4.5 Jadi Babu (b)

1.8K 429 433
                                    

Seorang pria muda berumur 24 tahunan tengah memandangi grafik-grafik di laptopnya. Matanya awas menelelisik setiap angka yang dicapai grafik itu. Usahanya meningkat 14 persen dari bulan lalu. Dia meraih ponselnya hendak menghubungi seseorang.

"Halo?" ujar seseorang di sana.

"How to build new resort at Siesta beach?" Alendra berseru tak sabar.

"Everything went well, sir. Development has reached 80 percent."

Alendra tersenyum puas. "Nice. Will Mr. Malfoy invest his money there?"

"He will contact you later in the afternoon."

"Ok. make sure everything is done before the end of the month. Tell Glory to plan promotions soon after they're done," ujar Alendra.

"Certain. I will do it, sir"

"Thanks, Fred." Alendra mematikan sambungan ponselnya, lalu mengecek beberapa email yang masuk.

"Alendra ...." Dia menoleh.

"Papa?"

"Kenapa kaget begitu? Kamu gak suka Papa datang?" tanya seorang pria yang masih terlihat rupawan diusianya yang tak lagi muda.

"Bukan, Alen gak nyangka Papa datang ke sini padahal sebelumnya Alen dengar Papa ada bisnis di Busan," ucap Alendra seraya menutup laptopnya.

"Papa dengar kamu memenangkan tender minggu lalu. Baguslah. Papa bisa mempercayai kamu untuk meneruskan perusahaan kita nantinya," ucap pria itu, Gibran. Dia menempati sofa tak jauh dari tempat Alendra duduk sebelum menghampirinya. Mereka sama-sama pebisnis yang kompeten dan inovatif.

Usaha Alendra memang belum sebanding dengan pencapaian papanya yang sudah dikatakan Mega di kalangan pebisnis. Bagaimana tidak, hampir semua bidang digelutinya seperti bisnis Real Estate yang membangun rumah, hotel, apartemen, dan vila dengan memperkerjakan arsitek handal tentu menghasilkan keuntungan yang besar.

Bisnis TMT (Telecoms Media Technology) dengan memiliki pertelevisian dan sejumlah saham di perusahaan telepon seluler juga berperan dalam menambah pundi-pundi kekayaannya.

Meski pemula, Alendra sukses menjadi pebisnis muda dengan memajukan usahanya yang baru dirintis semenjak dia kuliah semester tiga sekitar empat tahun lalu. Perusaahaan besar baik lokal dan asing pun dengan senang hati menerima tawaran kerja sama darinya.

"Alen sedang merintis usaha sendiri, Pa."

"Papa tahu. Nama kamu mulai diperhitungkan di kalangan pebisnis. Beberapa kolega Papa juga sering menanyakan karena kamu susah dihubungi. Bagaimana perkembangan resort kamu? Di Siesta beach, bukan? Kapan-kapan Papa akan berkunjung dan mengharap dapat sambutan yang baik nanti." Gibran terkekeh pelan.

"Awal bulan depan akan dibuka. Papa datang saja jika ingin," jawab Alfan santai. "Alen tahu, bukan ini yang ingin Papa bicarakan sampai datang ke sini."

Gibran tertawa. "Kamu memang pintar. Papa juga malas basa-basi. Besok lusa kita pulang ke Indonesia. Papa dengar adik kamu nekat kabur."

"Kehidupan Alen di sini. Papa tahu? Aku alergi jika harus berbagi udara yang sama dengannya."

Mata Gibran menajam. Bibirnya membentuk garis lurus. "Kamu harus pulang Alendra, sebelum Papa menghancurkan bisnis kamu. Persiapkan apa saja barang-barangmu. Besok lusa Joe akan datang menjemput kamu. Papa gak main-main."

"Oke. Alen akan pulang asalkan dia harus pergi. Yang jelas, harus ada jarak paling tidak terhalang lima negara."

Alendra menekan kata di setiap ucapannya. Sulit membuat Gibran mengerti jika dirinya benar dan sangat-sangat tidak sudi jika harus berlindung di langit yang sama apalagi harus bertatap muka. Menjijikkan!

"Tidak akan ada yang pergi lagi. Kamu ataupun Nalindra. Kita akan tinggal bersama."

Alendra tersenyum miring. "Kalau begitu, Alen akan tetap di sini. Florida tempat yang menyenangkan."

"Kamu harus pulang atau akan menyesal. Papa pastikan itu!" tandas Gibran sebelum pergi.

Nalindra Raqeline Giantara.

Alendra benci gadis itu. Adiknya, huh? Yang benar saja! Gadis sial itu adalah kutukan terbesar dalam hidupnya. Merampas tawanya. Merenggut kebahagiaan yang selalu Alendra damba. Dia benar-benar pengacau. Nalindra pengacau.

***

Firly menggigit bibirnya gugup. Berada di ruangan yang sama dengan Alfan, terlebih hanya berdua karena Hesti keluar sebentar untuk menjenguk anak temannya yang sedang dirawat di rumah sakit ini. Firly merasa canggung. Bagaimanapun mereka punya kisah kasih. Dulu. Sebelum dirinya bertindak bodoh dan berakhir menyesal.

"Al kamu belum makan, kan? Mau aku beliin bubur atau sesuatu?" tanya Firly memecah keheningan.

"Gak usah. Sebaiknya lo pulang aja," jawab Alfan tanpa mengalihkan perhatian dari ponselnya

To : Kambing Cungkring

Mbing, bawain gue buah-buahan besok. Chicken wings sama soft drink juga.

Firly tersenyum miris. Sepenuhnya sadar dia bukan lagi pemilik label istimewa di hati Alfan. Bahkan, kehadirannya pun seperti tak kasat mata hingga lelaki itu tak sedikit pun melihatnya atau sekadar melirik.

"Apa aku kotoran di mata kamu? Virus? Bakteri? Dari kemarin nyuruh pergi terus."

Alfan menaruh ponselnya. "Gue gak bodoh dan tahu lo punya tujuan lain."

"Kalau kamu tahu, kenapa diam aja? Kasih kejelasan!" Firly berteriak. Air matanya menetes sementara tangannya mengepal kuat di kedua sisi tubuh.

"Kurang jelas apa lagi? Gue gak minat mengulang kisah lama. Harusnya lo sadar dari cara gue menanggapi. Satu hal, lo sendiri yang minta putus. Jadi jangan ngelempar kesalahan ke orang lain."

Firly bungkam. Kebodohan yang dia lakukan dulu seakan menamparnya. Sampai mana lagi dirinya harus merendah agar Alfan mau kembali padanya. Firly kira, Alfan akan terus memujanya. Selalu menjadikannya prioritas seperti yang lalu-lalu.

"Al ... apa sama sekali gak ada kesempatan kedua? Aku benar-benar sayang sama kamu." Suara Firly merendah. Dia merasa putus asa.

Alfan memerhatikan Firly yang menunduk. Tak pernah dia melihat Firly memohon seperti itu. Kata maaf dapat dihitung dengan jari yang keluar dari mulutnya saking gengsi. Saat keduanya menjalin kasih, Alfanlah yang paling sering mengalah meski kesalahan bukan terletak padanya.

"Kesempatan apa yang lo maksud? Kalau berteman gue terima dengan senang hati. Lebih dari itu gue gak bisa." Suara Alfan melembut.

Firly menggeleng. Mengisyaratkan bahwa 'teman' itu tak cukup baginya. Firly menginginkan lebih. "Kenapa? Kamu suka cewek lain? Nalindra?"

Alfan mendesah. "Jangan libatin orang lain. Meski gue gak suka siapa pun saat ini, bukan berarti gue mau sama lo. Logikanya, apa lo mau kembali pada orang yang ngebodohin lo? Gue tahu lo punya punya seseorang sebelum gue. Lebih jelasnya, gue cuma selingkuhan."

Firly tak bisa menyembunyikan keterkejutan. Tubuhnya menegang, tangisnya tiba-tiba terhenti.

"Kalau lo jadi gue, apa lo mau nerima gue yang udah ngebodohin lo? Buat lo ngerasa jadi seseorang yang paling beruntung di dunia padahal gak lebih dari mainan?"

Firly mematung. Luka yang dia torehkan di hati Alfan bukan hal sepele. Malu seolah tertutup ambisi dan ego. Terbiasa hidup di negeri dongeng bagai putri, menuntut semua keinginannya agar terpenuhi. Termasuk Alfan. Firly menginginkan lelaki itu. Tak peduli dengan cara apa yang akan ditempuh. Alfan harus kembali padanya.

"Maaf kalau kata-kata gue terlalu kasar. Lupain semua keinginan lo. Kita—"

"Kamu boleh nolak. Tapi kamu gak berhak nyuruh aku berhenti. Aku tahu, maaf aja gak cukup atas apa yang aku lakuin. Jadi, daripada sekadar omong kosong, aku bakalan buktiin semuanya," ucap Firly sebelum berlalu.

Alfan mendesah. Keras kepala belum hilang dalam pribadi gadis itu.

"Kenapa? Kamu suka cewek lain? Nalindra?"

Mau tak mau, pertanyaan Firly seolah mengganggunya.

My Pretty TroublemakerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang