Rumahku

175 11 4
                                    

Ketika papa menikah dengan mama, mereka menempati rumah di bilangan Mangga Besar. Samar-samar aku masih mengingat rumah besar itu yang terletak di jalan besar. Rumahnya bercat hijau tua. Sebuah kandang besi berisi burung beo berwarna hitam ribut sekali bersuara meniru-niru suara manusia. Entah mengapa kemudian kami pindah ke rumah yang lebih kecil dan mungil di bilangan Kebun Jeruk di kelurahan Taman Sari daerah Kota.

Di rumah ini kami tinggal cukup lama dan kedua adikku lahir ketika kami tinggal di situ. Sejak aku masuk kelas nol kecil sampai usia 8 tahun, kami tinggal di rumah itu. Jadi kira-kira empat tahun kami tinggal di situ. Rumahnya menyenangkan dan memiliki dua kamar besar di tengah yang berhubungan dengan sebuah pintu. Kamar depan adalah kamar papa dan mama kemudian kamar tengah adalah kamar anak-anak yang ditempati kami bertiga. Sedangkan di belakang ada kamar tamu dan kamar untuk pembantu.

Di halaman depan ada pintu gerbang yang terbuat dari besi dan tinggi sekali, susah payah aku mendorongnya untuk terbuka lebar ke samping. Di halaman depan ada sebuah pohon mangga yang berbuah dua atau tiga kali dalam setahun. Di sekitar pohon mangga mama menanam beberapa tanaman bunga. Dan juga ada beberapa pot bunga di situ tetapi mama kurang rajin merawatnya sehingga tanaman bunga itu tidak berumur lama.

Setelah melewati halaman depan yang cukup luas dan sebuah pelataran kecil berubin berwarna kuning, ada sebuah pintu depan terbuat dari kayu dan kaca. Dua buah jendela kaca yang besar ada di sebelah kiri dan kanannya. Di samping kanan rumah kami ada sebuah lorong kecil dan papa menaruh berbagai barang di situ. Dari lorong kecil itu kami bisa melihat jendela kamar kami dan jendela kamar ortu. Di samping situ, kerap kami menemukan tokek, cicak bahkan biawak yang suka berkeliaran sehingga aku jarang mau ke samping sana.

Aku paling takut mendengar suara tokek tak perduli siang ataupun malam, suaranya begitu keras dan menakutkan. Sekali pembantuku menangkapnya sambil tertawa memperlihatkannya kepadaku dengan maksud supaya aku tidak takut lagi tetapi aku malah jijik. Ketika kupegang tubuhnya, dingin sekali...benar-benar menjijikkan. Dan setelah itu setiap kali aku mendengarnya tetap saja aku takut!

"Dasar nyali lo kecil!" begitu Rudy meledekku.

Balik ke pembicaraan tentang rumah. Setelah membuka pintu rumah, ada ruangan tamu yang dibatasi oleh sebuah sekat besi dan sekat kayu bergambar bebek mandarin di sebuah sungai. Ruang tamu kami cukup luas. Seperangkat sofa dan meja panjang terletak di sebelah kiri sedangkan di sebelah kanan berderet kursi setengah lingkaran seperti ruang tunggu di praktek bu dokter langganan kami.

Setelah ruang tamu adalah ruang keluarga dan meja besar tempat papa menulis. Di sisi kiri ada gramofon milik papa. Kemudian di ruang makan, kami memiliki dua buah meja besar. Yang satu selalu tampak kosong sedang yang satu lagi untuk meja makan. Meja makan yang kosong konon diambil dari rumah kami di Mangga besar dulu. Karena terbuat dari kayu jati, papa merasa sayang untuk menjualnya. Hampir semua furnitur papa terbuat dari kayu jati.

Di sebelah kanan ruang makan adalah kamar tidur papa dan mama yang berhubungan dengan kamar tidur kami. Kamar tidur kami mempunyai dua buah pintu. Pintu yang satu berhubungan dengan ruang makan sedangkan yang satu lagi berhubungan dengan ruang belakang.

Di ruang belakang ada meja sembahyangan mama. Ada dua meja sembahyang. Yang satu untuk memuja dewa Kwan Kong sedang yang satu untuk memuja dewi Kwan Im. Di sebelah kiri ada pintu tembus untuk keluar rumah ke gang kecil di samping rumah kami. Sebuah kursi panjang berukuran tiga meter lebih menutupi pintu besi yang senantiasa di gembok itu.

Di pojok sebelah kanan meja sembahyang ada beberapa lemari buku yang sangat besar memuat koleksi berbagai buku dan majalah kepunyaan mama. Melangkah dari ruang sembahyang ada ruang dapur di sebelah kanan sedang di sebelah kiri adalah kamar mandi dan di ujung belakang adalah toilet.

Bagian paling belakang sebelah kanannya terbuka tanpa atap dan digunakan untuk mencuci baju serta tempat untuk menjemur baju. Sebuah pintu besi terletak di situ yang ketika dibuka membuat kami dapat menapaki pasar kaget serta rumah penduduk dan mesjid di belakang rumah. Entah mengapa papa mewanti-wanti kami untuk tidak boleh membuka pintu belakang kecuali dalam keadaan darurat. Sehingga kami selalu menggunakan pintu depan ketika hendak bepergian.

Tanpa kami sadari sebenarnya rumah yang kami tempati itu ternyata cukup angker. Pertama kali menempati rumah itu kami jarang mendapatkan gangguan, tetapi lama kelamaan ada-ada saja kejadian aneh yang kami alami sehingga kami tau bahwa rumah yang kami tempati ternyata ada penunggunya...

Dan mama jadi tambah rajin sembahyang menyembah dewa-dewi, bahkan pernah pergi ke gunung Kawi. Dari gunung Kawi, mama dapat sebuah kaca berlukiskan gambar seekor macan menggigit pedang yang digantung di atas pintu depan rumah kami. Di atas kaca itu tertulis aksara Cina yang ditulis dengan darah.

Selain itu sebuah hu yang ditulis dengan darah juga menghiasi atas pintu depan rumah kami ditambah lagi dengan sebuah kantong kain berwarna kuning yang katanya juga berisi jimat.

Setiap malam Jumat, mama selalu membakar setanggi dan kemenyan di atas sebuah anglo kecil dan mengelilingi rumah sambil membaca jampi-jampi. Selain itu pada hari yang sama, dua bungkus bunga segar yang berupa campuran mawar, melati, kenanga dan bunga-bunga lain serta sebotol minyak wangi cap ikan duyung di taruh di atas pendaringan.

Yang paling unik setiap malam Jumat mama membeli seporsi sate ayam dan meletakkannya di bawah kolong ranjang. Keesokan paginya mama membuang sate ayam itu di tong sampah...

Dalam hatiku aku berkata...

"Mubazir banget!"

Mama adalah penyembah berhala sedangkan papa tidak punya kepercayaan dan aku tidak pernah melihat papa berdoa, meskipun di KTPnya aku membaca papa beragama Buddha.

Meskipun rumah yang kami diami cukup angker tetapi kami menyukainya. Penunggu rumah jarang mengganggu kami tetapi menganggu siapa saja yang menantang atau mengganggunya. Aku akan menceritakan lebih detil lagi di bab lain. Bagiku rumah ini adalah rumah terbaik yang pernah kutinggali, apalagi pas papa dan mama belum bercerai. Aku benar-benar menikmati arti sebuah keluarga dalam sebuah rumah...meskipun papa kurang menyukaiku tetapi aku belajar untuk tetap menghormatinya...

Catatan:

Hu: Jimat terbuat dari kain atau kertas dan biasanya ditulis oleh darah atau tinta berwarna merah bertulisan aksara Cina.

Pasar kaget: Pasar yang muncul tiap pagi dan bubar menjelang siang hari sebelum lohor (sebelum jam dua belas siang).

Pendaringan: gentong untuk mengisi beras. Biasanya mama menaruh kembang dan berbagai sesaji di  sebuah piring tanah liat atau terbuat dari kayu yang lebar. Piring tanah liat ini ditaruh di atas pendaringan.

Setanggi: Setanggi dibakar langsung  menggunakan api dan kemudian dikipas atau dihembus padam, meninggalkan bara yang membara dan membebaskan haruman. Setanggi terdapat dalam pelbagai bentuk, termasuk batang (seperti hio) atau dipadatkan dalam bentuk seperti kukusan mini.

Kemenyan atau menyan: sering juga disebut Olibanum, berbentuk kristal yang ketika disulut dengan api mengeluarkan asap. Baunya menurutku menyesakkan nafas. Aku tidak pernah menyukainya.

Stories from My ChildhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang