07

953 35 0
                                    

Huft.

Evelyn merasakan seolah-olah ada puluhan jarum sedang menusuk-nusuk perutnya dengan serentak. Memaksa gadis itu untuk menghentikan gerakan sepatu olahraganya sampai di tempatnya berpijak sekarang. Perutnya kram dan ia tidak akan sanggup meneruskan larinya. Ia tidak akan memaksakan diri untuk melakukan hal ini.

Semua karena Kak Abby. Laki-laki itu membangunkan Evelyn pagi-pagi saat ia masih tertidur dengan pulas dan memaksanya untuk berolahraga. Padahal matahari juga masih bersembunyi di balik ufuk timur. Sedang suara kokok ayam tidak pernah terdengar di seputar komplek karena tidak ada seorangpun yang memelihara ayam di sana.

Inilah salah satu yang Evelyn benci saat Kak Abby pulang ke rumah. Pada hari Minggu pagi, saat gadis itu ingin tidur lebih lama dari biasanya, Kak Abby malah menyuruhnya bangun lebih awal dan memaksanya untuk berolahraga. Berlari adalah andalan Kak Abby. Selain murah dan praktis, olahraga itu juga menyehatkan karena seluruh anggota tubuh ikut bergerak. Tapi, masalahnya Evelyn tidak suka melakukan hal itu. Fisiknya lemah dan ia hanya kuat berlari beberapa meter saja. Selebihnya ia memilih untuk berjalan jika tidak ingin pingsan di tengah jalan.

Tapi, apa Kak Abby mengerti hal itu? Apa ia tahu selemah apa fisik adiknya? Ia hanya selalu bilang jika Evelyn harus berolahraga agar tetap sehat dan fit. Sayangnya Kak Abby tidak tahu jika Evelyn tidak bisa diperlakukan ala-ala militer.

"Lyn!"

Teriakan Kak Abby terdengar sejurus kemudian. Laki-laki itu menghentikan kegiatan berlarinya dan membalikkan tubuh ke belakang saat menyadari jika Evelyn sudah jauh tertinggal. Kejadian semacam ini selalu terjadi saat mereka berolahraga bersama.

Evelyn tak menyahut. Gadis itu melangkah pelan ke arah Kak Abby yang tampak sedang menunggunya di depan sana. Ia sudah jengah mendengar omelan-omelan Kak Abby dan memilih untuk bergegas menghampiri kakaknya.

"Capek?" tegur Kak Abby begitu Evelyn tiba di hadapannya. Kak Abby yang sudah sangat terlatih dalam hal ini tampak tidak lelah sedikitpun. Ia masih segar tanpa napas ngos-ngosan. Hanya beberapa butir keringat menempel di pelipisnya.

Evelyn mengangguk pelan.

"Mau minum?" tawar Kak Abby beberapa saat kemudian. Ia menebarkan pandangan ke sekeliling taman dan menemukan seorang penjual minuman sedang mangkal tak jauh dari tempat mereka. "kamu di sini aja. Biar Kakak beliin minum."

Kak Abby menepuk pundak adiknya dan segera berlari kecil ke arah penjual minuman. Sedang Evelyn memilih untuk mencari tempat duduk di dekat tanaman bunga sembari menunggu kakaknya kembali.

Sebuah botol air mineral dingin mengejutkan Evelyn. Karena Kak Abby sengaja menempelkan benda itu ke pipi adiknya yang sedang duduk bengong.

"Jangan ngelamun," seloroh Kak Abby sembari mengambil tempat duduk persis di sebelah Evelyn. Ia meneguk minumannya perlahan. Sementara botol yang satu lagi sudah mendarat di tangan Evelyn dengan selamat.

Gadis itu tidak menggubris ucapan kakaknya dan memilih meneguk air mineral dingin di tangannya hingga bersisa setengah botol. Rasa haus yang semula menggerogoti kerongkongannya kandas sudah. Perutnya juga berangsur membaik, tapi, akan kambuh lagi seandainya ia berlari kembali.

Suasana taman lumayan ramai. Sebagian besar pengunjung datang ke tempat itu untuk berolahraga pagi. Ada yang jogging, bersepeda, main skateboard, dan ada pula yang berjualan minuman atau makanan ringan.

"Gimana sekolahmu?"

Teguran Kak Abby mengusik konsentrasi Evelyn yang sedari tadi menatap orang-orang yang lalu lalang di depan mereka.

"Baik." Hanya sahutan pendek yang keluar dari bibirnya. Tak ada satupun yang ingin diceritakannya pada Kak Abby. Semua permasalahan di sekolah adalah miliknya dan Kak Abby tidak perlu mengetahuinya. Evelyn lebih memilih diam ketimbang memancing emosi kakaknya.

"Kamu harus belajar yang rajin," ucap Kak Abby beberapa saat kemudian. "tahun depan kamu sudah menghadapi ujian."

Evelyn tersenyum samar mendengar nasihat kakaknya. Ia sudah bukan bocah SD yang setiap saat mesti diingatkan untuk belajar. Evelyn sudah cukup dewasa untuk hal semacam itu meski pada kenyataannya ia jarang belajar.

"Apa cita-citamu, Lyn?"

Hei. Itu juga salah satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan pada saat Evelyn masih kanak-kanak. Tepatnya saat ia masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak dan awal masuk Sekolah Dasar. Apa Kak Abby masih menganggap Evelyn anak kecil?

"Tumben Kak Abby nanyain hal itu," celutuk Evelyn datar. Ia menyempatkan diri untuk menatap wajah kakaknya yang masih dihiasi bulir-bulir keringat.

"Aneh ya?" Kak Abby balik tanya dengan wajah serius. Yah, selama ini Kak Abby selalu bersikap seperti itu. Ia jarang sekali melempar candaan. Sekalinya melempar candaan pasti garing. "apa Kak Abby nggak boleh tahu? Atau kamu belum tahu ingin melakukan apa di masa depan?"

Evelyn tidak serta merta menjawab. Gadis itu malah menghela napas panjang. Memenuhi paru-parunya dengan oksigen yang belum terkontaminasi asap kendaraan dari sekitarnya.

"Lyn pingin mengajar di tempat yang jauh." Evelyn menggumam. "mengajar anak-anak kecil di daerah pelosok, membantu mereka belajar banyak hal." Tatapan mata Evelyn menerawang ke depan. Kosong. Di dalam pikirannya ia sedang melukis sebuah pemandangan perbukitan yang tandus dan di atasnya terdapat sebuah sekolah yang nyaris tak layak pakai. Ruang kelasnya hanya berjumlah tiga buah dan itupun dipergunakan untuk enam kelas. Sekolah itu juga jauh dari pemukiman penduduk. Anak-anak yang ingin mengenyam pendidikan di sana harus menempuh rute perjalanan yang panjang. Menyusuri bukit, menyeberang sungai, dan tanpa sepatu yang membungkus kaki-kaki kecil mereka. Evelyn hanya ingin berada di tengah-tengah mereka dan melakukan sesuatu yang berguna. Apa itu terdengar muluk-muluk?

Kak Abby tersenyum. Ia sama sekali tak menduga jika Evelyn memiliki ide luar biasa seperti itu. Cita-cita yang sungguh mulia dan jarang sekali orang di zaman seperti sekarang yang memiliki pemikiran seperti itu.

"Memangnya kamu sanggup tinggal di daerah kayak gitu? Nggak ada listrik, mal, sumber mata air jauh... "

"Ngeledek nih ceritanya?" gerutu Evelyn setengah kesal.

Gadis itu hanya mendengus tanpa berkomentar lebih lanjut. Entah ia sadar atau tidak saat mengucapkan keinginan yang rasanya mustahil bagi seorang Evelyn. Seharusnya ada seseorang yang mengingatkan gadis itu tentang nilai-nilainya yang selalu dibawah rata-rata.

"Nggak ngeledek," sahut Kak Abby usai meneguk isi botol miliknya sampai tak bersisa. "cita-cita kamu bagus. Tapi, Kakak nggak akan pernah ngizinin kamu pergi jauh-jauh. Kakak tahu gimana rasanya tinggal di daerah kayak gitu dan rasanya nggak enak. Kakak nggak yakin kamu betah di sana," ucap Kak Abby sembari mengusap kepala Evelyn berulang.

Evelyn mencibir mendengar ucapan Kak Abby.

"Eh, pulang yuk." Kak Abby bangkit dari tempat duduknya dan menggeliat pelan. Ia menarik tangan Evelyn. "ntar sampai rumah Kakak mau kamu bersihin kamar kamu."

Evelyn terdiam. Gadis itu berjalan di sebelah kakaknya dengan langkah gontai. Kebiasaan buruknya sudah lama diketahui Kak Abby. Membiarkan kamar berantakan seperti kapal pecah sudah menjadi bagian kesehariannya.

"Kamu denger Kak Abby, nggak?"

Evelyn menjerit kecil. Tangan Kak Abby sudah menarik ujung telinganya.

"Iya, iya," sungut Evelyn kesal. Selalu dan selalu begitu. Kak Abby tak akan segan-segan menjewer telinganya tanpa ampun. Dan parahnya ia tak melihat tempat di mana menjewer telinga adiknya. Payah.

Sunshine In Your Heart# CompleteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang