BAB 14

951 95 2
                                    


Aku tidak pernah tahu, sebenarnya hatimu untuk siapa. Aku juga tidak tahu kapan aku mulai mencintaimu. Tapi yang aku tahu, rasa kagum yang kumiliki untukmu kini telah berubah menjadi cinta.

-Narendra Hanum Dinata-

****


"Apa ini? Kamu mau bawa aku kemana? Sepanjang perjalanan isinya hutan kayu putih sama ladang jati doang. Kamu nggak ada rencana untuk bunuh aku di hutan kayak gini, 'kan?" Arunna mulai meracau saat melihat sekelilingnya hutan dan ladang saja. Pikirannya sudah melayang jauh entah ke mana. Narendra yang fokus menyetir hanya terkekeh geli saat mendengar Arunna yang meracau.

"Kenapa ketawa? Memangnya ada yang lucu? Oh atau tebakan untuk bunuh aku itu benar ya? Sumpah kalau tebakan aku itu ternyata benar, nggak lucu banget tahu! Pokoknya kalau sampai kamu bunuh aku, arwah aku nggak akan tenang, pasti akan gentayangin kamu terus!" Tuding Arunna dengan matanya yang melolot seakan ingin keluar dan jari telunjuknya yang dilayangkan tepat ke wajah Narendra.

Tidak lama, hutan kayu putih dan ladang jati yang di lihat Arunna sepanjang perjalanan berakhir juga. Kini Narendra menariknya keluar dari mobil. "Kita mau mancing?" Itu yang keluar dari mulut Arunna. Mobil Narendra berhenti di sebuah lahan parkir tapi tidak terlihat seperti parkiran melainkan tampak seperti areal pemancingan, tapi memang banyak orang yang memancing.

Narendra menggeleng tegas, dia terus berjalan dan Arunna mengikutinya dari belakang, wajahnya masih penuh pertanyaan dan rasa takut masih menyelimutinya. Mereka berdua terus berjalan menyusuri jalan setapak dan kini mereka disuguhkan dengan indahnya pemandangan sawah nan hijau serta pohon kelapa yang meliuk-liuk karena tiupan angin.

"Astaga!" Tiba-tiba saja Arunna berteriak nyaring. "Jangan bilang kamu mau bunuh aku di tengah-tengah sawah ini biar orang sulit menemukanku? Karena kamu benci aku makanya kamu mau bunuh aku? Iya, 'kan? Ya ampun, kamu bisa merusak keindahan sawah ini dengan membunuh dan membuang aku tahu!" Arunna kembali meracau.

Perlahan Arunna berjalan mundur, Narendra yang mengetahui hal itu langsung mencekal lengan dan menarik Arunna menyusuri sawah nan hijau. Berkali-kali Arunna berusaha melepas cekalan tangan Narendra dan berteriak meminta tolong, tapi tampaknya sia-sia saja usahanya untuk lepas dari Narendra. Dirinya kalah kuat dengan Narendra. Dia hanya bisa berdoa dalam hatinya dan mengatakan kalau dia masih ingin hidup dan meraih kebahagiaan.

Suara berisik seperti alir mengalir terdengar di telinga Arunna. Ternyata Narendra membawanya ke sebuah air terjun yang benar-benar menakjubkan, bukan ingin membunuhnya di sawah atau di hutan. Air yang bening itu rela mengalir begitu saja dari tempat tinggi ke bawah, kenapa air itu mau? Apa air itu tidak merasa sakit? Banyak orang yang mandi di pancuran air bening tapi ada juga yang berenang di tempat penampungan air yang mengalir deras itu. Satu kata untuk airnya, segar. Satu kata untuk pemandangan sekeliling air terjunnya, menakjubkan.

Tangan mungil Arunna menyentuh air dan menangkupnya, "Apa air ini boleh di minum?" Tanya Arunna ketika membasuh wajahnya dengan air itu.

Narendra mengangkat bahu, "Aku tidak tahu. Air ini memang bening, tapi aku tidak tahu bisa langsung di minum atau tidak." Arunna hanya menganggukkan kepalanya. Dia merogoh saku celana Narendra, apalagi kalau bukan mengambil ponselnya dan memberikannya pada orang lain untuk meminta tolong mengambilkan gambarnya.

Commissar, I Love You ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang