Anak itu berjalan santai. Meskipun dengan kruk yang di selipkan di ketiaknya, ia tetap berusaha berjalan normal dan bahkan berlarian kecil. Raut wajahnya tampak begitu datar berbanding berbalik dengan kegigihan usahanya yang terpatri di tingkahnya sekarang. Manik berkilau hazelnya tampak sangat redup berbeda dengan namanya. Bahkan cahaya yang berkilauan itu hanya sebentar di sebabkan jalanan yang sepi dan penerangan yang minim.
Lalu, apa yang dilakukan anak di belakangnya itu? Ia tampak berjalan hati hati dengan terkadang kakinya berhenti menyamai derap kaki yang di berikan anak bersurai kopi di depannya. Surai sepirang jingga itu terlalu sering bergerak dan memondar mandirkan kepalanya untuk sekedar melihat raut ekspresi teman di sampingnya. Tangannya yang memainkan udara di depannya membentur bentur udara menyimpan amarah seolah sesuatu sedang di keluarkannya secara bentakan.
Anak yang lebih pendek dari anak lainnya itu berkali kali berbicara pada temannya dan tak lupa menyentuh pundaknya saat di abaikan. Adakala saat perasaan sabar seseorang habis dan mengeluarkannya dalam bentuk yang berbeda. Anak yang lumuri perban itu menoleh ke samping, menemui anak lainnya. Ia seakan membentak, mengumpat, dan memarahi teman di sampingnya.
Pria mungil bersurai oranye gelap itu terdiam, tidak berjalan membututi temannya kemudian. Biarpun seberapa jauh dan banyak langkah yang diambil temannya yang menggunakan kemeja putih dan celana seragam hitam itu, ia hanya bisa tertunduk, lalu meluapkan segalanya saat punggung pria lainnya mulai hilang di telan gelap.
Aku mendekat. Walaupun tampak ragu dengan perasaan yang aneh di dalam diriku bergejolak, aku tetap melangkah mendekatinya. Suara hentakan sepatu tinggiku yang berkeras suara dan jalanan sekitar sungai yang sepi, membuat pria yang terjongkok menenggelamkan kepalanya di lutut itu menoleh memandang bagian bawah tubuhku dan merayap ke mata hijau emeraldku.
Sedikit canggung rasanya saat melihatnya bertingkah barusan, tapi apa boleh buat, aku sudah terlanjur di depannya dan menatap langsung ke mata biru safirnya yang menepis cahaya bagaikan ada kaca di dalamnya. Ia mulai berdiri, dan menyeka air yang keluar dari matanya dengan lengan bajunya yang panjang lalu menatapku kembali. Kali ini ia menatapku dengan sangat dalam dan pandangan yang memuakkan
“Kau... menangis?” kataku cepat saat melihat bawah matanya yang mulai memerah dan senggukan tangis khas yang mulai terdengar. Walaupun sudah lama ia menyudahinya, suara kecil dan gumaman tangis itu masih terdengar jelas di telingaku. Aku heran, makanya aku bertanya. Namun ia tak membalas pertanyaanku tadi. Ia hanya mengulum kepalanya tertunduk kesamping dan tak melihatku dalam posisi heran. Ia mendecih pelan.
“Apa kau habis di marahi?” meski begitu, aku tak terlalu paham dengan artian kata marahi tersebut. Entahlah, kata kata itu terlontar dengan sendirinya setelah aku mendapatinya begitu kesal dengan pertanyaan dan pijakan kakiku disini. Apa aku terlalu ikut campur dengan urusannya, atau apakah rasa penasaranku yang terlalu blak blakkan ingin mengetahuinya? Aku tak tahu, tapi ada suatu kata yang membuatku ingin langsung ke inti masalahnya.
“Siapa namamu?”
Anak itu langsung menoleh sontak kepadaku, menatap mata emeraldku pelan dan menusuk dengan tatapan yang berbanding terbalik dengan perasaan cemasku sekarang yang menggerogoti nyali yang tersimpan dalam. Ia membuka mulutnya dengan perasaan enggan, tapi kesombongan dan kebaikannya yang tersisa mendorongnya untuk menjawab pertanyaanku.
“Nakahara Chuuya. Kau?”
“Edogawa Himawari” jawabku langsung. Untuk sekedar memberinya bahwa tidak lebih memulai sopan santun menjawab pertanyaan.
Ia mendecih, mengepalkan tangannya pada sebuah tiang di sampingnya dan mulai mengoceh tak jelas. Aku tak mau ambil pusing, dan seketika teringat sesuatu. Ajakan makan malam pria itu tak boleh kulewatkan dan apalagi kakakku yang pemalas itu akan mencariku kemana mana nanti. Tapi dia mencegatku
KAMU SEDANG MEMBACA
Reason Living [DazaiOsamuxOC]
Fanfiction[Series pertama dari 4 Reason Living] Edogawa Himawari. Percayakah engkau dari sekian milyaran wanita, hanya dia sendiri yang tak mencintai seorang pria tampan yang terkenal, Dazai Osamu? Oh, mungkin tak mencintainya, tapi mengaguminya lebih tepat. ...