Rumah Kebon Jeruk tanpa mama

34 2 1
                                    

Suasana rumah Kebon Jeruk tanpa mama sangatlah  berbeda. Dan yang pasti papa jarang marah-marah atau memukuli kami seperti dulu. Apalagi papa mulai jarang di rumah.

Di rumah sudah tidak ada lagi bibik.

Yang ada hanya Bondan yang tidak bisa masak tetapi ia antar jemput anak sekolah naik becak.

Terkadang di rumah gak ada lauk jadi kami terpaksa hanya makan nasi sama garam.

Bulan lalu kami juga pernah makan nasi sama garam dan terasa enak.

Beda banget karena emak mencampurkan nasi hangat dengan garam kemudian mengepalkannya sampai padat lalu aku memakannya.

Enak banget dan aku sering meminta emak membuatkanku nasi kepal kek gitu.

Zaman itu garam yang kami makan enak dan gurih.

Garamnya garam bata, terkadang berwarna putih, terkadang kekuningan dan ada titik-titik hitamnya seperti pasir.

Kami membeli garam bata di warung kemudian ditumbuk sampai hancur barulah dapat digunakan.

Kata Bondan garam bata lebih gurih karena terbuat dari air laut.

Sedangkan Bondan sendiri lebih suka menumbuk garam dengan cabe rawit biar pedas kemudian dicampurkan dengan nasi hangat.

Pernah kucoba, bikin meringis kepedasan...

Bondan juga suka membuat sambal...pedas banget padahal enak juga sih menurutku.

Siang itu papa ada di rumah bahkan ia juga yang menjemput kami berlima di sekolah.

Bahkan hari itu juga kami mendapatkan pembantu wanita yang baru untuk memasak dan mencuci baju.

Bondan payah banget kalau disuruh masak atau cuci baju. 

Setelah memarkir mobil mazdanya; tiba-tiba ada tukang yang membawa gerobak berisi kursi-kursi kecil yang rangkanya terbuat dari besi.

Dan kursi itu dibelat-belit tali plastik warna-warni...

Melihat itu papa langsung tertarik apalagi ternyata mereka asal Jawa Barat sehingga papa langsung berbahasa Sunda dengan mereka.

Setelah tawar menawar, papa memesan lima buah kursi...

Untuk kakak perempuanku, warna merah ...

Dan untuk kakak lelakiku warna biru...

"Pah, aku juga mau yang biru...aku suka biru" kataku menyelak...

"Gua juga suka biru...itu warna gua tau!" kata kakak lelakiku dan papa langsung membentak kami sambil melihat warna lain yang tersedia di gerobak si abang.

Akhirnya papa memilih warna kuning untukku, hijau untuk adik perempuanku dan coklat untuk Boy.

Kalau papa sudah bilang satu ya harus satu jangan berharap ada yang berani membantah dan si abangpun bersama rekannya mulai membelit rangka besi satu persatu dengan tali plastik.

Tali itu sebesar spaghetti, kuat dan liat sekali.

Si abang memiliki banyak tali dengan berbagai warna.

Papa tadinya ingin memesan warna hitam untuk adikku tetapi diprotes katanya ia lebih suka warna coklat...

Sejak itu kami sering duduk di kursi masing-masing ketika bermain atau kalau lagi kepengen.

Papa senang sekali melihat kami duduk di kursi masing-masing ketika makan duren bareng.

Saat makan duren bareng aku senang sekali karena merasa kalau aku adalah bagian dari keluarga kami.

Stories from My ChildhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang