"Oohhh aarghhh!!! Sakit sekali!!" teriak seorang wanita di sebuah ruang persalinan, dengan dokter yang membantunya dalam proses persalinan, wanita tersebut terus mendorong supaya anaknya tersebut keluar dari rahimnya.
"Terus, nona! Kau bisa melakukannya!!!" teriak si dokter supaya wanita tersebut mendorong lebih keras lagi, "Sebentar lagi nona bisa melihatnya! Tarik nafas, lalu hembuskan."
Si wanita yang melakukan persalinan mengikuti instruksi dokter, sampai akhirnya suara tangisan bayi terdengar dengan sangat jelas di telinga sang ibu dan seisi ruang persalinan. Para dokter membersihkan bayi yang baru saja keluar dengan air, kemudian membalutnya sebelum diberikan kepada ibunya.
"Selamat, nona. Anda dikaruniai seorang putera." ucap dokter dan perawat lain dengan ekspresi bahagia. Namun,...
Walaupun kelihatannya dokter dan para perawat terlihat memperlihatkan ekspresi bahagia, si wanita yang melahirkan malah menunjukkan ekspresi wajah yang sebaliknya. Bukannya senang, tapi malah marah.
"Nona? Nona tidak apa-apa? Putera Anda sudah lahir." jelas si dokter lagi sambil tersenyum, namun hal tersebut tidak mempengaruhinya.
Si wanita kecewa telah melahirkan puteranya itu.
Di sisi lain, seorang wanita juga tengah melakukan persalinan.
Dengan sekuat tenaga wanita tersebut mendorong supaya buah hatinya keluar dan dengan ditemani suaminya, wanita tersebut mendorong dengan sekuat tenaga.
"Terus, sayang! Ayolah, demi anak kita sayang!" teriak si suami.
"Aaaahhhh!!! Sakiiit!!!"
Karena, tak tahan merasakan sakit, si wanita pun pingsan. Si suami dipersilakan untuk keluar sebentar dan biar para dokter serta perawat yang menangani bayi supaya keluar dengan selamat dari rahim sang ibu.
Beberapa menit berlalu, kemudian si suami kembali memasuki ruang persalinan dimana istrinya masih berbaring lemah. Dokter menjelaskan semuanya, mulai dari kondisi ibunya sampai putera yang telah dilahirkan oleh si ibu,
"Kondisi sekarang,... si ibu mungkin tidak akan selamat dalam beberapa jam, tuan. Sementara anak tuan,..."
"Biar aku saja yang mengatakannya, dokter." potong si ibu dari anak yang baru saja lahir. Sang dokter pun mempersilakan si suami dari wanita yang melahirkan untuk memasuki bilik tersebut, kemudian dengan ruangan tertutup dan kedap suara, si istri mengatakan kepada suaminya. "Sayang,... berjanjilah padaku kalau kau akan menjaganya dan menyayanginya dengan sepenuh hatimu."
"Hei, sayang,... kenapa bilang begitu, hm?" tanya sang suami sembari menggenggam tangan istrinya kuat, "Tentu saja aku akan menyayanginya, karena dia adalah buah hati kita."
"Tapi,... sayang.... kumohon bersungguh-sungguhlah atas ucapanmu." ucap si istri lagi, kali ini diikuti dengan air matanya yang mengalir deras, "Aku tidak mau kau membenci malaikat kecil kita."
"Katakan saja, sayangku. Aku akan menjaganya, sungguh."
"Terima kasih, sayang,..." si istri terbatuk pelan, detak jantungnya sudah mulai menandakan kalau dia akan segera menemui ajalnya. "Malaikat kecil kita,... dia lahir dengan--dengan keadaan kakinya yang lumpuh, sayang." dengan berat hati sang istri mengatakannya, ia begitu takut nantinya malaikat kecilnya takkan dapat diterima dunia barunya. Sang bayi pun di bawa kepada si suami untuk digendong. Akan tetapi, tak lama setelah si suami menggendong puteranya, sang istri meninggal dunia. Deteksi detak jantung menunjukkan tak ada yang mendeteksi kerja jantung dan setelah mengetahui hal tersebut, sang suami dengan membawa puteranya yang baru lahir tadi lari dari rumah sakit.
Dengan sang putera yang menangis terus-menerus, si suami terus berlari sampai akhirnya kelelahan. Ia meninggalkan puteranya yang baru saja lahir itu di depan pintu sebuah panti asuhan, tanpa meninggalkan apapun, si suami langsung berlari meninggalkan anaknya tersebut. Karena di dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia tidak mau memiliki putera yang cacat fisik sejak lahir.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Waktu terus berlalu, sampai akhirnya siang berganti malam. Si kecil yang ditinggalkan tepat di depan pintu sebuah panti asuhan menangis. Menangis karena kedinginan dan dengan cara seperti itulah Tuhan menolongnya supaya orang yang berada dalam panti asuhan mengetahui dan segera membawanya masuk.
Pemilik panti asuhan tersebut membawa bayi kecil tadi masuk, ia mencoba menenangkan si bayi supaya berhenti menangis
"Sshh,... ssst, hei, jangan menangis, malaikat kecil Tuhan." ucap si pemilik panti asuhan tersebut yang bernama, Kang Seulgi. "Aku harus menamaimu apa,... hmm..."
Kemudian, sebuah suara terdengar dari belakang Seulgi dan perlahan sebuah tangan melingkar di pinggangnya sambil membisikkan, "Park Jimin. Kita namai dia, Park Jimin." Seulgi langsung tahu, kalau itu adalah kekasihnya, Kim Jong In.
"Ah, Jong In... kau ini selalu tiba-tiba muncul." ucap Seulgi dengan sedikit tawanya. "Baiklah, akan kita namai dia, Jimin." Seulgi dan Jongin kemudian berjalan menuju ruang tengah, dimana para anak yang mereka tampung berkumpul. "Haruskah kita mengumumkan pada mereka? Kita sudah terlalu banyak menampung anak-anak ini."
"Tidak apa-apa, sayang. Kita hanya menambah dua anak hari ini." ucap Jongin kepada Seulgi.
"Dua?" tanya Seulgi sambil menatap Jongin dengan tatapan bingung, "Kau menemukan anak lagi yang ditelantarkan?"
"Bukan ditelantarkan,... ibunya sendiri yang memberikan anak tersebut kepadaku dan dia pergi begitu saja. Tanpa alasan yang jelas." jelas Jongin, "Tidak apa. Kita umumkan, untuk yang sudah berumur, biarkanlah mereka protes, aku yang akan mengatasinya."
Seulgi tersenyum ke arah Jongin, kemudian berteriak untuk mengumumkan bahwa mereka mendapatkan teman baru lagi.
"Kalian mendapatkan dua teman baru lagi!" ucap Seulgi dengan senang sambil memperlihatkan bayi yang digendongnya, "Namanya, Park Jimin dan satu lagi bernama,..." Seulgi mendekatkan mulutnya ke telinga Jongin, "Siapa namanya?"
"Jung Hoseok." balas Jongin dengan suara pelan.
"Jung Hoseok. Semoga kalian bisa berteman dengan Jimin dan Hoseok, ketika mereka sudah besar dan bisa diajak main nantinya. Mengerti?" tanya Seulgi dan mereka menjawab, iya. Sedangkan, seperti yang Jongin bilang tadi, yang sudah berumur melayangkan protesnya.
"Eomma,... benarkah mau menampung anak lagi? Yaah, apa kalian punya biayanya? Membiayai kami saja sudah pas-pasan, sekarang mau menambah lagi?"
"Hei, Jeon Jinhee, perhatikan bahasamu saat bicara. Tidak baik berbicara begitu di depan adik-adikmu." ucap Seulgi dan dengan dibantu Jongin, si bocah bernama Jeon Jinhee akhirnya terdiam dan dihukum untuk membersihkan kamar mandi selama seminggu penuh.
Setelah kejadian tersebut, Seulgi membawa Jimin kecil menuju kamarnya dan merawatnya.
"Nah, Jimin, sekarang waktunya berpakaian ya?" ucap Seulgi kepada si bayi. Seulgi membuka balutan kain yang membalut si bayi dan memakaikan baju dan juga celana pada Jimin. Namun, sesuatu tak terduga terjadi ketika Seulgi akan mengenakan celana pada Jimin. "Jimin-ah, kenapa? Yaampun, sakit? Eomma minta maaf, ya?" Seulgi segera dengan pelan memasukkan kedua kaki mungil itu ke dalam celana dan memakaikannya. Seulgi kemudian menggendongnya, supaya Jimin kecil berhenti menangis. "Sshhh... sssttt... sekarang aku tau kenapa orangtuamu menelantarkanmu, sayang."
Suara tangisan Jimin kecil perlahan hening dan setelah Jimin kecil tenang, Seulgi membaringkannya di kasur supaya Jimin lebih nyaman tidur.
"Selamat tidur, malaikat kecil eomma."
Bersambung
Waaaah! Gimana? bagus ga? Wkwkw maaf ya kalau kuranf nyambung/?
Semoga suka!♡
KAMU SEDANG MEMBACA
☑️ FIRST LOVE || HOPEMIN
Fanfiction( hopemin ff requested by @HopeLoveGa ) Here's your req ^^ hope you like it! Menceritakan tentang persahabatan dua pemuda, yang satu normal saja dan yang satu memiliki kekurangan. Keduanya bersahabat sejak belia, sampai akhirnya ketika mereka beranj...