9. Pilihan (a)

779 131 20
                                    

Sulit membedakan antara berani atau hal bodoh yang Alfan lakukan. Lega sekaligus menyesal menjadi resiko. Menyukai seseorang yang terikat hubungan dengan orang lain bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Miris. Terlebih Alfan tahu perasaan Nalindra berkebalikan dengannya. Gadis itu membencinya.

"Al?" Terdengar ketukan pintu.

"Masuk aja, Ma."

Tempat tidur melesak ketika Hesti duduk di samping putranya. Senyum hangat miliknya sedikit menghilangkan gundah. Ditambah usapan lembut di kepalanya membuat Alfan merasa lebih baik.

"Turun, yuk? Makan malam udah siap."

"Mama duluan aja. Nanti Alfan nyusul."

"Jangan lama-lama." Pesan Hesti sebelum hilang di balik pantu.

Alfan menyusul setelah menaruh kembali gitar miliknya yang beberapa menit lalu ia mainkan. Suara tawa menggema di ruang makan. Alfan mendengkus melihat kursi yang biasa adiknya—Faren—tempati, diisi orang lain.

"Hai, Al," sapa Firly riang.

Harez berdeham ketika Alfan bersikap tak acuh. Baginya, sikap seperti itu merupakan tindakan pengecut. "Alfan, Firly nyapa kamu."

"Hm." Alfan mulai mengisi piringnya.

Hesti mengelus lengan Harez untuk menenangkan suaminya yang sedikit tersulut. Dia beralih pada Firly untuk mencairkan ketegangan. "Orangtua kamu kapan datang ke sini?"

"Mereka masih sibuk, Tante. Minggu depan baru nyusul," jawab Firly. Matanya melirik Alfan yang bersikap tak acuh padanya.

Manusia bukan makhluk tanpa cela. Kesalahan dan dosa pasti dilakukan sadar ataupun tidak. Setiap orang memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri. Hanya saja, Firly tak mendapatkan itu dari Alfan. Perlu pembuktian untuk mendapatkan kembali kepercayaan yang telah dia khianati.

"Kamu kelas sepuluh SMA kan, ya?"

"Iya, Tante. Di China pelajaran lebih rumit. Lihat soalnya aja, Firly udah pusing campur mual gitu. Beberapa huruf sama kosa katanya Firly lupa makanya sering salah ngisi."

Pembicaraan yang tampak menyenangkan itu, sama sekali tak menarik perhatian Alfan. Dia sibuk memikirkan hari esok. Menerka-nerka bagaimana Nalindra menyikapinya setelah ini. Pasti bukan hal baik mengingat ekspresi Nalindra ketika Alfan menyatakan suka.

"Kita bicarakan tanggal pertunangannya nanti setelah orangtua kamu ke sini."

Alfan tersentak. "Pertunangan siapa, Pa?"

"Kamu sama Firly. Firly ngambil program akselerasi. Setahun lagi kalian akan bertunangan setelah lulus SMA."

Alfan menghela napas lelah. Jasa dan pengorbanan orangtua tak bisa dinilai dengan apa pun. Meski dia menaruh dunia di pangkuan mereka atau meletakkan jutaan bintang di kakinya sekalipun. Setiap orangtua menginginkan hal terbaik untuk anaknya.

Namun, seorang anak berhak menentukan masa depannya sendiri. Hidupnya bukan milik mereka. Peran orangtua itu mendukung bukan mengatur. Bukan mengendalikan tetapi mendampingi.

"Alfan gak mau. Aku berhak menentukan pilihan sendiri terutama mengenai pasangan. Tanpa ikut campur siapa pun termasuk Papa." Alfan berdiri.

"Alfan! Duduk kembali," titah Harez.

"Aku selesai." Alfan menyeret kursi dan segera berlalu tanpa menghiraukan teriakan Harez yang memanggilnya.

Melihat itu, Firly tertunduk dengan wajah sendu. Dia benar-benar tak memiliki harapan untuk bisa bersama Alfan kembali. Tapi tidak. Firly tidak akan menyerah.

"Mama lihat Alfan sebentar."

Hesti menyusul Alfan. Berusaha menjadi penengah di antara keributan yang terjadi. Dia tidak memihak siapa pun. Harez dan Alfan sama-sama penting. Mereka adalah suami dan anak yang dia cintai dengan kadar yang sama rata.

Ketika membuka pintu, dilihatnya Alfan tengah mondar-mandir seperti setrikaan. Satu tangannya mengusap pelipis.

"Al ...."

Alfan menghentikan aksinya dan menghempas diri ke ranjang. Hesti tersenyum sebelum mengambil tempat di samping putranya.

"Udah kenyang? Makan kamu baru sedikit. Mama perhatiin kamu malah ngelamun tadi."

"Alfan gak nafsu makan, Ma."

"Kenapa?"

"Mama pasti tahu. Kenapa Papa seegois itu, sih? Ngatur ini-itu. Alfan berhak menentukan pilihan hidup Alfan sendiri."

Hesti menyentil pelan telinga Alfan tanpa tenaga. "Bukan egois. Itu naluri seorang Ayah. Papa beranggapan itu yang terbaik buat kamu. Keluarga kita udah dekat sama keluarga Firly. Kalian kan dulu pernah pacaran."

"Itu dulu, Ma. Sekarang semuanya udah berubah."

"Apanya yang berubah? Kamu masih anak laki-laki Mama yang suka pake kolor Spiderman. Firly juga tetap cantik. Bedanya, kalian lebih tinggi sekarang."

Hesti tertawa ketika Alfan mengerang.

"Kalian putusnya gak baik-baik, ya?"

"Firly yang minta putus, Alfan hormatin pilihan dia."

Ya, Alfan melakukannya. Meski sedikit tak rela karena perasaannya tulus saat itu. Tapi, ketulusan Alfan dianggap mainan. Hanya lelucon untuk kesenangannya. Nyatanya, pandangan Firly tak sama.

"Siapa pemiliknya sekarang?" tanya Hesti.

"M-maksud Mama?"

"Pemilik hati kamu. Bentar, Mama tebak. Kalau gak salah namanya Na... Nalin... dra, kan?"

"A-apa sih, Ma."

Hesti tertawa melihat Alfan gelagapan. Anak lelakinya itu memalingkan wajahnya yang memerah karena malu.

"Harusnya Mama sadar lebih awal saat lihat kamu ngotot pengin ditemenin dia waktu di rumah sakit. Nalindra cantik. Sifatnya yang blak-blakkan bakal bikin rame meski bertolak belakang dengan kriteria mantu idaman, tapi Mama menyukainya. Apa lagi adegan saat dia ngomelin kamu. Kami berdua bakalan cocok."

Alfan mendengkus meski beberapa saat kemudian senyumnya terbit. Setidaknya, Hesti menyetujui gadis pilihannya.

My Pretty TroublemakerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang