1.5 Kambing Bar-Bar vs Kunyuk Mesum (b)

3.9K 956 1.2K
                                    

"Hah...."

Nalindra menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Memerhatikan langit-langit kamar. Dia menatap geram bayangan wajah yang tiba-tiba muncul. Sosok itu tersenyum miring, mengejeknya.

"Kunyuk berengsek! Bajingan! Keparat! Gue benci lo!" Nalindra meninju udara, mengenyahkan bayangan wajah terkutuk yang paling dia benci.

Alfan. Si Kunyuk Setan yang sukses memorak-porandakan hidupnya. Kenapa makhluk kasar, sombong, otoriter dan menyebalkan seperti dia harus hidup? Laki-laki itu hanya kotoran menjijikkan yang mencemari bumi. Wajahnya sih, pengecualian.

"Ih, amit-amit!" Nalindra memukul kepalanya.

Apa baru saja Nalindra berpikiran bahwa Alfan itu... dia tat-tampan? Astaga! Astaga! Setan apa yang membisiki otaknya dengan pemikiran menggelikan seperti itu?

Nalindra bangkit duduk. Dia menepuk-nepuk pipinya kasar. Setelahnya, Nalindra masuk ke dalam kamar mandi hendak membersihkan diri juga otaknya yang sudah tercemari pemikiran dosa mengenai Kunyuk Setan itu.

Kaus putih bergambar karakter Minion dipadukan dengan celana jeans sedikit di bawah lutut melekat sempurna di tubuhnya yang ideal. Nalindra meraih sweater warna baby blue untuk diikatkan di pinggangnya sebagai pelengkap tampilan.

Langkah kaki membawanya menuju dapur. "Bi?"

"Iya, Neng."

Tampak seorang wanita paruh baya tengah berkutat dengan kompor. Namanya Bi Marni. Seorang asisten rumah tangga yang sudah Nalindra anggap sebagai keluarga sendiri.

Tak selamanya hubungan keluarga selalu tentang darah. Ikatan hati dan rasa peduli menjadi faktor lain. Mereka yang mengaku keluarga terkadang memilih tak acuh ketika dimintai uluran tangan. Bahkan, bukan hal mustahil ada yang berbalik mengkhianati.

"Bibi lagi masak apa?" Nalindra mengintip wajan.

"Sayur sareng gulai ikan. Kesukaan, Neng."

"Nalin bantu, ya?"

"Eh, gak usah. Ini pan pekerjaan Bibi. Sayang atuh Neng udah mandi, udah geulis kieu kudu bau bawang deui."

Nalindra memeluk Bi Marni dari samping. "Ya, udah. Bibi gak usah masak banyak-banyak. Setelah ini harus istirahat, ya."

"Muhun, Neng."

"Nalin main bentar, ya?"

Bi Marni mengangguk seraya mengulas senyum. Rasa iba selalu menghampiri ketika tak sengaja dia melihat Nalindra tengah menatap foto keluarganya dengan tatapan sendu.

"Sing kiatnya, Neng. Sing sabar."

Nalindra menghirup udara sore yang terasa sejuk. Perumahannya terbilang asri dengan pohon-pohon rindang yang berjejer rapi di sepanjang jalan. Gadis itu tersenyum ramah membalas sapaan orang-orang yang berpapasan dengannya.

"Mau main sebentar, Bu," jawabnya ketika Bu Rina, tetangganya, bertanya.

Tujuannya sore ini adalah alun-alun kota. Nalindra berjalan kaki karena jarak dari rumahnya ke alun-alun hanya sekitar 800 meter. Kendaraan yang lalu lalang terbilang sepi. Nalindra bersyukur karena tak perlu mendengar kebisingan klakson saat terjadi macet.

Nalindra menepi ke pedagang kaki lima. Terlebih dahulu membasahi tenggorokannya yang terasa kering. "Es jeruk satu, Mang."

Uangnya terjatuh ketika Nalindra merogoh saku belakang celananya. Dia mendengkus sebelum membungkuk untuk memungut uangnya itu.

My Pretty TroublemakerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang