BAB 21

947 96 0
                                    


Bunyi klakson saling beradu membuat kebisingan di jalan raya Yogyakarta yang ramai akan penduduk dan wisatawannya menikmati keindahan Yogyakarta di sore hari, tapi tidak bagi wanita cantik yang satu ini. Wanita cantik itu justru berlari menghindari keramaian jalan kota Yogyakarta dengan air mata yang membanjiri pipinya.

"I'm so sorry, Naren!" Gumam Arunna berkali-kali, dia menyeka air matanya kasar.

Yang diinginkannya bertemu dengan Narendra sekarang juga, mengatakan maaf padanya dan memeluknya. Kalau Narendra tidak menerimanya? Mana mungkin, Narendra sangat mencintai Arunna dan dia juga lelaki baik jadi tidak mungkin dia tidak menerima maaf Arunna.

Arunna ingat pagi itu setelah Taufik menceritakan tentang masa lalunya, dia ingin cepat-cepat pulang menemui Narendra. Dia sudah pamit pada Gendis dan suaminya untuk kembali ke rumah karena tidak enak juga kelamaan numpang di rumah Gendis, awalnya Gendis menolak tapi seiring berjalannya waktu akhirnya Gendis membiarkan Arunna pulang ke rumahnya dengan syarat Arunna harus sering-sering mengujunginya. Mungkin Gendis masih berat melepaskan Arunna makanya setiap Arunna ingin melangkahkan kaki keluar rumah dia selalu menahannya dengan berbagai alasan.

Contohnya pagi tadi saat Arunna buru-buru pergi, Gendis memintanya untuk sarapan bersama, karena tak tega menolak akhirnya Arunna ikut sarapan. Ketika siang juga Gendis meminta Arunna untuk menemaninya belanja bahan makan dan menemaninya makan siang sampai sore tiba. Dan untungnya setelah berbicara kembali dengan Gendis, akhirnya Gendis mengizinkannya kembali dengan satu syarat; Arunna harus sering-sering mengujunginya. Arunna dapat melihat rasa berat melepaskan di pupil Gendis, tapi Arunna harus cepat pulang untuk meminta maaf pada Narendra.

***

*BRAK* bunyi pintu dibanting. Arunna yang telah mendorong, lebih tepatnya lagi membantingnya. Berkali-kali dia mengetuknya tapi pintu cokelat tua itu tak kunjung terbuka. Matanya terlihat bengkak dan merah, selama perjalanan menuju rumah air matanya tidak berhenti mengalir bahkan sekarang juga air matanya masih mengalir deras membasahi pipinya.

Rumah suaminya tampak lengang sekali, tidak ada Narendra yang berdiri di depan pintu untuk menyambut kepulangannya atau sekedar memberikan pelukkan hangat padanya, tidak ada sama sekali. Dia membawa air matanya berlari menuju kamar, dia membuka pintu kamarnya tapi Narendra tidak ada. Dia lihat toilet kamarnya, Narendra pun juga tidak ada.

Dia berlari membawa emosinya menuju halaman belakang dan dapur, hasilnya tetap sama, dia tidak dapat menemukan Narendra. Napasnya tersengal-sengal, dia melihat jam tangannya. "Padahal sudah sore, harusnya dia sudah pulang tapi kenapa tidak ada di rumah? Apa mungkin dia bermalam di kantor seperti hari itu?" Arunna menduga-duga. Tapi mencarinya ke kantor bukanlah ide yang buruk.

Dia menyeka air matanya sebelum berangkat ke kantor, dia tidak mau terlihat cengeng di depan orang banyak. Tapi sesuatu berhasil menghentikan langkahnya. Tiba-tiba saja telinga Arunna menangkap suara petikan gitar di ruangan yang biasa Narendra singgahi jika sedang galau, dan memang Arunna belum mencari Narendra di ruangan itu. Dia mendekati ruang favorit Narendra itu dan suara petikan gitarnya semakin terdengar jelas, dia membuka pintu ruangan itu sedikit agar bisa melihat ke dalamnya. Awalnya celah itu tampak kecil tapi perlahan semakin membesar, dan benar saja di dalamnya ada Narendra yang duduk sambil memainkan gitar kesayangannya. Raganya memang sedang duduk sambil memainkan gitar, tapi jiwanya sedang pergi jauh dari raganya.

Saat terindah saat bersamamu
Begitu lelapnya aku pun terbuai
Sebenarnya aku t'lah berharap
'Ku 'kan memiliki dirimu selamanya

Segenap hatiku luluh lantak
Mengiringi dukaku yang kehilangan dirimu
Sungguh 'ku tak mampu 'tuk meredah kepedihan hatiku
Untuk merelakan kepergianmu

Commissar, I Love You ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang