BAB 23

955 93 0
                                    


Pagi itu keadaan langit tampak cerah, Narendra melangkah gontai menuju rumah Kamal, niatnya adalah silaturahim dengan adik iparnya. Ada tukang sayur di tepi jalan lengkap dengan ibu-ibu berkumpul ria memilih sayuran segar, tanpa sengaja Narendra mendengar apa yang diobrolkan oleh ibu-ibu itu.

"Kasihan sekali ya isterinya Kamal, tahu nggak ibu-ibu? Sejak menikah, isterinya itu nggak pernah diperlakukan dengan baik." Ujar salah satu ibu-ibu yang sibuk memilih sayur segar.

"Iya, saya nggak pernah lihat isterinya itu keluar rumah, kayaknya mungkin dia di sekap gitu di rumahnya sendiri." Sahut ibu-ibu yang memakai baju daster merah yang memakai roll rambut di poninya.

"Dengar-dengar juga sih eh lebih tepatnya lagi waktu pulang kerja lewat depan rumah dia, suami saya nggak sengaja lihat isterinya bunuh diri lompat dari jendela atas." Tambah ibu yang memakai daster batik berlengan buntung itu.

"Pasti isterinya gila karena disiksa terus sama suaminya makanya milih untuk bunuh diri. Orang tiap hari saya dan suami sering dengar isterinya teriak minta ampun gitu, bu!" Timpal ibu yang memakai daster merah itu.

"Ya ampun kasihan banget isterinya, masih ada saja suami yang jahat kayak dia ya. Untung suami saya baik, amit-amit deh jangan sampai nanti adik atau anak saya kelak punya suami kayak gitu!" Seru ibu lainnya yang sedari tadi hanya mendengarkan rumpian ketiga ibu-ibu, dia bergidik ngeri membayangkannya.

Seketika rahang Narendra mengeras mendengar perkataan ibu-ibu rumpi itu, dia tetap melangkah gontai memasuki pekarangan rumah suami adiknya itu. Tangan kekarnya terulur tidak jadi membuka pintu rumah saat mendengar seseorang sedang berbicara serius dan itu membuat Narendra semakin marah.

"Ratih memang keberuntungan untuk keluarga kita, karena dia kita bisa mendapat semua harta keluarganya! Kita kaya mendadak!" Tawa Adrian dan Kamal menggelengar memenuhi ruang tamu itu.

Seketika tawa jahatnya terhenti, di sorot matanya terdapat kebencian yang amat mendalam. "Dari awal papa tidak suka dengan keberhasilan bisnis keluarga Dinata sedangkan bisnis kita biasa-biasa saja. Mereka selalu tertawa sedangkan kita selalu bingung, lama papa menahan penderitaan ini sampai kau menikah dengan Ratih dan membuatnya tersiksa setiap harinya membuat papa puas hati!" Tambah Adrian terdengar begitu lirih.

"Jangan sampai ada yang tahu kalau Ratih meninggal karena bunuh diri, biarkan dunia tahu kalau dia meninggal karena kecelakaan mobil sewaktu pergi berbelanja!" Ujarnya penuh penegasan sebelum benar-benar pergi dari ruang tamu, Kamal mengangguk samar. Marah bukan main yang Narendra rasakan saat ini, cepat-cepat dia pergi dari rumah terkutuk itu sebelum ada yang mengetahui kedatangannya.

Kakinya terus melangkah, sang angin juga berhembus membawanya entah ke mana. Di sinilah dia berdiri, halaman rumahnya, dia mengamati sekeliling rumah itu, rumah masa kecilnya bersama dengan sang adik. Kenangan itu terlalu manis untuk dilupakannya, dia melangkah masuk dan melihat ibunya sedang duduk berbincang di ruang tamu bersama ayahnya, ralat bukan ayahnya melainkan guling yang dianggap sebagai ayahnya. Lututnya lemas, air matanya tiba-tiba saja mengalir membasahi pipinya melihat keadaan ibunda yang terlihat seperti benar-benar tidak terurus. Rambutnya awut-awutan, di dasternya terdapat sobekan kecil di bagian lengan dan punggung, wajahnya juga kotor karena debu.

Dia masuk ke kamarnya, untuk apalagi kalau bukan menangis seorang diri. Tangannya mengambil kotak hitam yang berisi semua barang kesayangannya, dia membuka kotak itu tapi ada sepucuk surat di dalamnya. Dia membuka dan membaca sepucuk surat itu.

Untuk kakakku tersayang, Narendra Dinata.
Kak, ayah dan ibu sangat senang dengan keputusannya untuk menikahiku dengan Kamal, tapi ternyata itu tidak membuatku bahagia. Kamal menyekapku di gudang, dia memberiku nasi sisa, dan dia selalu memukuliku dengan tangannya ataupun ikat pinggang kulit miliknya. Aku tidak mungkin mengadu pada ayah atau ibu, aku tidak mau menambah beban mereka ataupun membuat mereka menyesal karena telah menikahkanku dengannya. Dia juga mengancamku, jika aku melapor pada polisi atau keluarga maka dia akan membunuhku. Hari ini dia memintaku mengambil semua harta ibu, itulah sebabnya aku meninggalkan surat ini di dalam kotakmu. Kalau kakak membaca surat ini maka tolonglah aku, itu pun jika aku masih ada di dunia ini.

Commissar, I Love You ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang