7. Pagar Transparan (a)

1K 160 71
                                    

Masa skors berakhir. Nalindra kembali sekolah bertepatan dengan Alfan yang juga masuk. Namanya semakin populer pasca insiden tempo hari. Cibiran dan makian memenuhi organ pendengaran. Diam merupakan pilihan terbaik daripada membalas mereka dengan pelototan yang seperti biasa Nalindra lakukan. Menguras tenaga, pikirnya.

"Cuek dan fokus makan."

Pandangan Nalindra beralih. Menatap Alfan yang santai memakan sotonya. Mengenai lelaki itu, sedikit menyita pemikiran Nalindra. Keanehan Alfan bermula dari kemarin. Lelaki itu menelepon dan mengomelinya karena Nalindra tak datang. Nalindra mengatakan kakinya sakit lalu Alfan menghubunginya via video call.

Setelah menunjukkan bukti fisik, cowok itu mematikan sambungan secara sepihak. Hari ini, Alfan memaksanya pergi ke kantin padahal Nalindra sedang malas karena kakinya berdenyut sakit setiap melangkah.

"Gue emang ganteng. Tapi lo perlu ngedip. Kering tuh mata."

"Over pede!" Nalindra kembali menyuapkan mi ayam ke mulutnya.

"Kaki lo kenapa?"

"Mau tahu aja apa mau tahu banget?" balas Nalindra acuh.

"Sulit ya, ngejawab pertanyaan dengan benar?"

"Sejak kapan urusan gue jadi penting buat lo?"

Andai Nalindra lebih peka. Suasana menjadi mencekam usai pertanyaan sarkasnya. Nalindra hanya menempatkan Alfan pada posisinya. Lelaki itu dinilai terlalu ingin tahu dan melewati batas.

Di sisi lain Alfan merutuki diri sendiri. Tanpa sadar memberi kepedulian padahal dia tak memiliki peran. Atau Nalindra saja yang terlalu melebih-lebihkan karena pertanyaan Alfan rasanya masih wajar dan berlaku untuk umum.

"Nal!" Satya menghampiri dan mengambil tempat duduk di samping Nalindra.

"Bu Nina manggil lo setelah istirahat usai."

"Kenapa?"

"Mungkin berkaitan sama tugas kelompok kemaren."

Nalindra mengusap wajahnya kesal. "Gue kan diskors. Guru satu itu bener-bener!"

Satya menepuk pundak Nalindra beberapa kali. "Gue udah usaha ngasih pengertian. Lo tahu sendiri pendiriannya lebih keras dari besi."

"Thanks, Sat. Pulang sekolah nanti gue traktir ciki jagung bakar satu."

Satya tersenyum kecil sebelum beranjak pergi.

"Ada masalah?" tanya Alfan.

"Gak ada kalau Bu Nina gak perhitungan." Nalindra meletakkan tangannya di meja untuk dijadikan tumpuan kepalanya.

"Udah kewajiban murid ngerjain tugas."

"Lo keliru. Menurut wikipedia, dalam Islam yang dinamakan wajib akan mendapatkan pahala apabila dikerjakan dan mendapat dosa bila ditinggalkan." Nalindra mengacungkan jari telunjuknya seperti seorang ibu yang tengah memberikan nasihat pada anaknya.

"Penggunaan wajib yang gue maksud secara umum, bukan dalam dalam pandangan Islam. Lo jangan berlaga jadi Mamah Dedeh gadungan kalau salat aja masih setaun sekali." Alfan meraih tisu untuk mengelap mulutnya usai makan.

"Setaun sekali?"

Alfan mengangguk. "Iya, cuma salat idul fitri doang."

Nalindra tergelak. "Idih, fitnah. Pengalaman lo kali."

"Gue mah rutin seminggu sekali, salat Jumat."

Nalindra tertawa kecil. "Dasar! Yang lima waktunya?"

"Rahasia, dong. Pahala gue hangus kalau diumbar." Alfan menaik-turunkan alisnya.

"Alasan! Kalau diperhatiin, lo lebih adem-ayem sekarang. Gak kayak kemaren, cerewetnya minta ampun nyuruh gue ini-itu." Nalindra menopang dagu menatap Alfan yang memalingkan wajahnya.

"Karena itu, lo harus bersyukur punya majikan baik, saleh dan super ganteng kayak gue."

Nalindra memutar bola matanya jengah. "Sifat narsis lo buang jauh-jauh, gih."

"Lo suka yang mana? Gue yang cerewet atau pendiem?" Alfan menatap Nalindra lekat.

Nalindra mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke dagu. "Gak ada satu hal pun dari lo yang gue suka. Kesukaan gue Zean. Yah... siap-siap diserang rindu deh gue karena Zean cabut ke Bandung hari ini. Hiks!"

Nalindra mengalihkan pandangan ketika Alfan menatapnya lekat.

Alfan mengangkat sudut bibirnya sedikit. "Lima menit lagi bel masuk. Lo bisa jalan sendiri ke kelas?"

Nalindra mendelik. "Gue udah bilang gak mau ke kantin. Lo maksa, sih! Kaki gue sakit."

"Gue bantuin."

"Bantu apa? Wong kita sama-sama pincang," tukas Nalindra kesal. "Udah ah, gue cabut. Bu Nina bakal ngabisin gue kalau lama-lama."

Nalindra mengumpat pelan ketika gelenyar sakit kembali terasa. Dia mendesis tiap kali melangkah dengan tertatih. Belum lagi tatapan yang mengikutinya sepanjang perjalanan benar-benar menganggu.

"Permisi?" Nalindra mengetuk pintu.

"Masuk," balas dari dalam.

"Ibu manggil saya?"

Bu Nina mengangguk. "Duduklah."

Nalindra menurut. Dia sudah bersiap menguatkan hati mendengar petuah dari gurunya yang satu ini. Bu Nina adalah guru Kimia yang menjunjung tinggi kedisiplinan dan tanggung jawab. Tak heran dia merangkap menjadi wakil kepala sekolah kesiswaan.

"Nilai kamu nol dalam tugas kelompok kemarin." Bu Nina mengawali pembicaraan.

"Saya kan diskors, Bu," ujar Nalindra membela diri.

"Saya tahu. Makanya saya kasih kesempatan itu pun kalau kamu mau nilai. Rangkum materi bab sekarang. Pilihan lainnya, datangkan orangtua kamu menghadap saya andai nilai kamu di bawah KKM sebelum UKK nanti."

Nalindra terdiam. Kemampuan otaknya terbilang minim dan bermain bersama angka serta rumus bukanlah sesuatu yang menyenangkan baginya. Namun, hal-hal yang menyangkut tentang keluarga, membuat Nalindra sensitif. Itu kelemahan terbesarnya.

"Saya akan ngerjain tugas, Bu," putus Nalindra

"Pilihan yang bagus. Saya tunggu sampai pulang sekolah nanti."

Mata Nalindra melebar. "Besok aja istirahat kedua bisa enggak, Bu?"

"Besok pagi atau tidak sama sekali," ujar Bu Nina final.

Nalindra mengangguk meski setengah hati. Bu Nina tidak akan luluh hanya karena rengekan ataupun tangisannya. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah menjadi anak penurut untuk saat ini.

"Nal?"

Merasa dipanggil Nalindra menoleh. Tampak Rama dengan sikap tenangnya. Kedua tangan cowok itu dimasukkan ke dalam saku. Meski memakai kacamata, Rama bukanlah kategori cowok culun dilihat dari sudut manapun. Terutama tubuh jangkungnya.

"Gue boleh minta nomornya Zean?"

"Hm? Eh! Bo-boleh."

Nalindra meraih ponsel Rama dengan kening berkerut. Tangannya lincah mengetik deretan angka yang sudah hafal di luar kepala.

"Kenapa, Ram?" tanyanya seraya menyerahkan ponsel Rama kembali.

"Bukan apa-apa. Lo lihat Alfan, enggak?"

"Tadi sih, di kantin bareng gue. Sekarang ... gak tahu." Nalindra mengedikkan bahunya. "Oh, ya ... bilangin ke si Kunyuk itu. Hari ini gue absen jadi baby sitter-nya dia. Ada tugas negara. Nanti gue kirim balon sama permen kalau Alfan cerewet."

My Pretty TroublemakerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang