Hari ke-VII (1)

64 15 2
                                    

And I'm waiting
Waiting for the days to slowly pass me by...

(Avenged Sevenfold - Natural Born Killer)

Siang dan malam pada hari keenam berlalu dengan sangat cepat, kami tertidur dalam kantor itu seperti orang yang sudah mati. Tak ada tenaga lagi yang tersisa, kami semua terbangun di hari ketujuh saat hari sudah siang. Lidya dan Luke dengan sabar dan ramah membantu kami yang kelelahan dan bahkan memberikan persediaan makanan mereka pada kami.

Dengan penuh rasa syukur, ku santap mie instan dalam cup berukuran besar yang diberikan Lidya padaku.

Ruangan sempit ini menjadi satu-satunya tempat berlindung kami, dengan pintu yang dipasangi jebakan mematikan dan jendela yang ditutupi kain dan rak.

"Terima kasih" kataku dengan semangat terpancar di wajahku.

"Apa kau sudah makan, Ash?" tanyaku

"Makanlah, aku sudah kok" jawabnya dengan senyum manis di wajahnya, seperti biasa dia selalu hangat.

Sampai kapan kami harus hidup dalam topeng seperti ini? Berpura-pura bahagia, tersenyum, bersemangat demi menjaga perasaan orang lain yang ada bersama kami. Walau kami saling mengetahui dengan baik perasaan satu sama lain dalam masalah yang sudah menjadi rahasia umum ini, masih ada harapan dalam diri kami bahwa dimanapun dan kapanpun, ada orang-orang di luar sana yang berusaha untuk menemukan kami, atau sekedar memikirkan keadaan kami. Walau naif, setidaknya itu dapat menghibur hati kami yang telah dinodai dosa ini.

"Bagaimana lukamu sobat?" aku berbalik dan menanyai Oscar. Sementara L dan Tiffany masih tertidur dengan sangat nyenyak.

"Mata kiriku tak dapat melihat lagi, kuku makhluk br*ngsek itu masuk terlalu dalam" jawabnya.

"Apa kalian memiliki senjata di kantor ini?" tanya Oscar pada Luke

"Tidak, sama sekali tidak ada. Semuanya sudah diambil dan dirampas orang"

"Berarti kita sedang sial" timpal Oscar

"Apa disini dulunya kalian punya shotgun sawed-off?" tanyaku pada Luke.

"Tidak, itu shotgun yang cukup jarang di kota ini" jawabnya lagi.

Aku terdiam sejenak dan berpikir, kemudian berbalik kepada Oscar.

"Aku minta maaf, karena teriakanku kau jadi harus menunduk dan jadi sasaran berikutnya"

"Itu bukan salahmu, diamlah!" timpalnya

"Terima kasih sobat"

"Tidak, aku bersungguh-sungguh, Diamlah!" katanya sambil mengangkat tangannya mendekati telinganya, sepertinya ia berusaha mendengar sesuatu.

"Apa kau mendengarnya?" tanya Luke pada kami. Kami semua bangkit berdiri dan mencari dari mana suara kecil yang tak jelas itu berasal, dan saat itulah L dan Tiffany bangun.

"Apa kalian sudah merasa baikkan?" tanya Ashley ramah.

Tiffany hanya mengangguk sementara L kebingungan melihat kami mencari-cari sesuatu.

TOLOONNGGG....... HIKS HIKS HIKS.... TOLONGGGG

"Apa kalian mendengarnya?" tanya Lidya

"Ya, terdengar sangat jelas" jawabku.

Kami menggeser rak yang menghalangi jendela ruangan itu dan mengintip dari balik kain, dari jauh nampak sesosok wanita dengan keadaan berantakan berjalan terpincang-pincang di tengah panasnya sinar matahari pada siang itu.

"Siapa dia?" tanya Ashley

"Apa dia masih hidup?"

"Apa dia bukan salah satu dari makhluk itu?" Tiffany terus bertanya pada kami.

"Tenanglah nak, dia tak mungkin makhluk itu. Sekarang masih siang dan matahari masih bersinar sangat terang" jawab Oscar.

"Menurutmu apa kita harus membantunya?" tanyaku

"Entahlah, aku tak ingin ambil risiko" jawabnya padaku.

Belum sempat kami menyelesaikan perdebatan kami antara harus keluar atau tidak, Luke dengan gagah melompat keluar dari jendela dan berlari ke arah wanita yang menangis tadi, dia sungguh berani, setidaknya begitu untuk saat ini.

"Hei apa-apaan kau?" teriak Oscar.

"Kau bantulah dia, aku akan membawa yang lainnya keluar, aku punya firasat buruk tentang hal ini" pintanya.

Aku segera keluar melalui jendela yang sama dengan Luke, dan mencoba mengejarnya. Namun larinya cepat sekali sehingga aku tak bisa mengejarnya. Saat berhasil mendekat, kira-kira 5 meter dari tempat dia berdiri dengan gadis itu, aku pun merasakan sesuatu yang tak enak, sesuatu yang membunuh secara perlahan, apa takkan apa-apa jika aku diamkan saja?

"Kau sudah bicara dengannya?" tanyaku.

"Sudah, tapi dia tak mau bicara. Aku sudah membujuknya tapi dia tak mau berhenti menangis"

"Bagaimana dengan yang lain?" lanjutnya.

"Mereka masih disana" kataku sembari berjalan pelan mendekati mereka.

Saat aku mendekatinya, dengan jelas ku lihat seringai jahat terlukis di wajahnya.

"Hahahahaaha, maafkan aku" kata wanita itu tiba-tiba.

Tak lama kemudian, dia mundur menjauhi kami dengan cepat sementara dari belakangnya muncul gerobolan motor dan orang-orang yang berteriak.

"Sial! Mereka lagi" gumamku.

"Apa-apaan ini?" tanya Luke bingung.

"Diamlah! Kau membuat kita semua dalam masalah!"

Mereka telah sampai pada kami kurang dari 5 detik sejak pertama terlihat dari kejauhan dan mulai mengelilingi kami.

"Yiuhhhaaaaa!" teriak mereka bergantian.

Salah satu dari mereka turun dari motornya, badannya besar dan tinggi, kami berdua takkan bisa melawannya sendirian, apalagi dengan teman sebanyak ini.

"Apa ini sudah semuanya sayang?" tanyanya pada wanita yang berpura-pura menangis tadi.

"Belum sayang, masih ada yang lainnya disana" wanita itu menunjuk kantor polisi itu.

"Sial! Mereka dalam bahaya!" aku bergumam dalam batinku.

"Ja - jadi kau menipu kami?!" teriak Luke pada wanita itu.

BRUAKKKK....

Sebuah pukulan keras menghantam kepala Luke hingga ia terjatuh membentur tanah dan kepalanya berdarah.

"Tidak ada yang boleh berteriak pada kekasihku selain aku!" kata lelaki besar itu dengan sangat tegas, membuat kesan gemuruh di akhir kalimatnya.

"Kalian yang lainnya, cepat tangkap mereka yang tersisa di dalam gedung itu" pintanya

Mereka berpencar menjadi dua kelompok, kemudian mengepung gedung itu. Aku tak bisa memikirkan hal lain selain mereka yang tertinggal di dalam gedung itu, semoga mereka berhasil kabur sebelum tertangkap.

Aku berbalik ke arah lelaki itu dan sebuah tendangan pada kakiku memaksaku harus berlutut, sementara Luke belum bisa bangkit setelah pukulan keras tadi.

"Aku sangat mencintaimu, kau memang wanita terhebat!" kata lelaki besar itu.

Kemudian mereka bertukar ciuman panas di depan kami yang membuatku hampir muntah. Setidaknya begitu sebelum pukulan keras membentur keras kepalaku dan membuatku kehilangan kesadaran.....

.
.
.
.
.
.

Bersambung 😂
Tunggu kelanjutannya dalam waktu dekat yah! 👏👏
Mohon dukungannya dengan Vote dan Share!! 😄
Terima kasih!

PERSONA : the PlagueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang