"Karena aku sudah di sini sebaiknya kamu pulang," kalimat itu yang keluar pertama kali dari mulut Tristan ketika berhadapan dengan Bian. Nada itu tenang namun sarat dengan peringatan.
Kaia yang mendengarkan hanya memejamkan mata sembari menghela napas. Hal yang terakhir yang diinginkannya adalah perdebatan antara Bian dan Tristan yang ia sendiri tidak tahu bagaimana melerai jika mereka benar-benar berkelahi. Kaia bisa mendengar Bian mendengus meremehkan ucapan Tristan.
"Bukan kamu yang berhak menentukan aku sudah harus pulang atau belum!" balas bian acuh tak acuh.
Ketika Tristan akan maju lebih mendekat, disitu Kaia mencium pertanda buruk dan secepat kilat ia menyentuh tangan Bian.
"Bi, cukup. Kamu boleh pulang!" tukas Kaia tegas.
Ada jeda beberapa menit, Bian yang sebelumnya tegang kini kembali rileks. Ia menoleh, memandangi Kaia untuk memastikan apa yang diucapkan wanita itu sesuai dengan keinginannya. Wanita itu menatapnya penuh kekhawatiran. Ia tak suka sekaligus suka pada pandangan itu. Ia tak suka Kaia gelisah, tapi ia suka Kaia mengkhawatirkan dirinya.
"Kamu yakin?" tanyanya meremehkan kehadiran Tristan. Ketika menerima jawaban dari Kaia berupa anggukan, ia ikut mengangguk mengerti. "Kalo gitu aku pulang dulu ya. Besok aku kesini lagi," ucapnya seraya memberikan senyum terhangat.
Bian mengambil jaket dan kunci motornya lalu tanpa mengindahkan Tristan, ia pergi begitu saja setelah berpamitan pada Kaia dan menyempatkan mengusap kepala wanita itu lembut.
Kaia menghela napas sekali lagi. Lega. Dan kemudian ia baru tersadar Tristan masih ada di hadapannya, memperhatikannya.
"Kamu sudah makan?"
"Ya, aku makan rawon yang dibeli Bian," jawab Kaia seadanya. Merasa canggung dan risih Tristan memperhatikannya. Dia berharap Tristan segera meninggalkannya seperti biasa. Namun, pria itu masih bergeming di tempat. Dengan canggung Kaia bergerak. "A-aku mau pindah ke kamar dulu!" serunya tiba-tiba, namun ia teringat kruknya masih tersandar di ruang televisi.
Kaia mendongak, Tristan masih memperhatikannya seperti tadi.
"Maaf, tapi bisa minta tolong ambilin kruk aku?"
Tanpa menjawab apa-apa, Tristan meninggalkan Kaia. Wanita itu terdiam karena tidak menyangka dengan reaksi Tristan. Apa baru saja Tristan meninggalkannya begitu saja setelah ia jelas-jelas minta bantuan? Wajah Kaia memerah, lebih karena malu daripada marah. Ia melihat Tristan menghilang dari balik pintu kamar.
Namun, setelah beberapa saat kemudian Tristan kembali.
Mendekat padanya.
Makin mendekat dan... Kaia tidak akan menyangka sedekat itu.
"Kamu nggak perlu!" ujung kalimat Kaia tercekat di leher. Tristan tak mengindahkan protesnya dan justru berjalan ke dalam kamar yang biasa di tempati Kaia. Kamar satu-satunya yang ada di rumah ini.
Jarak ke kamar tidak terlalu jauh, tapi Kaia merasa terkurung dalam pelukan Tristan dalam waktu yang sangatlah lama. Ia belum pernah sedekat ini dengan Tristan setelah kejadian malam itu. Kaia mendongak, mencoba menatap Tristan meski ragu-ragu. Pria itu menatap lurus ke depan sedangkan Kaia sendiri, begitu sibuk memastikan apa yang terjadi. Tangan Tristan erat mendekap pundaknya, wangi parfum pria itu sudah agak samar tapi masih sama seperti tadi pagi saat ia mengikat rambut Kaia.
"Kalo aku nawarin kamu pasti nolak 'kan?" ucap Tristan setelah menurunkan Kaia dengan lembut di atas ranjang. Sambil mengangkat kaki kiri Kaia lalu mengganjalnya dengan bantal, ia berujar, "Aku juga nggak berhak protes kalo kamu nggak nolak Bian melakukan hal sama."
KAMU SEDANG MEMBACA
If Loving You is Wrong
RomanceKaia pernah sangat mencintai Tristan. Itu sebelum Tristan menyakitinya sampai pada titik Kaia tidak bisa memaafkannya. Sekarang Kaia tahu bahwa mencintai Tristan adalah kesalahan. Dan karena bencana yang tak termaafkan itu, Kaia dihadapkan dengan...