BAB 16

942 91 0
                                    


Dalam satu hari kau mampu membuatku bahagia, tersenyum sendiri seperti orang gila, bahkan membuatku melayang tinggi ke langit tujuh. Tapi cukup satu detik saja kau menjatuhkanku dan menghancurkan semuanya.

-Narendra Hanum Dinata-

****

Burung bernyanyi begitu merdunya dan matahari tampak riang menyambutnya, terbukti dengan sinarnya yang begitu cerah pagi ini. Arunna terbangun dari tidurnya lantaran sinar matahari mengetuk kelopak matanya. Pandangannya jatuh pada lelaki yang ada di sampingnya. Dia menatap lekat-lekat wajah Narendra, betapa damainya tidur lelaki itu.

Sudah hampir satu tahun mereka menikah, tapi Arunna baru berani menatap wajah Narendra sedekat ini. Apa Arunna boleh jujur? Narendra memang sangat tampan, rahangnya begitu kokoh, hidungnya mancung, alis matanya tebal, dan kalau Arunna amati ternyata mulut Narendra mungil seperti mulutnya. Ah, jujur, Narendra lebih tampan dari Kamal.

"Selamat pagi," sapa Narendra dengan suara serak khas bangun tidur. Arunna masih menatap lekat-lekat wajah Narendra, dia tenggelam dalam ketampanan wajah Narendra.

"Selamat pagi," sapa Narendra tapi kali ini sedikit lebih kencang sehingga mampu membuyarkan lamunan Arunna.

Malu, satu kata itu yang Arunna rasakan saat ini karena tertangkap basah sedang memperhatikan wajah Narendra. Dengan cepat dia memalingkan wajahnya, menyembunyikan rona merah yang ada di wajahnya saat ini. Dia pun beranjak pergi tapi Narendra mencekal lengannya dan menariknya sehingga membuat Arunna jatuh tepat di atas Narendra.

"Aku tahu kalau aku itu sangat tampan, jadi tidak perlu diam-diam atau malu-malu untuk melihat wajahku ini. Sekarang lihatlah selama yang kamu inginkan sampai kamu puas!" Narendra menggoda Arunna. Rasa panas mulai menjalar di wajah Arunna, entah sudah semerah apa wajahnya sekarang karena godaan Narendra.

Sudah satu minggu berlalu sejak kejadian malam bersejarah itu, Narendra semakin sering dan berani meminta melakukannya dengan terang-terangan. Tidak hanya malam, bahkan pagi sebelum pergi bekerja pun Narendra selalu memintanya. Dan sejak malam bersejarah itu juga, Narendra selalu bahkan sering menggodanya.

"Aku ingin sekali menampar wajahmu itu berkali-kali, tolong buanglah rasa percaya dirimu itu!" Arunna mengelus pipi Narendra. "Memangnya tampan dari mana? Kalau di lihat dari monas? Atau lewat bolongan sedotan gitu?" Sambung Arunna lagi, dia segera beranjak dari tubuh Narendra, tapi tangannya di tarik dan membuatnya kembali jatuh di atas Narendra lagi.

"Kamu ini kenapa? Biarkan aku bangun, banyak pekerjaan yang harus aku lakukan tahu!" Gerutu Arunna, dia kembali beranjak dari atas Narendra tapi kembali di tarik. Senyum jahil mengembang di wajah Narendra, perasaan Arunna mulai tidak enak kalau melihat senyum seperti itu di wajah suaminya.

"Aku ingin itu, kamu pasti mengerti," alis Narendra naik turun di sertai senyum jahil di wajahnya. Sekuat apa pun Arunna melawan dan menolak tetap saja Narendra pemenangnya, Arunna menghela napas pasrah.

Usai kembali melakukan kegiatan rutin di pagi hari, kini Arunna sedang menyiapkan masakannya di meja, mulutnya berkomat-kamit sedari tadi. Tiba-tiba lengan kekar melingkar di pinggang rampingnya, siapa lagi kalau bukan Narendra pemilik lengan kekar itu. Mereka duduk dan menikmati sarapan dalam diam.

Tapi sepertinya ada yang tidak baik dengan Arunna, gelisah mulai menyerangnya. Dia menghela napas berat, "Aku minta maaf!" Ternyata untuk melontarkan kata maaf yang telah membuat Arunna gelisah, entah seberat apa mulutnya untuk melontarkan kata maaf itu. Narendra menatapnya bingung, menunggu ucapan Arunna selanjutnya.

Commissar, I Love You ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang