28

720 27 0
                                    

"Nggak nonton basket, Lyn?"

Evelyn menggeleng pelan. Fokus mata gadis itu masih belum teralihkan dari buku Biologi yang tengah digenggamnya. Sebuah bacaan yang jauh lebih bijaksana ketimbang mencuri salah satu novel detektif yang berbaris rapi dari kamar kakaknya. Lagipula ia tidak tertarik untuk masuk ke dalam kamar kakaknya selagi si pemiliknya sedang tidak ada.

"Baca apaan?"

Evelyn hanya mengangkat buku Biologi dan memperlihatkan sampul depannya pada Hana. Mulutnya terlalu malas untuk terbuka hanya untuk meladeni pertanyaan bawel Hana.

Hana tersenyum mengejek.

"Tumben-tumbennya loe baca buku Biologi," oloknya setengah tertawa.

Evelyn tertunduk jengah mendengar sindiran keras sahabatnya.

"Emang nggak boleh?" gumam Evelyn. Bibirnya mengerut. Cemberut.

"Bukannya nggak boleh, tapi hari ini kita free alias nggak ada pelajaran. Ngapain juga belajar," seloroh Hana seraya mengibaskan tangannya ke depan dada. "mending kita nonton pertandingan basket. Sekalian memberi dukungan biar tim sekolah kita menang. Gimana?" Hana menyunggingkan senyum penuh rayuan.

Hana benar. Hari ini tidak ada pelajaran karena ada pertandingan basket antar sekolah. Alih-alih menonton pertandingan itu, Evelyn malah menenggelamkan diri dalam buku Biologi. Padahal sedari tadi ia tidak paham pada kalimat yang dibacanya. Ia hanya mengulang-ulang apa yang ia baca sampai Hana datang.

Tapi, Evelyn sedang tidak ingin melongok ke lapangan basket meski cowok yang disukainya turut ambil bagian dalam pertandingan itu. Raffa memang ikut bertanding hari ini, dan sayangnya gadis itu sudah kehilangan minat untuk menontonnya main. Meski suara sorak sorai dari arah lapangan basket mengusik pendengarannya sejak tadi. Tak henti memancing perhatiannya dari buku Biologi yang sedianya ia manfaatkan sebagai pelarian. Namun, sayangnya ia hanya berkutat pada kalimat yang itu-itu saja. Tanpa pemahaman sama sekali.

"Gue males, Han."

"Ayolah, Lyn. Loe nggak bete di kelas sendirian kayak gini?" bujuk Hana seraya mengedarkan pandangan ke segenap penjuru kelas yang kosong melompong. "lagian nggak ada pelajaran juga."

"Terus gue harus teriak-teriak kayak cewek-cewek itu? Ogah ah," tolak Evelyn mentah-mentah.

"Ya nggak juga keles. Ayo ah," ajak Hana tak sabar. Gadis itu merebut buku Biologi dari tangan Evelyn secepat kilat dan menyembunyikannya di belakang punggung. "ayo!"

Evelyn merasa tak berkutik saat tangannya ditarik paksa oleh Hana menuju ke lapangan basket. Ia tak bisa menolak keinginan sahabatnya hanya karena alasan pribadi. Jika ia bersikukuh dengan pendiriannya, tidak menutup kemungkinan Hana akan mengejarnya dengan sebuah pertanyaan sederhana, kenapa? Ia belum siap untuk mencurahkan perasaannya pada Hana meski ia sangat ingin melakukan hal itu.

Tak sulit bagi Evelyn untuk menemukan sosok Raffa di tengah lapangan. Cinta selalu bisa menemukan pemiliknya dengan caranya sendiri.

Cowok itu sedang berjuang di sana bersama timnya. Di bawah garangnya sinar matahari, berlumurkan keringat yang sudah pasti membuatnya kehilangan banyak ion tubuh (seperti dalam iklan minuman isotonik), demi membawa nama sekolah.

Perasaan Evelyn masih sama seperti sebelumnya. Hanya saja ia mulai berpikir ulang tentang perasaan sepihaknya pada Raffa. Ia sempat berpikir jika kejadian sore itu--saat Raffa berbaik hati mengantarnya pulang--akan mendekatkan Raffa dengannya. Terlebih lagi kakak Raffa adalah teman Kak Leon. Peluang untuk lebih mengenal Raffa semakin terbuka lebar untuknya. Tapi, itu hanya pemikiran Evelyn saja. Nyatanya semua fakta itu tidak pernah berpengaruh bagi Raffa. Fakta-fakta itu tidak pernah mendekatkan Raffa padanya!

Mungkin anak-anak cheerleader yang sedang berteriak histeris di sebelah lapangan basket itu lebih beruntung darinya. Karena mereka dan tim basket saling mengenal dengan baik. Mereka juga kerap mengadakan latihan bersama. Kenapa Evelyn mulai menanam benih-benih penyesalan dalam hatinya? Menjadi anggota cheerleader tidak seindah yang ia bayangkan, mengingat fisik Evelyn yang tidak memenuhi tuntutan menjadi bagian dari pemandu sorak. Ia tidak memiliki stamina yang bagus. Itu saja.

Evelyn hanya bisa melenguh. Panas matahari mulai terasa menyengat kulitnya. Teriakan dari para penonton juga seakan ingin memekakkan telinga. Dan lebih sialnya lagi, Hana yang kini berdiri di sebelahnya turut berteriak memberi semangat pada tim basket sekolah mereka.

Harus diakui, pertandingan kali ini sangat ditunggu, karena menyangkut nama baik sekolah. Konon pemilihan tim basket nasional juga berawal dari ajang semacam ini. Jadi, bisa dibilang ini adalah kesempatan emas bagi setiap pemain basket yang serius ingin menekuni olahraga ini. Dan Raffa salah satunya. Mungkin saja ia berminat ingin menjadi pemain basket nasional? Who knows?

"Ke kantin, yuk." Evelyn terpaksa menyikut lengan Hana karena gadis itu masih sibuk mengarahkan fokus matanya ke arah lapangan. Pertandingan sedang seru-serunya dan ia tak mau kehilangan satu momen-pun.

"Bentar, Lyn. Masih seru, nih," tolak Hana. Bahkan untuk menoleh pada sahabatnya yang sudah menekuk wajah-pun ia enggan. Padahal panas matahari bisa menjatuhkan Evelyn setiap saat. Ia bisa pingsan di tempat jika sepuluh menit lagi masih tetap bertahan di sana.

Evelyn mendengus dengan keras.

"Gue ke kantin sendiri," putusnya tanpa menunggu persetujuan Hana. Gadis itu berbalik dan bersiap melangkah pergi dari sisi Hana. Lima menit kemudian barulah Hana tersadar jika sahabatnya sudah raib dari sisinya. Tanpa pikir panjang, ia memutuskan untuk menyusul Evelyn. Perutnya juga mulai keroncongan.

Sunshine In Your Heart# CompleteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang