraya mengejar langkah Evelyn.

Kuping Evelyn memanas. Ia menghentikan langkah dan memutar tubuh hingga membuat Kak Leon terkaget. Laki-laki itu ikut-ikutan menghentikan langkah.

"Bukannya selama ini Lyn baik-baik aja tanpa Kak Leon? Kenapa mesti cemas segala?" celutuk Evelyn ketus. Semburat warna merah mewarnai wajah gadis itu.

Leon terdiam mendengar ucapan adiknya. Di satu pihak, kalimat Evelyn benar. Selama ini Evelyn baik-baik saja tanpa dirinya. Tapi, perlu waktu lama untuk menyesuaikan diri tanpa kehadiran kakaknya. Dan begitu banyak hal yang berubah dari diri Evelyn setelah kepergiannya. Rasa sakit, kehilangan, dan kesepian, harus ia tanggung sendirian selama kurun waktu empat tahun. Dan Leon tidak bisa mengharapkan Evelyn berubah menjadi seperti sedia kala setelah kepergiannya.

"Kakak benar-benar mencemaskanmu, Evelyn." Leon mengurai kalimatnya dengan terbata. Amarah yang sempat memuncak tadi, kini sudah redam.

"Masa bodoh!"

Brak.

Pintu kamar Evelyn tertutup dengan sebuah bantingan keras. Gadis itu sudah menghilang di baliknya. Sedang Leon hanya bisa tertegun menahan napasnya.

Bukan salah Evelyn jika ia tidak sama dengan yang Leon kenal selama ini. Tidak ada seseorang yang berubah tanpa alasan. Leon sadar sepenuhnya hal itu. Evelyn kian beranjak dewasa fisik dan pemikirannya. Laki-laki itu hanya bisa merutuki dirinya sendiri. Apa yang harus dilakukannya untuk merebut hati Evelyn kembali?

"Biarkan dia, Leon."

Oma menepuk punggung Leon dari belakang. Wanita tua itu melihat pertengkaran yang sempat terjadi beberapa menit lalu. Hanya saja ia tidak mau terlibat di dalamnya meski sebagai penengah. Evelyn dengan egonya yang meluap-luap, sedang Leon adalah sumber permasalahannya.

"Leon harus gimana, Oma?" gumam Leon. Laki-laki itu beralih dari depan kamar Evelyn ke sofa ruang tamu dengan gerakan malas.

Oma mengikuti langkah Leon dan mengambil tempat duduk di atas sofa. Di samping tubuh Leon yang kini menyandar pasrah di sandaran sofa.

"Dia hanya butuh waktu untuk menerima semuanya," ujar Oma.

Leon mendesah panjang. Resah. Berbagai rencana yang sudah tersusun rapi di dalam pikirannya seakan koyak dan berhamburan ke mana-mana. Keberangkatannya ke Singapura sudah terundur diam-diam selama dua hari. Padahal harusnya ia sudah berada di sana berkutat dengan pekerjaannya. Tapi, Leon sudah menyalahi keputusannya sendiri. Ia harus memenangkan hati Evelyn sebelum pergi. Atau gadis itu akan membencinya seumur hidup. Ia sudah pernah tidak pulang selama dua tahun penuh dan akibatnya fatal. Evelyn benar-benar marah.

"Leon ke kamar dulu, Oma." Leon pamit pada Oma. Laki-laki itu melangkah dengan gontai menuju ke kamarnya yang tepat bersebelahan dengan kamar Evelyn. Menyembunyikan segala keresahannya dari Oma. Ia butuh ruang sendiri dan sedikit waktu untuk merenungkan semuanya. Sebelum membuat keputusan penting dalam hidupnya.

Sementara Evelyn sudah merebahkan tubuh kurusnya di atas kasur usai melempar tas ranselnya ke dekat kaki tempat tidur. Padahal di dalamnya ada selembar kertas undangan ditujukan untuk wali murid siswa guna menghadiri perayaan festival ulang tahun sekolah yang tinggal beberapa hari lagi. Tapi, Evelyn enggan untuk menyerahkannya untuk Kak Leon. Ia lebih membiarkannya tersimpan di antara buku-buku pelajarannya. Mungkin nanti, saat ia sempat Evelyn akan membuangnya ke dalam tempat sampah. Emosinya masih belum stabil gara-gara Kak Leon menyambutnya dengan perdebatan kecil.

Andai saja Kak Leon tidak bersikukuh untuk tetap pergi, Evelyn tidak akan semarah ini. Selama empat tahun kepergian Kak Leon, ia hanya pulang dua kali saja. Itupun tak lebih dari dua hari. Apa pekerjaannya begitu penting sehingga mengekang kebebasannya? Pekerjaan macam itu? Atau Kak Leon saja yang terlalu betah tinggal di sana? Karena Singapura terlalu nyaman ketimbang di rumah sendiri.

Ok. Untuk sejenak Evelyn harus bisa menyingkirkan luapan emosinya pada Kak Leon. Karena ia ingin berpikir tentang Raffa sekarang.

Tentang Raffa. Satu hal yang tak bisa dimengerti oleh Evelyn. Padahal cowok itu bukanlah sebuah kutub magnet, kenapa ia bisa begitu tertarik padanya?

Aroma rambut Raffa yang tertiup bersama angin seperti menempel di ujung hidung Evelyn. Pakai shampo apa dia? Mungkin saat Evelyn belanja di supermarket, ia perlu mencari tahu.

Eh, tapi kenapa Raffa masih ada di sekolah sesore itu? Latihan basket? Mungkin. Evelyn tidak begitu hafal dengan jadwal kegiatan ekstra kurikuler. Karena sejak masuk bangku SMU, gadis itu sama sekali tidak tertarik dengan kegiatan ekstra kurikuler macam apapun. 

Lamat-lamat kedua mata Evelyn terpejam. Rasa kantuk perlahan mendera sepasang mata sayunya. Gadis itu tertidur dengan membawa segenap lamunannya tentang Raffa. Berharap ia akan menjelma dalam mimpi indahnya senja ini.

Sunshine In Your Heart# CompleteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang