Bab 5

1.1K 104 0
                                    


Narendra duduk di bangku kebesarannya, di mana lagi kalau bukan kantor polisi. Semua tugas dan perkara membuatnya sangat lelah terlebih lagi masalahnya dengan Arunna yang semakin hari bukannya semakin membaik justru semakin bertambah parah.  Ingin protes tapi pada siapa? Narendra pun tak punya hak untuk protes. Ingin berteriak tidak adil, tapi setiap orang pasti sudah memiliki jalan cerita hidupnya masing-masing. Sudahlah dia harus menyelesaikan pekerjaannya dan semua masalahnya juga. Ini sangat melelahkan sekali untuknya.

"Terima kasih," ucap Narendra terdengar tulus saat seorang pelayan membawakan secangkir kopi untuknya. Pelayan itu mengangguk dan pamit ke belakang untuk melanjutkan pekerjaan lainnya. Dia menyeruput kopinya. Nikmat sekali, enteng rasanya ketika bekerja di temani oleh secangkir kopi.

"Siapkan mobil patroli dan juga para anggota polisi lainnya untuk ikut berpatroli dengan saya. Kita akan berangkat ke TKP sekarang juga!" Perintah Narendra saat asisten kepercayaannya meletakkan sekumpulan map di mejanya. Asisten itu mengangguk, bilang siap.

Mobil patroli milik Narendra telah tiba di TKP. Mana lagi kalau bukan pinggiran jalan ibu kota Jakarta yang sangat ramai dengan para pedagang kaki lima. Para pedagang itu sangatlah nakal, susah sekali di kasih tau, membuat kepala Narendra pusing tujuh keliling menanganinya. Diperingatkan untuk tidak berdagang di pinggiran jalan ibu kota agar tidak membuat jalan sempit dan macet, tapi tetap saja berdagang di sana. Apa mereka tidak mengerti bahasa indonesia?

Narendra langsung mendekat ke TKP bersama dengan regunya. Mereka semua berpencar menangkap para pedagang itu. Pasti sudah kebayang bagaimana jika ada razia mendadak? Mereka semua pasti kabur meninggalkan barang bawaan mereka, tapi ada saja yang menyerah dan membiarkan dirinya di tangkap. Tidak untuk Narendra, dia terus menangkap dan mengejar para pedagang nakal yang melarikan diri dari TKP. Mereka yang tertangkap dibawa ke kantor dengan mobil patroli.

"Kenapa kalian masih berdagang di pinggiran jalan ibu kota seperti tadi walaupun sudah jelas di larang?" Narendra bertanya tegas ketika semua pedagang tiba di ruangan kerjanya. Semua pedagang hanya diam menundukkan kepala.

"Apa kalian tidak mengerti peraturan yang kami buat? Kami mengusir kalian bukan karena tidak mengizinkan kalian untuk berdagang, tapi kami memindahkan tempat berdagang kalian. Tidak bahaya bagi kalian jika pindah ke tempat yang kami sarankan dan membuat jalanan juga bebas dari kemacetan," Narendra menjelaskan argumennya berharap mereka memahaminya. "Kami akan melayani kalian semampunya, tidak membeda-bedakan. Jadi tolong mengerti dan bekerja samalah dengan kami," pinta Narendra tulus.

Dari sekian banyak komisaris besar, kepala kepolisian lebih mempercayai Narendra. Karena Narendra mempunyai integritas yang tinggi dalam melakukan tugas dan pekerjaannya. Narendra sangat baik dan bijak, dia selalu mengambil keputusan yang menguntungkan untuk banyak orang bukan untuk menguntungkan dirinya sendiri. Itulah Narendra, hasil kerjanya patut diacungkan jempol, integritasnya juga tidak patut untuk dipertanyakan.

***

Pintu cokelat tua itu terbuka dengan sekali bantingan saja. Narendra yang duduk menatap laptop sampai melihat ke arah pintu yang tiba-tiba saja terbuka. Dia pikir angin diluar sangat kencang sampai membuat pintu rumahnya terbuka, tapi ternyata Arunna yang telah membantingnya. Kenapa Arunna terlihat marah? Sejak kapan Arunna keluar rumah? Semua pertanyaan itu berputar-putar dalam otaknya.

"Anda satu-satunya pria paling licik dan jahat yang ada di dunia ini!" Baru saja datang, Arunna langsung mengeluarkan makiannya sambil menunjuk-nunjuk Narendra.

"Kamu kenapa tiba-tiba marah gini? Ada apa?"

"Masih tanya saya kenapa? Bagus banget ya sandiwara anda, mulus banget kayak body Raisa!" Sindir Arunna.

Commissar, I Love You ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang