4. Jadi Babu (a)

2.4K 545 569
                                    

Menyesal tak akan mengembalikan keadaan. Satu lagi pengalaman berharga Nalindra dapatkan. Bertindak diluar akal sehat tak jarang berakhir merugikan. Nalindra mengetuk-ngetukkan kakinya ke lantai. Tatapan suram terarah pada sosok yang tengah berbaring dengan mata tertutup.

"Alfan!" teriak seorang wanita dewasa.

Satu orang perempuan seusia Nalindra dan seorang gadis kecil menyusul. Raut keduanya menunjukkan kekhawatiran. Nalindra bangkit berdiri dan menggeser tubuhnya memberi ruang.

"Kamu kenapa, Sayang?" Hesti mengelus rambut putranya yang tak sadarkan diri dengan tangisan.

"Alfan kenapa, Nak?"

Nalindra tersentak ketika Hesti mengalihkan pandangan padanya. Perasaan takut mendapat kemarahan terbayang jika Nalindra mengaku. Lari dari tanggung jawab bukanlah solusi. Tindakan pengecut. Dan Nalindra bukanlah orang seperti itu.

"I-itu ... Alfan jatuh dari tangga, Tante. Saya yang salah karena—" ucapan Nalindra terpotong suara lenguhan seseorang.

"Alfan!" Hesti kembali mengalihkan pandangannya. "Ada yang sakit?"

Alfan tak menjawab. Dia meringis seraya menyentuh kepalanya yang terasa pening.

"Aku panggil dokter dulu ya," ucap seorang perempuan yang datang bersama Hesti.

Alfan tersenyum ketika Faren mendekat dan menanyakan keadaannya. Tatapannya berubah tajam mendapati seorang gadis yang menggigit ujung jarinya gugup. Alfan tak melepas pandangannya ketika gadis itu perlahan melangkah mundur kemudian memutar badannya hendak pergi.

"Mau ke mana lo?" Nalindra meringis sebelum menoleh.

"Lo gak boleh pergi. Ma, Alfan mau bicara dulu sama Nalindra." Hesti tersenyum sebelum keluar bersama Faren.

"Sini!" seru Alfan.

Nalindra melangkah ragu. Suhu dalam ruangan ini normal, tapi kenapa tubuhnya menggigil? Nalindra sudah pasrah. Tatapan sengit Alfan menjelaskan semuanya. Kehidupannya yang buruk akan dimulai. Lagi.

Ya Allah... lindungilah hambamu yang cantik ini.

"Lo mau lari tanggung jawab?"

Nalindra mendongkak. "Enggak! Gue pikir, keberadaan gue gak dibutuhin. Jadi untuk apa di sini? Toh, udah ada nyokap lo juga yang nemenin."

"Alasan! By the way, gak ada yang mau lo omongin, gitu."

"G-gue minta maaf. Terlepas dari semarah apa pun gue, nyelakain lo tetaplah salah meski gak sengaja."

"Bagus! Jadi babu gue selama sebulan. Itu caranya lo menebus dosa. Gak terima? Gue gak keberatan bawa masalah ini ke jalur hukum. Karena di sini, gue pihak yang dirugikan, gue korbannya."

Nalindra membuka mulut namun tak ada sepatah kata pun yang terucap. Satu-satunya yang dapat Nalindra lakukan adalah mengubur kekesalan dalam hati serapat mungkin. Menyetujui Alfan sama saja mengantarkan dirinya pada neraka. Menolak pun bukan solusi kecuali Nalindra bersedia hidup dalam kurungan jeruji besi.

"Oke. Tapi kalau tindakan lo diluar batas kewajaran, kesepakatan ini berakhir. Terutama mencampuri kehidupan pribadi gue."

"Setuju."

Seketika keterkejutan tertangkap di wajah Nalindra. Dia meraba-raba punggungnya sendiri. "Lo ngadep tembok dulu bentar."

"Ngapain?" Alfan mengernyit.

"Lakuin aja, gue mau ngebenerin ini."

"Ngebenerin apa?"

"Tali bra gue copot!" Wajah Nalindra memerah.

Keduanya terdiam dalam atmosfer kecanggungan. Nalindra merutuki dirinya sendiri dalam hati. Bisanya-bisanya dia mengatakan hal-hal tabu secara gamblang, memalukan.

"Lo ceplas-ceplos banget soal gituan. Sini ... biar gue aja yang benerin."

"Kunyuk mesum! Bukannya ngebenerin, malah lo bongkar entar."

"Idih! Gue gak nafsu sama tiang bendera."

"Gue juga gak sudi sama kunyuk mesum biadab!"

"Lo jigong kambing!"

Nalindra melotot. "Buruan ngadep sana!"

"Jangan ngintip!" seru Nalindra saat memergoki Alfan yang meliriknya sekilas.

Sementara itu, pikirannya berkelana mempertanyakan Zean. Nalindra sudah mengabarinya namun, hingga sekarang tak ada balasan. Terlebih hal-hal mengerikan sudah mengisi imajinasinya. Bayangan akan hidupnya yang kembali dalam kendali Alfan benar-benar buruk. Entah bagaimana nasibnya esok hari.

Suara pintu dibuka mengalihkan perhatian. Seorang dokter beserta mama Alfan, Firly dan Faren turut masuk. Dengan harap-harap cemas Hesti menunggu diagnosa dokter mengenai kondisi putranya.

"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?"

Menurut penjelasan dokter, tulang kaki kanan Alfan mengalami sedikit keretakan hingga harus dirawat selama beberapa hari. Pemulihannya cukup memakan waktu sekitar dua sampai tiga bulan.

"Mama pulang dulu ambil baju sama keperluan lain."

"Biar Firly aja yang nemenin Alfan, Tante." Gadis itu menawarkan diri dengan senyum manis.

"Lo juga pulang aja. Udah malam. Biar Nalindra yang jagain gue."

Yang namanya disebut, melotot. Kalau Kunyuk itu tahu ini sudah malam, lalu kenapa dia meminta Nalindra temani? Menyebalkan!

"Tapi, Al—"

"Lo pulang sama siapa nanti? Gue gak setuju kalau lo ikutan nginap. Cukup nyokap yang nemenin gue."

Firly menurut setelah melihat keteguhan Alfan yang menolak niat baiknya.

Tersisa dua remaja yang saling melemparkan tatapan sengit setelah ketiga orang itu pergi. Ah, iya! Nalindra lupa menanyakan siapa gadis yang bernama Firly. Aneh saja melihat keengganan Alfan terhadapnya.

"Cewek tadi siapa?"

"Kalau gue bilang dia istri gue, lo percaya?"

"Ya, enggaklah! Dia kebagusan buat lo!"

"Terus, lo yang pantas buat gue gitu?"

"Amit-amit buang mantan! Gue gak sudi sama lo di saat gue udah punya Zean," balas Nalindra cepat.

Alfan tergelak. "Amit-amit jabang bayi, woy! Betewe, hati-hati. Siapa yang tahu di masa depan nanti lo malah makan omongan sendiri."

My Pretty TroublemakerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang