11. Belanja (a)

673 106 43
                                    

Press 🌟 n comment ^^

Happy reading 😘

***

Menyerah ketika hasil tak sesuai harapan merupakan tindakan pengecut. Ketika mimpi dan tekad dipadukan, tak menutup kemungkinan perwujudan akan menyambut. Dengan usaha dan langkah sedikit demi sedikit, yakin tujuan 'kan dicapai pada waktu terbaik.

Nalindra tak bisa berhenti mencuri-curi pandang pada sosok di sampingnya. Alendra memiliki daya tarik yang kuat hingga butuh usaha ekstra untuk mengabaikan. Paras rupawan menjadi salah satu dari sekian banyak alasan.

"Kakak apa kabar?"

Nalindra membuka mulut. Jengah dengan kebisuan yang mendominasi. Lagi-lagi keberadaannya tak kasat bagi Alendra. Sudah seminggu berlalu tapi hubungan mereka bagai dua orang asing yang dipaksa tinggal bersama. Apakah kenangan indah yang dulu Nalindra rasakan hanya bagian dari ilusinya? Sungguh berat menerima kenyataan bahwa orang yang dulu memberi kepedulian begitu besar berbalik mengabaikan dan menyerukan benci.

"Kakak udah punya pacar? Nalin udah dong. Namanya Zean. Dia ganteng, pinter, baik. Kadang nyebelin juga sih. Nanti Nalin kenalin, deh."

Nalindra tak peduli. Alendra mendengarkannya atau tidak. Dia hanya ingin menceritakan apa pun pada kakaknya. Hal yang biasa mereka lakukan dulu. Dengan bibir bergetar dan lelehan air mata, untaian kata terucap membentuk cerita.

Alendra yang tengah mengemudi tampak tenang dan tidak terusik dengan ocehan Nalindra. Namun mimik wajahnya terlihat semakin serius. Terlebih pada saat Nalindra menceritakan bagian sulit yang telah ia lewati. Reaksi Alendra tampak samar, namun mampu membangkitkan harapan Nalindra.

"Nalin gak tahu gimana keadaannya sekarang. Semoga dia dapat balasan yang setimpal. Coba aja waktu itu gak ada temen yang nolongin, mungkin sampe sekarang Nalin masih jadi objek pahatan pisaunya."

Nalindra menghirup udara dalam-dalam. Tak mudah membuka kembali hal menyakitkan yang sudah ia tutup rapat. "Tiap hari Nalin terus meyakinkan diri kalo Papa ataupun Kakak bakalan datang. Harapan itu terus Nalin genggam sampe gak sadar empat tahun udah berlalu."

Nalindra mengakhiri ceritanya dengan senyum pedih. Ucapan terima kasih menjadi penutup beberapa menit kebersamaannya dengan Alendra. Entah ancaman apa yang Gibran katakan hingga Alendra bersedia mengantar Nalindra ke sekolah sekaligus berangkat kerja.

Nalindra tersenyum getir, menatap mobil yang langsung melesat setelah kakinya berpijak di atas tanah. Langkahnya lunglai menuju kawasan sekolah yang mulai ramai. Pandangannya menunduk, menatap sepasang sepatu yang membalut kaki. Pikirannya berkecamuk.

"Kambing!" Tangan Alfan melambai menyuruhnya mendekat.

Nalindra menginjak kaki lelaki itu ketika sampai di hadapannya. Kesal karena Alfan sesuka hati memanggilnya dengan nama binatang.

Alfan sendiri spontan mengumpat menggunakan bahasa Inggris. Wajahnya tampak menahan sakit. Matanya memelototi Nalindra yang menjulurkan lidah. Gadis kambing itu benar-benar!

"Pulang sekolah nanti temenin gue ke mall. Sekalian minta pendapat lo tentang barang yang cocok dan pantes buat ibu-ibu."

"Buat siapa??"

"Ngokap, dia ulang tahun hari ini."

Nalindra mengangguk kecil. Sosok wanita paruh baya yang masih cantik itu berkelebat. Mama Alfan sangat ramah hingga Nalindra merasa nyaman ketika beberapa kali berkunjung ke rumah Alfan. Tentu saja tujuannya untuk memenuhi tugasnya sebagai babu.

"Yang nganter lo tadi siapa?"

"Kakak gue."

Alfan tak bertanya lebih lanjut. Ia tersenyum kecil dan memeringati Nalindra agar menyimak penjelasan guru dengan baik. Lelaki itu berlalu setelah mengusap pelan kepalanya. Membuat Nalindra merasa diperlakukan seperti seekor kucing alih-alih takjub atau baper dengan kelembutan yang coba Alfan tunjukkan.

***

Keputusan yang salah meminta pendapat Nalindra. Keadaannya terbalik. Malah dia yang kebingungan dan meminta saran Alfan memilih benda yang tepat untuk Hesti sebagai kado ulang tahun. Nalindra bilang, ia merasa perlu memberikan hadiah karena Hesti bersikap baik padanya.

"Masa lo gak tahu selera Emak lo sendiri!"

"Harusnya lo yang lebih tahu karena sama-sama cewek!"

"Lo 'kan anaknya!"

Asyik berdebat, keduanya tak sadar menjadi tontonan pengunjung lain. Mereka sudah berkeliling dan mengunjungi berbagai tempat. Dimulai tempat pakaian, aksesoris, makanan, sampai peralatan rumah tangga. Aksi saling balas dan menyalahkan terus dilakukan. Enggan menurunkan ego dengan dalih mempertahankan harga diri.

"Rencana awal 'kan gue yang minta tolong lo pilihin barang. Kenapa malah lo ikut-ikutan dan jadi ribet?"

"Gak semua perempuan itu punya selera yang sama. Emang selera cowok sama rata apa?"

"Sama sama suka gunung kembar yang subur, kok."

Nalindra sontak melotot mendengar celetukan Alfan. Kunyuk Mesum itu benar-benar tak waras hingga berani mengatakan hal-hal vulgar di tempat umum. Nalindra harus berpikir ulang untuk menyetujui ataupun mengajak Alfan.

"Jaga bacot lo!" desis Nalindra sambil melotot.

Sentilan di kening ia dapatkan sebagai balasan dari Alfan. "Mulut lo yang perlu dijaga. Cewek tapi ngomongnya kasar."

Nalindra menahan kekesalan dengan menggigit ujung lidah. Terlalu geram, membuatnya berlalu mengabaikan teriakan Alfan yang memanggil namanya. Lelaki itu bersungut-sungut seraya mengekorinya dari belakang.

"Lo kenapa ninggalin gue sih!"

Nalindra menepis tangan Alfan yang menjewer telinganya ketika ia berhenti di sebuah toko perhiasan.

"Kalung itu kayaknya cocok buat nyokap lo, Al."

Pandangan Alfan tertuju pada sebuah kalung emas putih yang berbandul menyerupai tetesan air. Entah kenapa, Alfan memikirkan hal serupa. Air seperti gambaran sosok Hesti yang tenang namun, tiba-tiba bisa berubah dalam keadaan tertentu.

Beruntung Alfan menyisakan uang jajannya hingga cukup untuk membeli kalung itu. Nalindra sendiri membeli sebuah cermin cantik dengan sulur tumbuhan sebagai hiasan.

"Lo laper, gak?"

"Mending pulang aja, deh. Males kalo bayar sendiri." Nalindra nyengir.

"Dasar! Ayo!"

Nalindra tak menolak sentuhan Alfan yang menggenggam tangannya menuju foodcourt. Lelaki itu memilih meja di dekat jendela. Khawatir melihat perubahan cuaca yang semula cerah, kini terlihat awan  mendung berbondong-bondong menutup langit.

"Kalo hujan gimana? Gue gak bawa jas."

"Paling juga basah. Takut banget sama air. Cemen lo," cibir Nalindra.

Alfan berdecak. "Bukan takut basah. Gue gak mau lo sakit."

Tangan Nalindra berhenti di udara ketika hendak mengambil tisu. Pernyataan ringan Alfan menghentikan seluruh fungsi syaraf untuk sesaat. Setelah beberapa detik termangu, Nalindra berhasil mengendalikan kinerja tubuhnya kembali.

Pesanan mereka datang. Keduanya makan dengan tenang dan sesekali diselingi obrolan tentang perayaan ulang tahun Hesti. Alfan dan Nalindra begitu bersemangat menyusun rencana. Meski perdebatan tak dapat dihindari, akhirnya mereka menemukan titik temu.

Besok akan menjadi hari yang menyenangkan.

***

Hayo yang kemarin khawatir MPT tamat sampe bab kemaren siapa? Ngaku!!

Sesuai janji, El up 2 part. Silakan scrool.

Btw, ramein dongs. 🤗🤗 Ajak temen, keluarga, pacar, mantan ama musuh baca MPT. Wkwkwk

My Pretty TroublemakerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang