CHAPTER 5 - A CONFUSING FEELING

7 0 0
                                    

"Hai, Kak Zara." Sapa Arfan saat Zara masuk ke dalam ruang kelas.

            Zara melirik sekilas. "Gimana tugas kalian?"

            "Engga ngerti, Kak. Boleh minta tolong diajarin engga, Kak?" Jawab Arfan dengan semangat.

            "Yang lain juga engga ngerti?" Tanya Zara pada yang lain.

            Amira, Nadine, Vino dan Darel memberikan buku tugas mereka pada Zara. Di buku tugas mereka telah terisi penuh jawaban dari tugas yang diberikan dosen mereka.

            Zara mengalihkan pandangannya dari buku dan menatap Arfan penuh selidik. "Lo engga ngerti? Mereka bahkan udah kelar. Lo yakin lo engga ngerti?"

            Arfan menghela napas pelan dan memberikan tugasnya pada Zara.

            Zara tersenyum menang dan Arfan menikmati senyuman itu.

***

            Abi berdiri didepan pintu ruang kelas bimbingan Zara sambil menatap Zara dengan senyuman penuh arti. Zara sedang merapikan buku-bukunya. Amira, Nadine, Vino dan Darel baru saja keluar dari ruang kelas dan sempat menyapa Abi. Arfan sibuk membantu Zara ketika Abi mengetuk pintu dan masuk ke ruang kelas. Abi menatap Zara dan Arfan bergantian. Arfan menyapa Abi kemudian pamit untuk keluar. Mata Abi mengikuti Arfan hingga tubuhnya hilang dibalik pintu.

            "Saya senang semua berjalan lancar." Ucap Abi pada Zara.

            Zara mengangguk pelan.

            "Berarti saya tidak salah kan mengusulkan kamu sebagai asisten?" Tanya Abi sambil menatap Zara tajam.

            Zara hanya menghela napasnya. Ia masih tidak yakin apakah keputusannya ini salah atau benar.

            Abi tersenyum. Mahasiswanya ini memang susah sekali diajak berkomunikasi.

            "Dengan kamu jadi asisten itu berarti mengajarkan kamu untuk berbicara pada orang lain. Itu hal yang tidak pernah saya lihat dari kamu."

            Zara hanya menatap Abi tanpa mengeluarkan suara.

            "4 semester kamu jadi mahasiswa saya, sudah cukup bagi saya untuk mengenal karakter kamu." Abi menarik napas pelan. "Kamu bisa memberikan presentasi yang baik di depan kelas. Kamu bisa lancar berbicara didepan orang banyak, tanpa ragu, tanpa malu dan dengan penuh keyakinan." Abi menarik kursi dan duduk tepat dihadapan Zara. "Tapi saya masih belum menemukan jawaban kenapa kamu susah sekali berbicara pada orang lain, kenapa kamu tidak pernah mengungkapkan ini-itu, kenapa kamu tidak pernah menunjukkan ketertarikan pada lawan bicaramu."

            Zara menundukkan wajahnya sejenak. Kemudian memperhatikan Abi kembali.

            "Sebagai seorang wanita, kamu itu berbeda. Wanita zaman sekarang begitu banyak berbicara. Bahkan mereka membicarakan hal-hal yang tidak perlu dibicarakan. Sedangkan kamu? Kamu bahkan enggan menjawab dosen kamu ini." Abi tersenyum.

Zara membalas dengan senyuman sekilas. Ia tidak menyalahkan Abi. Apa yang dikatakan Abi ada benarnya, baik tentang dirinya maupun tentang wanita lain.

"Saya mengerti bahwa kamu hanya mengeluarkan apa yang perlu dikeluarkan, mengatakan apa yang perlu dikatakan. Tapi sebagai wanita, kamu berbeda. Saya sudah menemui banyak mahasiswa sehingga membuat saya tertarik dengan karakter mereka. Ya, sebenarnya cita-cita saya dari kecil adalah menjadi seorang psikolog. Kamu tahu kenapa?" Abi bertanya.

Zara menggelengkan kepalanya.

"Karena menurut saya sepertinya menyenangkan mengetahui karakter orang hanya dengan berbicara dengannya. Kita bisa lebih tahu apa yang dirasakan oleh lawan bicara kita. Benar atau salah?"

Sweet PeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang