Bagian dua puluh delapan
***
Sore itu langit tampak mendung. Matahari tidak dapat menyalurkan cahayanya yang hangat karena awan tebal menghalanginya. Sepertinya, langit ikut merasakan apa yang tengah orang di sekitar pemakaman rasakan.
Setelah Joni dikuburkan, beberapa orang sudah pulang.
Dan Misyel, dia sudah terlihat baik-baik saja sejak tadi malam. Namun, sekarang Misyel sedang menangis histeris sama seperti Ibu Joni. Sekarang, Ibu Joni sudah dibawa pulang karena kondisi tubuhnya yang semakin melemah. Begitupun Ayah Joni yang ikut pulang untuk menemani istrinya.
Yang tertinggal hanya Adam, Misyel, Michel, Kevin, dan Sheila. Olive terpaksa pulang untuk bekerja lagi. Sheila memaklumi hal tersebut.
"Kita pulang yok Syel," ajak Michel sambil sesenggukan. Matanya juga sudah sembab karena sedari tadi ia sudah menangis terus.
Misyel sudah bersimpuh dengan lututnya di samping makam Joni. Memegang nisan yang bertuliskan nama Joni di sana. Rasa bersalah dan sakitnya terus menghantui Misyel.
"Gue ng..nggak bisa ninggalin Joni sendirian Chel." Kata Misyel di sela-sela tangisnya, yang saat ini ia menggunakan baju berwarna serba hitam.
"Tapi Joni bakal sedih kalau lihat lo nggak mau bangkit Syel," kata Kevin kemudian.
"Kalian berdua enggak ngerti. Joni masih butuh gue," Misyel mulai marah.
"Misyel.. demi gue. Ayo kita pulang dulu," Michel memohon pada saudari kembarnya yang satu ini. Rasanya masih berat bagi Misyel. Namun, akhirnya Misyel setuju.
Michel dan Kevin bersamaan membawa tubuh Misyel menjauh dari pemakaman. Adam tidak berbicara sama sekali ketika semua temannya pulang. Sedangkan Sheila hanya menatap sekawan itu menjauh. Tapi Kevin memberi kode supaya untuk menemani Adam agar jangan sendirian. Sheila mengangguk mengerti.
Adam berkelut dengan pikirannya. Kali terakhir ia berbicara dengan Joni juga sudah lama. Adam belum bisa berbuat banyak untuk Joni selama dua tahun ini. Biasanya, hanya Joni dan Kevin lah yang selalu bisa mengerti perasaan Adam. Namun salah satu di antaranya kini sudah harus pergi jauh. Dengan jarak yang tidak akan pernah tercapai.
Sheila ikut duduk bersisian dengan Adam yang hanya diam tidak bergeming. Bahkan sampai sekarang, Adam menahan air matanya supaya tidak jatuh. Adam berusaha sekuat tenaganya agar tidak terlihat rapuh.
Sheila mengambil tangan Adam dan menggenggamnya dengan hangat. Adam tidak memberi respon. Ia benar-benar seperti seorang mati rasa sekarang.
"Menangislah!" Kata Sheila yang sudah menangis duluan. Ia tidak bisa menahan air mata yang terkumpul di pelupuk matanya lagi. Pertahanannya sudah rapuh.
"Ini semua memang sulit. Gue bisa rasa apa yang sedang lo rasa, Dam." Ucap Sheila sambil menunduk. "gue nggak tau harus bagaimana dan cara apa supaya bisa menghibur lo lagi. Gue benar-benar terburuk sekarang," ujar Sheila sambil menangis.
Adam masih diam tidak membuka suaranya. Tapi matanya semakin berkaca-kaca. Sheila menatap iris itu. Sheila akhirnya membawa Adam ke dalam pelukannya.
"Gue bakal tetap di sini. Bersama lo Dam. Dan gue akan jadi tempat bersandar lo untuk kali ini. Jadi menangislah sepuasnya." Ucap Sheila.
Tubuh Adam bergetar. Adam menangis dalam pelukan Sheila. Akhirnya, sejak pagi tadi ia tahan tangisannya, di sore yang mendung ini, tangisan Adam pecah. Sheila memeluk Adam dengan erat dan mengelus pundaknya.
"Kita akan melalui ini semua bersama," lirih Sheila.
Dari kejauhan, David sudah memperhatikan Adam dengan wanita yang sangat ia kenal. David sudah berdiri agak kejauhan sejak Sheila memegang tangan Adam. Dan David yakin itu adalah Sheila, gadis yang ingin bertunangannya dengannya.
Sepertinya David sudah bisa mengambil kesimpulan. Bahwa, kenapa Adam sangat penasaran saat itu tentang Sheila. Yaitu karena Adam juga dekat dengan Sheila dan bahkan sepertinya memiliki perasaan lebih pada gadis berambut hitam legam itu.
David tersenyum mengarah kedua insan itu.
"Kenapa lo nggak jujur waktu itu Dam? Pasti lo sakit hati saat itu?" Ucap David pelan yang hanya akan bisa ia dengar sendiri.
***
Misyel mengunci pintu kamarnya. Saat ini, ia tidak ingin diganggu oleh siapapun. Misyel terduduk lemas di lantai dan bersandar sepenuhnya dengan dinding dekat tempat tidurnya. Misyel masih merasakan sakit pada hatinya. Misyel juga masih tidak percaya, bahwa Joni akan secepat ini pergi.
Padahal, pagi tadi jam lima subuh, Misyel masih sempat untuk mengunjungi kamar Joni yang hening dan hanya terdengar suara alat detak jantungnya. Misyel masih bisa memegang tangan Joni dan menyentuh permukaan wajah Joni. Misyel masih bisa untuk merasakan kehidupan yang sedang diperjuangkan Joni.
Tapi semua begitu cepat berubah. Tepat jam sepuluh pagi, Joni sudah menghembuskan napas terakhirnya. Semua yang tadi bisa dilakukan Misyel, menjadi tidak bisa lagi. Jika sewaktu-waktu Misyel rindu, ia hanya bisa melihat foto-foto Joni dan dirinya saat MOS dulu. Saat Joni dan Misyel memang benar-benar akrab dengan Joni saa itu.
Namun karena hal itu, Joni akhirnya bisa mennyukai Misyel.
Rasa bersalah menyelimuti Misyel. Seandainya saja ia mendengarkan Joni untuk pulang saat hujan mereda. Seandainya Misyel tidak usah menerima helm pemberian Joni. Seandainya Misyel mencoba menerima Joni tanpa memperdulikan hatinya. Tapi semuanya terlambat.
Kata seandainya menjadi angan-angan yang sudah terlambat.
"Maafin gue Jon." Ucap Misyel dengan bibir bergetar dan terus menangis.
***
Kevin duduk di sofa yang terletak di kamarnya. Ia menatap parau ke arah luar jendela kamarnya. Kevin terkenang sendiri karena kepergian Joni.
Saat Joni datang ke rumahnya hanya untuk mengatakan bahwa ia menyukai Misyel. Saat Joni dengan senyum lebarnya datang menghampiri Kevin hanya untuk mengatakan supaya dirinya dan Michel pergi setelah sepuluh menit berlalu. Saat Joni berusaha untuk memberi kode untuk pergi. Kejadian itu terus berputar di kepala Kevin. Dan betapa semangatnya Joni untuk mengungkapkan perasaannya.
Apalagi saat kebersamaan mereka. Satu-satu kenangan itu terulang di otak Kevin.
"Seharusnya gue nggak ninggalin lo saat itu," sesal Kevin dengan air muka sedihnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bad Girl Romance
Teen FictionSheila hidup dalam keluarga yang ia rasakan tidak humoris. Papa dan Mama Sheila sering kali bertikai, yang menyebabkannya dediksi. Hingga suatu hari, perusahaan yang dijalani Papa Sheila terancam bangkrut dan membutuhkan modal yang sangat besar. Su...