tujuhbelas [b]

145 20 4
                                    

"Kamu nggak kerja hari ini?"

Tristan menggeleng, "lagi pula tidak banyak yang bisa dikerjakan, proyek sudah hampir rampung. Anak-anak bisa mengurus semua itu tanpa aku."

"Nggak ke atas, ke ruang kerja?"

"Nggak." Lagi-lagi ia menggelengkan kepala lagi, asyik menyaksikan acara televisi yang menayangkan desain rumah-rumah artis dengan penuh perhatian. Kemudian, tanpa menatap Kaia ia bertanya, "Kamu mau makan apa siang ini?"

"Aku mau pesan mi ayam lewat ojol-"

"Apa aku harus melamar jadi ojol dulu supaya bisa belikan kamu mie ayam?" potong Tristan.

Kaia mengaruk pelipisnya yang tidak gatal. Masih memasang tampang asam ia menjawab, "Kak Tristan nggak usah repot-repot, biasanya aku juga pesan dari sana."

"Pilih satu, mau panggil 'Kau' atau 'Kakak'?"

"Kakak..."

Tristan menepuk pahanya, tanpa menunggu kalimat Kaia selesai ia berkata. "Diterima."

"Apanya?"

"Pesan mie ayam..."

Bukannya mengambil ponsel untuk menelepon ojek online, Tristan malah meraih tangan Kaia, memperhatikan kuku-kukunya yang sudah panjang dan kotor. Tindakan itu membuat Kaia dan menepis tangan Tristan seakan menyelamatkannya dari penjahat.

Memiliki sahabat seorang dokter, Tristan tahu bahwa kuku dokter harus pendek dan bersih dari segala kotoran. Kaia pasti tidak memiliki waktu dan kemampuan untuk merapikan kuku-kukunya yang mulai memanjang karena cedera yang dia alami. 

"Kita potong kuku dulu?"

"Nggak usah!"

"Kukumu sudah seperti kuku setan."

Tak terima mendengar hinaan Tristan, Kaia mengerutkan kening menatap pria itu sinis. Ia kemudian memerhatikan kuku-kukunya yang tajam. Jujur saja Kaia tidak pernah memiliki kuku sepanjang ini. Dan lima menit kemudian, Kaia sudah duduk berhadapan dengan Tristan. Ia akhirnya mengalah dan mMenyerahkan tangan kirinya ke Tristan.

Tristan menyentuh tangan Kaia, memerhatikan kuku-kuku mungil Kaia. Tristan tercenung sebentar, ia tak pernah mengetahui bahwa jari-jari Kaia begitu kurus dan panjang, rambut-rambut halus menghiasi kulitnya yang putih. Tangan itu sendiri begitu ringkih dan pucat, ia bisa melihat dengan jelas urat-urat berwarna biru di sepanjang lengan Kaia, sedangkan telapak tangannya halus dan sedikit lembab.

"Kamu bisa bilang, kalau merasa nggak nyaman."

Kaia hanya mendengung kecil menyatakan persetujuan.

Hanya ada suara-suara jepitan kuku yang mewarnai udara beberapa saat setelahnya. Kaia berusaha mengalihkan pandangan dari Tristan. Pria itu sedang berkonsentrasi memotong kuku dan tidak berusaha melukai kulitnya. Tristan melakukannya dengan hati-hati, namun Kaia tetap merasa tak nyaman. Tangan Tristan yang hangat dan kasar itu menyentuh telapak tangannya yang basah, jari-jarinya bergerak seiring dengan sentuhan Tristan.

Tristan menyelesaikan tiga kuku, ia menggosok-gosok ujung kuku Kaia lalu meniupnya lembut.

"Hmm, Kak... Tris?"

"Ya."

Tristan menjawab singkat dengan kepala yang tetap tertunduk sehingga Kaia hanya dapat melihat puncak kepalanya.

"Apa pekerjaanmu lagi bermasalah?" tanya Kaia ragu-ragu.

"Nggak, nggak ada yang istimewa akhir-akhir ini."

"Kemarin, Bian... nggak sengaja menemukan forum yang membahas tentang dirimu. Ada semacam desas-desus. Kurasa Kakak harus tahu..."

Suara dengusan terdengar dari Tristan, lebih karena geli atas perkataan Kaia. "Nah, lihat siapa yang perhatian?" godanya sembari memungut kuku-kuku kecil Kaia di lantai lalu meletakkannya di atas meja.

If Loving You is WrongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang