Sewaktu aku kecil, aku sering diajak jalan-jalan oleh kedua orang tuaku ke Prensen Parek (begitu aku mengingatnya sebagai anak kecil).
Tahun 1960-1970-an, Prinsen Park ramai sekali. Belakangan namanya diganti menjadi Taman Hiburan Rakyat Lokasari, tetapi kami yang sudah terbiasa dengan nama lama tetap menyebutnya Prensen Parek. Prensen Parek merupakan kompleks hiburan rakyat di daerah Taman Sari, Mangga Besar dan sekitarnya. Di dalam Prensen Parek terdapat berbagai gedung bioskop seperti Merpati, Tamansari, Mangga Besar, Rukiah dan yang paling belakangan Sri-Intan. Di areal situ juga ada lapangan basket, kolam renang, berbagai kios yang menjual obat-obatan, buku tulis, cendera mata, sekolah dansa, bar, restoran Happy World, serta sejumlah restoran yang menyajikan menu ular, monyet, trenggiling, anak buaya, dan biawak.
Biasanya kami pergi ke Prensen Parek di sore hari dengan naik becak. Aku dan Rudi kerap bertengkar berebut untuk duduk di tengah sementara mama selalu memangku Dini. Jujur meskipun papa cukup menyayangiku waktu itu tetapi aku merasa tidak nyaman dipangku papa sedangkan Rudi? Ia merasa lebih enak duduk di tengah, lebih bebas dan menjulurkan kakinya di ujung besi yang menjadi lengkungan becak, merasakan semilirnya angin...
Saat itu adik perempuanku baru saja lahir dan ada suster yang menjaganya sehingga kami dapat bepergian ke Prensen Parek. Papa tidak suka membawa anak kecil yang kerap menangis.
"Berisik!" begitu kata papa. Sehingga hanya kami berempat yang sering ke Prensen Parek.
Ketika kami sudah sampai di seberang komplek Prensek Parek, aku dapat melihat deretan toko di sebelah kiri yang menjual obat Cina, toko suvenir, toko manisan, dll. Sedangkan sebelah kanan diisi oleh penjual kacang rebus, cakwe, martabak manis, pisang goreng, dll.
Becak berhenti di kiri jalan dan papa selalu membeli beberapa macam barang seperti teh bunga seruni untuk panas dalam atau teh lo han guo dan minyak ikan merk Scott emulsion yang tersedia dalam rasa original atau jeruk tetapi keduanya sangat tidak kusukai. Kata papa minyak ikan bagus diminum setiap hari supaya aku pintar dan aku diam saja. Ketika melewati toko manisan aku selalu mengilar tetapi papa jarang mampir ke situ, sesekali ia membelinya juga ketika kepingin.
Ketika berjalan sampai di depan pintu gerbang Prensen Parek, biasanya papa mencari pak Kamsiran yang adalah teman lamanya dari Bandung. Pak Kamsiran bertugas sebagai kepala keamanan di komplek Prensen Parek. Biasanya papa dapat karcis gratis untuk nonton di bioskop mana saja dari pak Kamsiran. Setelah mendapat karcis bioskop dan berbasa-basi dengan pak Kamsiran barulah kami melenggang masuk ke dalam Prensen Parek. Bioskop Rukiah terletak paling depan dekat pintu gerbang utama.
Berjalan sebentar lagi kami dapat melihat pertunjukan Opera Cina, wayang potehi, atau stand up comedian ala Cina kuno yang memegang sebuah kayu kecil yang selalu dibunyikannya. Semua pertunjukan ini dilakukan di panggung terbuka.
Ketika ada pertunjukan opera; para pemain opera menggunakan kostum Cina kuno. Mereka berjalan hilir mudik mengayunkan tangannya dengan gemulai sambil bernyanyi dengan nada tinggi yang terdengar tidak enak ditelingaku. Papa sering terpesona memandangnya tetapi aku tidak sabar menunggunya. Dan sering kali kakiku mengais-ngais tanah seperti kuda poni saja.
Banyak sekali orang yang menonton disitu sambil duduk-duduk di beberapa baris kursi berderet memanjang di depan panggung terbuka. Adakalanya pertunjukan itu membeludak karena sangat diminati penonton tetapi terkadang sepi sekali.
Di awal tahun 1970an, baik wayang potehi maupun opera Cina dan semua pertunjukan berbau Cina tidak ada lagi disitu. Kata orang, itu dilarang pemerintah! Bangunan yang ada dirobohkan dan menjadi sebuah restoran?
Sesekali kami bertemu artis beken di Prensen Parek seperti Bing Slamet, Eddy Sud dan Leila Sari. Bing Slamet adalah salah satu artis idola papa dan papa merasa beruntung karena pernah berjabatan tangan dengannya.
Kalau pertunjukan film masih lama, biasanya papa mengajak kami membeli beberapa penganan kecil seperti cakwe goreng atau kue bantal atau berjalan ke toko buku. Dini selalu ingin mampir ke toko buku untuk membeli kertas berwarna atau pinsil atau apa saja. Aku sendiri sangat menyukai toko buku, mencium bau kertas yang masih baru dan melihat berbagai macam barang yang ditata di toko buku.
Saat itu kami harus belajar menulis indah dengan menggunakan pit dan tinta sedangkan papa masih menggunakan pit untuk menulis aksara Cina di rumah. Ujung pit terbuat dari besi dan ketika hendak menulis kami harus mencelupnya ke dalam botol tinta kemudian menggeseknya di pinggir botol supaya tintanya tidak kebanyakan. Kalau tidak begitu tintanya meluber dan kami harus menggunakan kertas baru.
Aku paling tidak menyukai pelajaran prakarya. Kadang kami harus mencari merang padi untuk membuat sesuatu atau mencari kertas roti dsb. Toko buku di dalam Prensen Parek lumayan lengkap menjual semua keperluan anak sekolah. Ada juga yang menjual baju seragam sekolah tetapi kata mama di Pasar Baru lebih murah. Dan papa hanya mengangkat bahunya.
Sehabis menonton film, terkadang papa mengajak kami makan malam (supper) di salah satu restoran cina favoritnya. Menu favorit papa kalo gak bakmi goreng atau kwetiaw goreng pasti puyung hai, capcai atau kodok mentega. Keluar dari komplek Prensen Parek papa menawar becak dan kalau lagi kepengin makan, papa minta becak untuk berhenti membeli martabak manis atau pisang goreng, ganastori (kacang hijau goreng) yang berada di ujung jalan sebelum becak menyeberang.
Kenangan jalan-jalan ke Prensen Parek merupakan kenangan manis karena bukan hanya aku menikmati nonton bareng keluarga tetapi juga merupakan kenangan manis satu-satunya karena waktu itu papa masih menyayangiku. Setelah adik terkecilku lahir, aku nyaris tidak lagi mendapat perhatian dari papa dan kami sudah jarang ke Prensen Parek.
Catatan Kaki:
Wayang Potehi adalah wayang boneka yang terbuat dari kain. Sang dalang akan memasukkan tangan mereka ke dalam kain dan memainkannya persis wayang Indonesia. Pertunjukan wayang potehi dilakukan dalam bahasa Cina diiringi oleh berbagai alat musik khas Cina. Alat musik Wayang Potehi terdiri atas gambreng, kecer, suling , rebab, tambur, dll. Yang menarik, salah satu alat musik itu mirip sebuah kentongan kayu milik penjual bakmi, berbunyi tok...tok...tok.
Kertas roti: kertas pembungkus roti berwarna kuning dan berbahan kasar. Entah terbuat dari apa. Kami sering menggunakannya untuk bahan prakarya dan juga untuk menyerap tinta ketika kami menulis. Kertas roti sangat baik digunakan untuk menyerap tinta karena daya serapnya yang tinggi. Sekarang mungkin tidak mudah menemukan kertas roti seperti ini di Indonesia.

KAMU SEDANG MEMBACA
Stories from My Childhood
General FictionSebuah otobiografi tentang masa kecilku sampai remaja. Dari waktu ke waktu memori tentang masa kecil terkadang bermunculan...Banyak hal-hal menarik, lucu bahkan terkadang aneh sangat menghibur hati sehingga menurutku layak untuk dibagikan. Cerita in...