Joy terbangun oleh suara dering ponsel.
Matanya yang sembab mencoba mencari dimana ponsel itu berada. Sebuah cahaya bersinar di antara buku-buku nya yang berserakan di tengah kamar yang gelap.
Joy baru ingat, tadi ia melempar ponselnya. Tidak rusak ternyata.
Dengan langkah berat ia mengambil ponselnya yang ternyata retak parah.
Layar ponsel itu memperlihatkan siapa yang meneleponnya.
'Johnny'.
Ia begitu benci melihat siapa yang menelepon. Ia melihat jam, pukul 3 pagi. Dasar orang gila.
Joy memutuskan panggilan Johnny itu. Terlalu muak untuk mendengar suaranya lagi.
Baru beberapa detik ia memutuskan panggilan, ponselnya berdering lagi.
Belum menyerah juga Johnny.
Tapi untuk kedua kalinya, ia memutuskan untuk tidak menjawab panggilannya.
Sunyi. Joy sudah mematikan panggilan.
Joy memandangi ponselnya. Jika Johnny menelponnya lagi, ia akan benar-benar merusak ponsel ini.
Johnny tidak menelpon lagi, tapi ia mengirim pesan.
Joy membuka pesan dari Johnny itu.
'Ayo bicara. Aku ada di depan'
Gila. Jam 3 pagi dan pria gila ini ada di depan rumahnya?
Beberapa saat kemudian ada pesan lagi yang masuk.
'Aku mohon...'
Joy hanya membaca pesan itu. Ia tidak peduli. Mau ia berdiri di depan rumahnya sampai pagi pun terserah.
Ia muak dengan Johnny.
Muak dengan segala yang ia perbuat pada Joy.
Muak dengan segala kata manis tapi palsunya.
Muak dengan semua kebohongan manisnya.
Muak dengan semua permintaan maafnya yang pasti kesalahannya akan ia lakukan lagi.
Cukup, Joy tidak akan memberikan kesempatan lain.
Joy melepas beterai ponselnya. Kemudian membuang sembarangan ponselnya dilantai.
Membawa tubuhnya kembali ke ranjang. Menyelimutinya. Joy menutup matanya untuk tidur.
Satu tetes air mata keluar. Disusul tetesan lainnya. Joy menangis dalam diam. Ia begitu sakit hati. Mengingat Johnny membuat jiwanya runtuh.
Joy bangkit lalu mengambil jaketnya di gantungan. Berjalan cepat menuju gerbang. Sambil menahan tangisnya.
Ia membuka gerbang setinggi 2 meter itu.
Di hadapannya ada Johnny yang berdiri mematung. Dengan jaket kulitnya ia memegang ponselnya.
"Joy..."
Johnny berjalan mendekat.
Tapi Joy melangkah mundur. Membuat gestur tidak ingin di dekati.
"Jangan salah paham, aku kesini bukan untuk memaafkanmu"
Joy berkata lalu mengeratkan jaketnya.
"Ingat, kita sudah putus. Jadi, silakan kembali pada kekasih barumu itu" Suara Joy mulai bergetar.
"Ah, tapi bukankah kalian sudah menjalani hubungan lumayan lama? Saat masih bersamaku kau juga bersamanya" Satu tetes air mata keluar.
Joy melanjutkan.
"Ini sudah ke 3 kalinya John... Aku kira kau benar-benar meninggalkannya. Tapi apa? Aku muak denganmu John, cukup, jangan meminta kesempatan lagi" Joy sudah menangis.
"Joy... Ak-aku" Johnny mencoba membalas Joy.
"Diam. Aku tidak butuh kata darimu. Semua sudah jelas. Kau tidak bisa memilih aku atau dia. Jadi biarkan aku yang mundur. Selamat tinggal John. Jangan campuri hidupku lagi. Terima kasih 3 tahun penuh kebagian dan juga luka ini. Terima kasih" Joy tersenyum di sela tangisannya.
Joy kembali masuk ke dalam rumah. Menutup pintu gerbangnya. Seperti hatinya yang sudah benar-benar tertutup untuk Johnny.
Meninggalkan Johnny yang menyesal sendirian.
End•
