39

645 27 0
                                    

Tangan Evelyn bergerak memungut sebuah bola basket yang terdampar di dekat pot bunga. Ia masih di rumah Raffa dan semenit yang lalu ia memutuskan untuk memisahkan diri dari kedua laki-laki dewasa yang masih mengumbar obrolan membosankan. Tentu saja tentang karir mereka dan Evelyn tidak bisa masuk dalam topik perbincangan itu. Ia memilih memisahkan diri dengan dalih mencari udara segar di siang yang panas meski matahari mulai bergeser perlahan ke barat. 

Halaman rumah Raffa cukup luas. Halaman depan dan halaman samping tampak menyatu. Hanya saja sebidang tanah di halaman samping dilapisi semen yang difungsikan sebagai lapangan basket mini, karena Evelyn bisa melihat sebuah ring yang sengaja dibangun di tepi pagar pembatas. Raffa pasti seorang basket mania sehingga memiliki lapangan basket pribadi di rumahnya meski hanya berukuran beberapa meter persegi saja. Kak Romi mungkin juga memiliki hobi yang sama. Sayangnya, Raffa tidak pandai menyimpan bola basket miliknya dan membiarkan benda bundar itu tergeletak di dekat sebuah pot bunga yang berada tak jauh dari lantai teras. Panas matahari pasti membuat udara di dalamnya memuai.

Evelyn memantulkan bola basket itu ke lantai beberapa kali. Canggung memang. Karena ia tak terbiasa melakukannya. Tapi, demi membunuh rasa bosannya ia tetap memantulkan bola itu ke lantai. Gaya mendribble bola yang teramat sangat buruk.

"Yaah."

Evelyn mencoba membidik bola di tangannya ke dalam ring. Tapi, hasilnya meleset. Bahkan bola itu sama sekali tak bisa menyentuh permukaan ring. Hanya beberapa centi di depannya. Ia perlu sedikit tambahan tenaga.

Sekali lagi. Bola hanya berhasil menyentuh sebidang papan penyangga ring dan lolos. Mengecewakan.

Gadis itu rupanya tak ingin menyerah. Ia mengulangi bidikannya sekali lagi. Lagi dan lagi. Mungkin sampai puluhan kali tapi, hasilnya kosong. Tak ada satupun yang berhasil masuk ke dalam ring. Kenapa Raffa bisa melakukannya dengan mudah, sedangkan ia tidak? Apa ia terlalu bodoh?

Evelyn melempar bola itu ke arah tembok dengan kesal. Dengan dengusan keras untuk melampiaskan segenap kekecewaan hatinya. Ia berhenti. Sudah cukup, batinnya. Basket mungkin bukan bidang yang bisa membuatnya tertarik.

Lebih baik ia mengajak Kak Leon untuk pulang sebelum ia benar-benar mati karena bosan. Ia bisa tidur di rumah setelah ini.

"Udah nyerah?!"

Evelyn terkesiap. Gadis itu samar-samar mendengar sebuah teriakan, tapi setelah ia celingukan ke sana kemari tak ada siapa-siapa di sana. Halaman samping sepi tak ada siapa-siapa. Kak Leon dan Kak Romi juga tak tampak batang hidungnya.

"Hei!"

Evelyn mengangkat kepalanya begitu teriakan itu terdengar kembali. Ya, Tuhan! Gadis itu menjerit dalam hati. Itu kan, Raffa? Dan cowok itu sedang berdiri di atas balkon rumah, mungkin mengawasinya sejak tadi. Ah, tidak! Benarkah ia melihat semua tingkah Evelyn dari awal?

Evelyn berdiri kaku di tempatnya. Salah tingkah. Ke mana ia harus menyembunyikan rasa malu yang mulai menggerogoti kepercayaan dirinya? Raffa pasti sudah berpikir hal-hal negatif tentang dirinya. Tuhan, tolong aku, doa Evelyn dalam hati.

"Kok bengong?"

Tiba-tiba sosok itu muncul di depan Evelyn. Mengejutkan gadis itu dan nyaris membuatnya pingsan. Kapan ia turun? Ia tidak melompat dari atas balkon kan? Tapi, Evelyn sama sekali tidak melihat segores lukapun di tubuh Raffa.

Raffa mengamati wajah Evelyn dengan ekspresi datar.

"Nggak pa pa. Kaget aja," sahut Evelyn lirih. Ia berusaha mati-matian menyembunyikan rasa malu yang membuatnya salah tingkah. Bertemu kembali dengan Raffa adalah salah satu impiannya hari ini dan Tuhan sudah mengabulkannya. Raffa sedang berdiri di hadapannya dengan sehelai kaus putih dipadu dengan celana selutut berwarna hijau tanah. Tapi, tak mengurangi pesonanya sedikitpun. Ia masih mengagumkan di mata Evelyn.

"Oh." Raffa manggut-manggut. "nggak main lagi?" tanya cowok itu seraya bergerak mengambil bola basket dari dekat pagar.

Evelyn mendesah. Haruskah? batinnya. Ia pasti akan tampak bodoh jika harus mengulangi membidik bola ke dalam ring dan hasilnya gagal. Seperti tadi. Raffa pasti akan menertawakannya habis-habisan.

Raffa melempar bola di tangannya ke arah ring sejurus kemudian. Dan masuk!

"Lihat, kan?" tanya Raffa sembari menoleh.

Apa-apaan? Loe mau pamer kalau loe jago?

Evelyn tak menyahut dan hanya bersungut-sungut ria.

"Sini, gue ajarin," suruh Raffa mengejutkan. Ia memberi kode agar Evelyn segera mendekat ke arahnya.

Evelyn tercengang. Telinganya masih berfungsi dengan baik dan ia yakin tak salah dengar. Apa Raffa serius dengan kata-katanya? Cowok itu ingin mengajarinya main basket? Ya, Tuhan! Aku ingin pingsan! jerit Evelyn sangat keras dalam hatinya.

Raffa meletakkan bola itu di atas kedua tangan Evelyn lalu menyuruh gadis itu membidikkannya ke dalam ring seperti yang sudah ia contohkan. Jika Evelyn benar-benar memperhatikannya tadi.

Evelyn gamang. Segenap keraguan membalut tangannya. Bagaimana jika ia melempar bola itu dan tidak tepat sasaran? Apa Raffa tidak akan menertawakannya habis-habisan nanti?

"Lempar, Lyn!"

Teriakan Raffa seolah ingin membuyarkan keraguan yang menyelumuti hati gadis itu. Evelyn menatap Raffa sekilas lalu ke arah ring. Ia menarik napas dalam-dalam dan melempar bola di tangannya meski setengah tak percaya diri.

Gagal.

"Lempar lagi!" Raffa berteriak seraya melemparkan bola yang baru saja didapatnya ke tangan gadis itu.

Evelyn menurut perintah Raffa seolah-olah cowok itu pelatih pribadi dadakannya. Ia mencobanya sekali lagi dan gagal.

Raffa menghela napas melihat hasil lemparan Evelyn yang sangat mengecewakan. Cowok itu berinisiatif memberi contoh bagaimana melempar bola yang baik ke dalam ring pada Evelyn.

Setelah mencoba ke-tiga kalinya barulah bola itu masuk ke dalam ring.

"Yes!"

Evelyn bersorak girang bukan main. Raffa juga tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Cowok itu turut senang akhirnya Evelyn bisa melakukannya juga.

"Nggak sulit kan?" tegur Raffa.

Evelyn yang masih dalam kondisi senang, menganggukkan kepala.

"Trims ya, udah mau ngajarin gue," ucapnya.

Raffa tak menyahut. Hanya sebuah anggukan ringan dari kepalanya sebagai perwakilan 'iya'.

"Mau nyoba lagi?" tanya Raffa sesaat kemudian.

"Boleh."

Sunshine In Your Heart# CompleteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang