BAB 20

895 96 0
                                    


Tiga bulan yang lalu...

Cahaya lampu memaksa Arunna untuk membuka matanya, pusing yang Arunna rasakan pertama kali saat membuka mata. Kepalanya terasa berat seperti tertimpa batu besar.

"Dimana ini?" Arunna mendesah pelan sambil memegangi kepalanya yang terasa pusing.

Yang Arunna tahu, dia pingsan di jalan karena panas terik dan lapar. Tapi kenapa sekarang dia ada di ruangan yang kelihatannya seperti kamar? Apa jangan-jangan Narendra menemukannya? Tapi kamar itu berbeda sekali dengan kamar Narendra.

Arunna meringis memegangi kepalanya saat mencoba bangun dari ranjang empuk yang tengah dia tiduri sekarang.

"Bu, tolong jangan bangun dulu. Istirahatlah sebentar!" Ujar seseorang lembut dan membimbing bahu Arunna untuk tidur kembali. Arunna menoleh kepada orang yang menolongnya, alisnya bertautan, matanya membulat sempurna, dia terkejut.

"Kamu?" Gumam Arunna setengah berbisik, bahkan nyaris tak terdengar. Orang itu tersenyum. "Kamu, Gendis, 'kan?" Tanya Arunna setengah berbisik, perempuan yang namanya disebutkan Arunna mengangguk. Arunna memeluk perempuan yang bernama Gendis itu, "Ya ampun, Ndis, aku nggak nyangka banget bisa ketemu kamu!"

Gendis menguraikan pelukannya dan kembali membimbing Arunna tidur. "Aku juga nggak nyangka bisa ketemu ibu."

"Jangan panggil ibu, cukup Arunna saja. Kamu sudah bukan sekretarisku lagi jadi jangan terlalu formal begitu." Gendis mengangguk.

"Baiklah terserah ibu saja, maksudku Ar..runna," Gendis melempar senyum tulusnya. "Sekarang kamu istirahat ya, Na. Kata dokter kamu nggak boleh capek, kasihan bayi yang ada di kandungmu." Sambung Gendis, tangannya terulur mengelus perut Arunna yang masih rata.

Arunna tersentak kaget mendengar ucapan Gendis, "Bayi?" Gumamnya.

Gendis mengangguk antusias, "Empat minggu!" Dia menarik selimut sampai dagu Arunna lalu pergi meninggalkannya sendirian.

Tangannya perlahan bergerak ke atas perutnya, mengelus perutnya yang masih rata penuh perasaan, perkataan Gendis tentang kehamilannya masih terngiang-ngiang di kepalanya. Hamil? Dan usianya sudah empat minggu? Kenapa Arunna tidak mengetahuinya? Dan kenapa Narendra tidak memberitahunya?

"Pasti dia sengaja tidak memberitahu kehamilanku, dia pasti ingin memanfaatkan anakku untuk kepuasannya makanya dia tidak memberitahukanku. Memang dasar pria brengsek kau Narendra! Aku sangat membencimu!" Mulut Arunna kembali mengeluarkan makian dan sumpah serapahnya.

Perlahan matanya terpejam lagi dengan tangan yang masih memegangi perut, berharap sakit kepalanya segera hilang.

***

Arunna terbangun karena mendengar suara piring yang saling beradu. Dia memutuskan keluar kamar dan melihat apa yang sedang dilakukan Gendis. Ternyata mantan sekretarisnya itu sedang mencuci piring. Arunna menghampirinya berniat untuk membantu.

"Kamu tamu di sini bahkan kamu dulu adalah atasanku, jadi tidak perlu membantuku. Lebih baik kamu istirahat yang cukup!" Tolak Gendis sambil menahan tangan Arunna yang ingin mengambil piring kotor untuk dicuci.

Arunna mendesah pendek, sudah menumpang tapi tidak membantu rasanya seperti ratu saja. Arunna merasa tidak enak hati, Gendis terlalu memperlakukannya dengan istimewa.

"Ndis, malam ini aku numpang tidur di rumahmu ya, tapi aku janji besok pagi akan pergi kok. Aku hanya menumpang satu malam saja, tidak apa, 'kan?" Tanya Arunna ragu-ragu, khawatir dia tidak memperbolehkannya. Gendis mencuci tangannya yang penuh busa, dia menoleh, melayangkan tatapan tidak suka.

Commissar, I Love You ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang