22. Jangan disia - siakan

2.5K 125 0
                                    

"Jangan sia - siakan orang yang mencintai kau. Suatu saat kau akan menyesal karena menyia - nyiakan cintanya."

***

Author

Dua minggu telah berlalu sejak Devan jujur dengan perasaannya. Dan seperti ucapan Devan kala itu. Devan akan menjauh dari Levina. Karena keinginan gadis itu. Dan Devan pun melakukannnya. Menuruti gadis itu untuk menjauh. Dan selama dua minggu ini Devan menjauh. Benar - benar menjauh.

Hari ini adalah hari minggu. Setelah ulangan semester genap yang telah ia lewati seminggu. Kini tinggal menghitung hari. Ia akan naik ke kelas XII.

"Selamat pagi Papa." sapa Levina kepada Papanya yang berada di ruang keluarga.

"Selamat pagi juga Lev. Sudah sarapan belum?" ucap sang Papa.

"Sudah Pa." jawab Levina sambil duduk di sampaing Papanya.

"Bagaimana kaki kamu nak? Sudah lebih baik?" tanya pria paruh baya itu.

"Sudah Pa." jawab Levina lalu mengambil cemilan di meja di depan ia duduk dan memakannya.

"Oh iya Lev. Akhir - akhir ini kenapa Devan gak antar jemput kamu?" tanya Papa Levina.

"Eh, gak papa kok Pa. Aku pengen berangkat sendiri aja." jawab Levina sambil mencoba tersenyum.

"Kamu ada masalah dengan Devan?"

"Gak Pa."

"Kalau ada masalah selesaikan Lev. Jangan menghindar." ucap pria paruh baya itu sambil tersenyum.

"Iya Pa. Em Pa aku ingin ke taman. Boleh ya?"

"Boleh. Mau Papa antar?"

"Gak usah Pa. Aku minta antar sopir aja. Assalamu'alaikum Pa." ucap Levina sambil mencium punggung tangan Papanya. Lalu dengan perlahan ia berjalan menuju keluar rumah.

Kini gadis itu sudah berasa di sebuah taman. Sendirian. Ia duduk di bangku taman. Di bangku yang masih sepi di sekitarnya. Di bawah pohon yang teduh.

Matanya kini melihat sekitar. Dan kini kedua mata itu menemukan seseorang yang duduk di bawah pohon besar yang teduh, tak jauh dari tempat ia duduk.

Entah kenapa ia sangat ingin menghampiri seseoramg itu. Akhirnya gadis itu mengambil kruknya dan mulai berjalan menghampiri seseorang yang terlihat bersedih di bawah pohon itu.

"Hai lo sendirian." sapa gadis itu.

Seseorang itu mendongakan kepalanya ketika mendengar suara di dekatnya.

"Iya." jawab seseorang itu.

"Boleh duduk di sini?" tanya Levina.

"Oh boleh kok." jawab seseorang itu sambil tersenyum dan membantu Levina duduk.

"Hai. Nama gue Levina Tifanka." ucap Levina sambil mengulurkan tangan kanannya dan tersenyum.

"Hai juga. Nama gue Alinza Kayla Vanaya." jawab seseorang bernama Alinza itu.

"Gue panggilnya apa ni? Alin kah?" tanya Levina. Setelah menanyakan hal tersebut. Levina bisa melihat raut muka gadis yang di sampingnya itu semakin sedih.

"Em maaf. Apa ada kata - kata gue yang membuat lo bersedih." ucap Levina lagi.

"Eh. Jangan panggil gue itu ya. Linzi aja panggilnya." jawab Alinzi.

"Oke. Lo bisa panggil gue Levi Lin."

"Btw kaki lo kenapa Lev?" tanya Alinzi yang kini ganti Levina yang menegang. Diam. Dia hanya diam. Panggilan itu mengingatkannya dengan Devan.

"Kaki gue patah Lin. Dan jangan Lev ya. Panggilan itu mengingatkanku kepada seseorang yang akhir - akhir ini mengganggu pikiranku." ucap Levina akhirnya.

"Eh sorry Vi. Kalau boleh tahu panggilan dari siapa itu? Cowok ya?" goda Alinzi dengan senyuman di wajahnya.

Levina bingung. Padahal gadis di depannya ini terlihat sedih. Tapi mengapa gadis ini bisa tersenyum, meskipun raut mukanya terlihat sedih.

"Hehe iya Lin. Cowok nyebelin, ngeselin, pokoknya usil banget." ucap Levina sambil terkekeh.

"Cowok nyebelin itu ngangenin loh Vi. Jangan sia - siakan dia. Suatu saat lo akan rindu usilnya dia." ucap Alinzi sambil tersenyum.

"Maksud lo? Lo seakan - akan pernah mengalaminya Lin?" tanya Levina.

Alinzi menghela nafas. Lalu berkata.

"Dulu, ada cowok nyebelin, sukanya bikin gue naik darah. Dia selalu ganggu gue. Dan hanya dia yang manggil gue Alin. Dia gak pernah lelah menjahili gue. Gue sampai marah banget kalau ketemu dia."

Alinzi tersenyum sambil menerawang kisahnya dahulu. Sambil menatap lurus ke depan.

"Sampai akhirnya. Sore itu. Saat dia menjahili gue sampai gue nangis. Dia menebus kesalahannya dengan membelikan gue ice cream. Dan saat itu dia bilang. Dia tidak akan pernah mengganggu hidup gue lagi." lanjut gadis itu. Perlahan air matanya menetes.

"Ucapannya benar Vi. Dia gak pernah mengganggu gue. Selamanya. Dia pergi. Pergi dari hidup gue. Sore itu juga. Gara - gara gue." lanjut gadis itu lagi lalu menangis sesenggukan.

Levina pun memeluk gadis di sampingnya itu.

"Gak usah di terusin Lin." ucap Levina.

Alinzi melepaskan pelukan itu. Lalu menggeleng.

"Gue yang salah waktu itu Vi. Gue ngajak hujan - hujanan. Dan di saat di tikungan, motor yang kita tumpangi tertabrak truk." ucap Alinzi meneruskan ceritanya.

"Itu bukan salah lo Lin. Itu sudah kehendak Tuhan." ucap Levina.

"Gue mikirnya juga gitu. Tapi gue selalu merasa bersalah Vi. Dan sekarang. Setahun berlalu. Aku masih saja memikirkan dia. Yang kini sudah tenang di alam sana." jawab Alinzi.

"Jangan menangisi dia terus Lin. Dia gak bahagia kalau lo terus nangisin dia terus." ucap Levina sambil tersenyum.

"Iya Vi. Gue saranin. Jangan sia - siakan orang yang lo maksud tadi. Gue gak mau lo berakhir seperti gue. Kisah kita hampir sama Vi. Tapi jangan samakan endingnya." Saran Alinzi, dengan senyuman yang terukir di bibirnya meskipun air matanya turun.

"Tapi gue gak mungkin sama Devan Lin." ucap Levina lirih.

"Oh jadi namanya Devan." ucap Alinzi sambil terkekeh.

"Jadi kenapa lo gak mungkin sama dia?" lanjut Alinzi.

"Gue gak mau nyakiti orang Lin." jawab Levina sambil menunduk.

"Lo sayang sama dia Vi?" tanya Alinzi.

Levina mendongak menatap gadis di sampingnya. Levina terdiam. Tak tahu harus menjawab apa.

"Gue anggap diam lo sebagai jawaban iya. Jangan sia - siakan dia Vi. Jangan sampai lo menyesal saat dia pergi." ucap Alinzi sambil tersenyum.

Tak terasa dua orang yang baru saling kenal itu bisa akrab karena kisah mereka yang hampir sama.

***

Finally, You [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang