*22*

592 29 16
                                    

Matahari telah terbenam sempurna ketika Arva tengah menelepon. Tubuhnya duduk di pinggir ranjang berspreikan warna putih. Wajahnya tampak seperti sedang memikirkan sesuatu. Apa yang dipikirkan atau dirasakannya? Entahlah. Jika boleh jujur, Arva pun juga tidak tahu.

Tidak ada yang menjawab panggilannya. Arva kembali mencoba untuk yang ke lima kalinya. Wajahnya masih seperti tadi, lebih ke arah memikirkan apa yang harus diucapkan jika panggilannya terjawab.

Klek...

"Halo...," sapa seseorang lainnya dari seberang telepon. Arva tampak menghembuskan nafas leganya.

"Halo, Lana. Ini aku... hmm apa kabar?" ujar Arva, telapak tangannya memukul pelan kepalanya. Ia seperti salah mengeluarkan kata.

"Kabarku tentu baik. Kenapa Ar?" tanya si lawan bicara dari balik telepon.

"Ah! aaaa... tidak ada apa-apa..."

Tidak ada balasan dari seberang, Arva menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Maaf jika aku mengganggu, sampai nan-----"

"Kau sama sekali tidak mengganggu. Aku justru menunggu telepon darimu. Pasti ada sesuatu yang ingin kau katakan bukan? Katakanlah, Ar," selak Lana, suaranya terdengar tenang di telinga Arva.

Arva menatap lurus ke depan. Pandangannya kosong. Suara Lana di telinganya seperti angin yang bertiup dan merusak rambutnya yang sudah rapi. Tidak. Suara Lana yang terdengar tenang justru mengusik relung hatinya. Ia tidak menyangka Lana akan setenang ini, atau mungkin pura-pura tenang? Entahlah. Arva belum sepenuhnya mengenal Lana.

Haruskah Arva meminta maaf setelah apa yang terjadi dengan hubungan mereka? Arva masih terlalu labil untuk menentukan mana yang harus dilakukan, mana yang tidak. Bahkan jika ia melihat nenek-nenek yang di make-up dan wanita muda tanpa make-up mana yang lebih cantik, mungkin Arva akan memilih nenek-nenek yang di make-up. Entah apa yang salah pada diri Arva.

"Kau tahu 'kan kalau aku tidak suka dicemburui? Maksudku, aku merasa kau tak percaya padaku. Ya meski aku tahu, aku yang membuat kau merasa seperti itu. Aku terlalu egois, aku terlalu memikirkan diriku sendiri tanpa memikirkan dirimu. Tapi, bukan berarti aku tak mencintaimu, itu tidak ada hubungannya..."

Arva diam sebentar. Ia mengatur nafas sebelum melanjutkan, "aku minta maaf..."

Kata maaf yang keluar dari mulut Arva membuat sedikit beban di dalam dadanya terangkat. Tidak sepenuhnya, tapi cukup membuat Arva sedikit lega.  

"Kau benar, mungkin aku tak sepenuhnya mempercayaimu. Tapi yakinlah, aku hanya tak ingin kehilanganmu. Maksudku, waktu kita jadi sedikit. Saat kau bersamaku... ya kau tahulah siapa yang mengganggu dan kau lebih milih siapa..."

Arva mengepalkan tangan kirinya, ia tampak menahan sesuatu. Tak ada hubungannya dengan Erka. Rasanya ia ingin mengatakan hal itu.

"Maaf..." Arva tertunduk.

"Aku ingin sendiri untuk beberapa saat, tolong jangan hubungi aku dulu. Bye..."

Tuutt... tuuuttt.. tuuuttt..

Panggilan pun terputus.

Arva meletakkan ponselnya dengan sembarang di atas ranjangnya. Ia merunduk sambil wajahnya ditutup oleh kedua telapak tangannya. Perasaannya kacau balau, seperti angin topan yang menghancurkan ranting pohon serta rumah-rumah penduduk. Dadanya sesak, seperti kehabisan nafas.

Pernahkah Arva merasakan hal seperti ini sebelumnya? Pernah. Waktu dulu Arva merasa galau saat Lana tidak ada kabar. Kapan itu terjadi? Saat Lana menanyakan sesuatu yang membuat Arva sendiri merasa bingung harus menjawab apa. Ketika dirinya sudah siap menjawab, Lana tidak ada kabar.

Give me your love...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang