Ke Pasar

129 12 9
                                    

Sewaktu kecil, aku paling suka ikut ke pasar. Zaman dulu belum ada supermarket dan mama atau pembantuku selalu ke pasar setiap hari. Sebenarnya ada pasar kecil di belakang rumah atau di Sawah Besar tetapi terkadang mama lebih suka belanja di pasar Petak Sembilan dekat Glodok. Lebih lengkap katanya.

Setiap kali aku diajak ke pasar, aku senang sekali. Dan yang lebih asik lagi boleh pake sendal jepit. Soalnya kalau keluar sama papa gak boleh pake sendal jepit, mesti pake sendal kulit atau sepatu.

"Gua bilangin, lo bukan anak kampung ya!" begitu kata papa kalau anak-anaknya keluar dari rumah pake sendal jepit. Tetapi hari itu ke pasar aku boleh pake sendal jepit dan papa masih tidur ketika kami pergi.

Setiap kali ke pasar kami naik becak dan hari itu kebetulan mama mengajakku ke pasar Petak Sembilan. Becak melaju dengan pesat. Sesekali berhenti di lampu merah dan kemudian melaju lagi. Aku masih ingat ketika sampai, tiba-tiba becak dihentikan oleh mama.

"Bang..bang..berhenti disini aja" kata mamaku dan becak diturunkan agar kami dapat turun dengan mudah. Tetapi tetap saja aku harus melompat karena kakiku tidak bisa langsung turun ke tanah.

Ketika aku membalikkan kepalaku, ternyata mama berhenti di depan sebuah kelenteng dan kulihat sebuah patung berwarna hitam dan terlihat seram nongkrong di atas pintu kelenteng.

"Ma, itu patung apa ma?...serem banget..."

"Hush...itu patung dewa gledek" kata mamaku berbisik seakan-akan ia takut menjawab pertanyaanku kencang-kencang takut di dengar dewa gledek yang menakutkan itu. Ketika aku melirik lagi, patung itu membisu tetapi sorot matanya beneran bikin takut sehingga aku melengos. Beberapa pengemis kulihat dengan lesu membaringkan tubuh mereka di depan kelenteng sambil memegang kaleng kecil.

Di depan kelenteng banyak penjual bunga seperti sedap malam, aster, dll. Bau harum semerbak dari sedap malam sangat menyenangkan hati. Terutama di harian tanggal satu atau lima belas dari penanggalan Cina, yang jual sedap malam bertambah banyak dan kutau mama selalu membelinya untuk ditaruh di beberapa tempat di rumah kami.

Hari itu mama keliling dulu melihat-lihat. Berbagai sayuran segar dan buah-buahan ditata di pinggir jalan dan terlihat begitu menarik. Berbagai bau dapat kucium di pasar dan yang paling kusukai bau berbagai bunga, wanginya bebuahan yang matang seperti mangga, rambutan, dll. Tetapi aku paling tidak suka dekat-dekat dengan tukang daging atau pedagang kambing dan ayam, bau sekali. Kawanan kambing yang dijual berak di mana-mana. Kotorannya bulat-bulat berwarna hitam, kecil-kecil persis seukuran buah cerme tetanggaku.

Seperti layaknya anak kecil, semuanya terlihat mempesona seperti ikan air tawar terkadang meletik dari sebuah bak kayu, kawanan udang yang melompat dan bergerak-gerak di dalam air, penjual penyu air tawar yang disebut bulus yang berkuku tajam. Nyaris aku tersayat oleh kukunya yang tajam.

Aku juga melihat beberapa penjual ikan hias di pasar. Beberapa botol gelas berisi berbagai jenis ikan hias berderet-deret diletakkan oleh penjual ikan hias itu di atas sepeda atau gerobak. Dan aku melihat ikan gapi dengan warna-warninya yang indah. Dalam hati aku tertawa, ngapain beli ikan gapi? Ikan gapi banyak terdapat di depan got rumahku dan got tetangga. Seringkali Rudy dan aku menangkap ikan-ikan itu kemudian memberikannya roti. Tetapi tak lama kemudian mati!

Kemudian aku mengagumi ikan cupang berwarna merah darah, putih kemerahan sampai coklat kebiru-biruan, dll. Rudy sangat menyukai ikan cupang. Baik aku dan Rudy sama-sama memelihara seekor ikan cupang di rumah.

Dan aku melihat semuanya dengan takjub; menikmati semua yang kulihat saat itu sepertinya aku berada di negeri antah berantah yang jauh berbeda dengan suasana rumah yang kelam.

Stories from My ChildhoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang