9. Pilihan (b)

740 124 41
                                    

"Nalin! Kenapa kamu pulang sendiri? Tadi Papa nyuruh Alen buat jemput kamu."

Langkah Nalindra terhenti ketika menemukan sosok laki-laki paruh baya yang duduk di sofa menunggunya.

Papa....

"T-tadi Nalin ada keperluan. Makanya Nalin nyuruh Kakak duluan." Nalindra menjawab tanpa berani membalas tatapan papanya, Gibran.

Pria itu menghela napas sebelum bangkit berdiri menghampiri Nalindra. Tanpa tahu tubuh gadis itu gemetar seiring langkahnya yang mendekat. Gibran tetegun ketika Nalindra malah menepis pelan tangannya yang terulur hendak melepas rindu.

"Kaki kamu kenapa?" Gibran memerhatikan kaki Nalindra yang diperban.

"Hanya luka kecil. Maaf, Pa. Nalin capek," ucapnya sebelum berlalu.

Nalindra menutup pintu kamarnya perlahan. Tubuhnya perlahan meluruh ke lantai. Tangis yang sedari tadi ditahan pecah. Dia membekap mulut meredam suara isakan. Memori pahit empat tahun lalu masih melekat kuat.

Hal itu terjadi setelah insiden dirinya terluka. Saat itu Nalindra mencoba kembali mendekati Alendra yang tanpa sebab menjauhinya. Nalindra mengadukan perbuatan Alfan yang terus-menerus mengganggunya. Namun, Alendra malah mendorongnya kuat hingga punggung Nalindra membentur lemari di belakangnya.

"Berhenti manggil gue Kakak, sialan! Lo harusnya gak lahir ke dunia ini. Lo cuma sampah gak guna yang bikin kotor hidup gue!"

Kepala Nalindra terluka karena tertimpa salah satu benda yang berjatuhan dari lemari itu. Setelah Nalindra sadarkan diri, Gibran tiba-tiba membawanya ke bandara.

"Mulai saat ini kamu tinggal sama tante kamu, Rosaline."

Pandangan Nalindra beralih pada sosok wanita anggun dengan mata hijau dan rambut kemerahan. Dia mengumbar senyum ramah saat Nalindra menatapnya.

"Papa!" teriak Nalindra ketika dia menoleh, papanya itu sudah berjalan menjauh.

"Lepas! Papa! Papa!"

Dua orang pria bersetelan hitam, menahannya hingga Nalindra tak bisa mengejar Gibran. Langkah pria itu terlampau cepat. Nalindra menangis seiring punggung pria itu menjauh. Gibran bahkan tak menoleh padanya walau sedetik untuk terakhir kali.

Nalindra menyingkapkan sedikit lengan bajunya. Tangannya mengikuti bekas luka sayatan di lengan atas. Luka itu dia dapat selama tinggal di Rusia. Rosaline seorang psikopat gila. Senyum dan keramahannya hanya topeng untuk menutupi sisi dirinya yang lain.

Perhatian Nalindra beralih pada ponselnya yang berdering.

"Halo, Ze?"

"Lo baik-baik aja, kan?"

Menyadari Zean tak mungkin melihatnya mengangguk, Nalindra angkat suara. "Ya," ucapnya.

"Ada apa?" Zean berseru tenang namun tersirat tuntutan meminta penjelasan.

Nalindra tersenyum kecil. Lelaki itu terlalu mengenalnya. Sangat sulit menyembunyikan sesuatu bahkan hal kecil sekalipun. Seolah Zean memiliki kemampuan mendeteksi kebohongan.

"Kunyuk itu suka gue." Tak ada pilihan lain. Hanya itu yang terpikirkan oleh Nalindra setelah memutar otak.

Terdengar suara helaan napas di sana. "Bukan hal aneh ada yang suka lo. Tiap hari gue ngurut dada dengar pujian dari cowok lain. Rasanya cuma gue yang berhak bilang lo cantik."

"Apa? Apa? Gue cantik?" tanya Nalindra menggoda.

"Siapa yang bilang?"

"Lo!"

"Kapan?"

"Barusan!" Nalindra berujar gemas.

"Masa, sih? Lo senang gue bilang cantik?"

"Iya." Nalindra mengangguk mantap.

"Oke. Anggap aja begitu."

"Nyebelin!"

Nalindra merengut kesal meski hatinya menghangat mendengar suara tawa Zean di seberang sana. Dia menggigit bibir menahan kata rindu lolos dari mulutnya. Rencana menyusul Zean sering terlintas. Hanya saja Nalindra tak ingin kehadirannya menjadi gangguan.

"Cantik aja gak cukup untuk menggambarkan sosok lo, Nal. Lo indah. Sangat indah."

Nalindra menduduk malu. Bibirnya dilipat menahan senyum. "Belajar gombal di mana?"

"Perusak suasana!"

Nalindra tersenyum geli ketika mendengar Zean mendengkus. "Gimana kabar nyokap lo, Ze?"

"Untuk sekarang gak bisa dikatakan baik. Doain aja."

"Semoga cepet sembuh dan kembali seperti sedia kala. Sori sebelumnya. Kalo... bokap lo?"

Zean berdecak. "Gue males bahas dia, Nal. Ganti topik."

Nalindra tersenyum tipis. Sampai sekarang, topik mengenai papanya Zean masih tabu untuk dibahas. Dia mengerti perasaan lelaki itu. Dikecewakan sosok yang selama ini jadi anutan, benar-benar membanting kekaguman.

"Bahas tentang kita aja, gimana?"

"Kita, ya?"

Senyum Nalindra luntur ketika Zean melontarkan ucapannya dengan nada mengejek. "Kenapa? Lo gak mau halalin gue? Cuma berani macarin doang? Banci!"

"Jangan nyuri start, Nal. Harusnya gue yang ngelamar lo. Bukan sebaliknya. Untuk sekarang, nikmatin aja dulu. Emangnya lo mau gue kasih makan batu sama pasir? Gue masih proses perbaikan menuju suami dan imam idaman."

Nalindra mengatupkan bibir seiring semburat merah menjalari pipi. Zean sangat ahli membalikkan keadaan dan membuatnya mati kutu. "Plis... jangan ngebaperin lagi. Gue jadi makin sayang."

"Tuh,kan... tanggung jawab! Gue jadi kangen sama lo."

Nalindra tertawa ketika mendengar Zean uring-uringan di seberang sana. Nalindra tak menyadari ada sosok lain di balik pintu yang mendengarkannya sedari tadi.

Maafin Papa, Nalin.

My Pretty TroublemakerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang