*21*

527 37 14
                                    

Rintik hujan menemani kesunyian yang tercipta di salah satu café pada sore hari yang berisikan dua orang pria yang terdiam menatap jendela café. Tampaknya pemandangan hujan di luar sana lebih menarik. Tangan kedua pria tersebut tak hentinya mengaduk-aduk sendok kecil minuman mereka. Masih diam tanpa ada salah satu dari mereka berinisiatif untuk membuka suara.

Salah satu dari mereka menghela nafas panjang, mengundang pria satunya untuk menoleh, "Kau yang mengundangku, tapi malah kau diam saja. Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?" tanya salah satu pria yang menghela nafas panjang tadi.

Sedikit kilatan tatapan tak suka muncul dari mata pria lawan bicaranya itu, "Jauhi Arva," suaranya terdengar tegas namun pelan. Masih bisa terdengar di telinga pria yang pada saat ini sudah menatap heran pada pria yang berada di hadapannya.

"Dengan alasan apa kau menyuruhku untuk menjauhi Arva? Kau cemburu padaku? Ck! Bahkan aku hanya sebatas sahabat untuknya, sedangkan kau kekasihnya. Kuharap kau tak lupa statusmu, Lana," pria tersebut menjawab dengan lantang, kilatan tatapan matanya tajam menembus lawan bicaranya.

"Kalian boleh bersahabat, siapa yang tahu perasaan kalian? Kurasa kalian memiliki perasaan satu sama lain. Ah! ingatkan aku kalau ternyata ku salah, Erka," ujar Lana dengan ekspresi wajah sedikit melunak.

"Ahahaha... Kau benar, kau tidak salah. Aku dan Arva memang memiliki perasaan satu sama lain. Kami saling menyayangi sebagai sahabat, tak lebih dari itu," balas Erka sambil tertawa hambar, ada penekanan di kata sahabat saat dia berbicara.

Wajah Lana sedikit berubah, kembali memancarkan kemarahan yang ditahan. "Sekarang ku tanya padamu. Jika Arva belum memilikiku, apakah memungkinkan kau akan memilikinya?" tanyanya dengan tatapan yang tak kalah tajam dari Erka.

Erka sedikit berpikir sebelum menjawab, ini seperti pertanyaan jebakan dari seorang kekasih yang sudah dibakar oleh api cemburu. Erka tersenyum mengejek, "Tentu. Karena aku sudah mengenalnya sangat lama, memahaminya, mengerti tentang dirinya, dekat dengannya. Apa ada alasan lain untuk aku tidak bisa memilikinya?" tubuh Erka bersandar pada kursinya sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya.

Suara gemeretak gigi Lana terdengar, ia seperti dengan susah payah menahan amarah yang sudah hampir memuncak. Sambil menghela nafas panjang, ia mencoba meredakan amarahnya. Sedetik kemudian, senyum menghiasi wajah Lana, membuat Erka mengernyitkan dahi.

"Ku akui aku cemburu padamu. Karena kedekatanmu dengan Arva. Dan ya, kau benar seharusnya aku tidak perlu seperti ini. Kau sahabat bagi Arva, sedangkan aku kekasihnya. Hanya saja..." Erka mendengarkan dengan seksama, menunggu Lana melanjutkan.

"Hanya saja terkadang aku iri padamu. Arva terlalu mementingkanmu," lanjut Lana sambil menundukkan kepalanya.

Erka sedikit imba mendengar penuturan Lana. Dia sudah tahu kalau akan seperti ini jadinya. Arva belum pernah berpacaran sebelumnya. Malah karena kedekatannya dengan Arva, membuat orang-orang di sekitar mereka beranggapan mereka berpacaran. Seketika pandangan Erka jauh menyusuri waktu dimana Erka dan Arva pernah lewati.

"Ka, kau pernah pacaran sebelumnya kan? Bagaimana rasanya pacaran sih?" tanya Arva sambil menarik kursi yang berada di depan meja kerja Erka.

"Kenapa tiba-tiba kau bertanya seperti itu?"  bukannya menjawab, Erka justru bertanya balik pada Arva maksud dari pertanyaannya.

"Aku hanya penasaran... Hmm gimana sih rasanya???" Arva semakin memasang wajah penasarannya.

"Aku sudah lupa, terakhir kali aku pacaran kapan saja aku lupa. Bagaimana rasanya? Hmm lupa," jawab Erka tanpa menghiraukan wajah cemberut Arva saat mendengar jawabannya.

Give me your love...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang