BAB 3

796 61 19
                                    

Dia bukan milik lo, kenapa lo marah?

====================================

Saat guru biologi tidak hadir dalam kelas, maka terbebaslah satu beban anak kelas XI-A4. Satu kelas bersorak ramai. Para penggosip mulai melancarkan aksi dengan membentuk lingkarang kecil, biar apa? Mungkin biar nggak kedengeran. Dan para siswa laki-laki sudah sibuk dengan ponsel mereka, ada juga yang ke kantin secara diam-diam. Tapi tidak dengan Davin, sedari tadi matanya tertuju kearah lapangan. Dari balkon lantai 3, memungkinkan untuk melihat seluruh penjuru lapangan. Davin tersenyum kecil melihat siswa perempuan yang mencoba men-dribbel bola asal dan gagal memasukan kedalam ring.

Giliran Kayla. Senyumnya makin merekah.

Kemudian badannya menegang. Senyumnya memudar. Davin langsung berlari kencang menuju lapangan. Dilompati setiap anak tangga sebisanya.

Sebelum menghampiri Kayla, ia atur nafasnya. Menyeka keringat yang berada didahinya. Saat dilihatnya Kayla mencoba untuk kembali men-dribbel bola, maka ia bertindak. Merebut bola paksa dan menuju guru olahraganya, Pak Rudi.

"Eh itu Kak Davin, kapten Basket."

Entah suara siapa itu. Niatnya berbisik, namun terdengar oleh pendengaran Kayla.

Kayla menatap punggung lelaki itu mengarah ke Pak Rudi.

"Ada apa ini Dav?" Nada suaranya tidak bersahabat, tatapannya seoalah mematikan.

Davin tidak memperdulikannya. "Bapak gimana sih? Siswanya jatoh malah dibiarin aja tetep ambil nilai?"

Pak Rudi sedikit mengkerutkan dahi "loh? Kan Kayla sendiri yang mau." Nada suaranya sedikit menurun.

"Ya tapi kan Bapak harusnya suruh dia buat obatin lukanya dulu." Dia menarik nafasnya sebentar, tak mau berlama berdebat "saya yang bakalan gantiin Kayla."

Pak Rudi nampak berfikir lalu mengangguk. "tapi bagaimanapun, nilai Kayla tidak akan sama dengan yang lain. Kamu itu kapten basket di sekolah ini."

Davin tersenyum puas "asalkan dapat nilai diatas 8, it's oke." Ucapnya santai, lalu berbalik kearah Kayla.

Kayla tidak tau apa yang mereka berdua bicarakan. Yang Kayla tau, sekarang Davin menggantikan posisi Kayla dan mencetak 5 angka.

Sempurna.

"Gila si Kayla, nggak ada Rakka eh ditolongin Davin."

"Ah gue mau deh jadi Kayla."

Selebihnya hanya berdecak kagum.

Setelah itu, Davin berlari kecil menghampiri Kayla. "Ayo ke UKS, itu luka lo harus diobatin."

Bagaikan kena sihir, Kayla mengangguk dan mengikuti langkah kaki Davin menuju UKS. Sesampainya, Davin membuka pintu UKS. Menahan pintu dan menyilahkan Kayla memasuki ruangan.

"Kenapa Kayla?" Dokter muda itu tersenyum, namun seketika senyumnya memudar saat melihat dagu Kayla yang berdarah "kenapa dagu kamu?"

Kayla menatap kearah Dokter Triana, "ah biasa dok, kalau jam olahraga pasti saya bikin drama mulu"

Dokter Triana menggeleng pelan "ya sudah kamu tiduran di brankar ya, biar saya lihat lukanya."

Kayla hanya mengangguk dan tiduran diatas brankar.

Ternyata luka Kayla tidak terlalu parah, walaupun membutuhkan dua jahitan. Setelah dokter menyarankan Kayla pulang tapi gadis itu tetep tidak mau dan memilih menunggu di UKS.

"Kak Davin balik aja ke kelas, gue nggak apa-apa. Lagian Kak Davin harus belajar kan?" Kayla pun memberikan senyumannya. Senyumannya yang membuat Davin candu.

Davin menegakan punggungnya yang dari tadi ia senderkan ditembok. Alisnya terangkat sebelah. Ditatapnya menyelidik. Oh Tuhan, tatapan mamanya. Mungkin turunan juga. Namun Davin langsung mengacak kasar rambut Kayla.

"Kalau nggak bisa main basket ngapain maksain sih?"

Kayla mendengus kesal. Tidak menjawab pertanyaan Davin. Cuma Rakka yang biasanya melakukan hal seperti ini. Cuma Rakka yang biasanya nolongin dia saat pengambilan nilai olahraga. Cuma Rakka yang tidak membiarkan dia jatuh. Tapi hari ini, cuma Rakka yang membuat Kayla mendapatkan dua jahitan.

Davin menyerah. Dia berjalan menuju pintu. Saat pintu dibuka, Kayla mengucapkan terimakasih. Sangat pelan suaranya. Namun cukup terdengar ditelinga Davin. Davin hanya mengangkat sebelah tangannya tanpa menoleh kearah Kayla dan keluar dari ruangan.

***

Rakka, tadi Kayla jatoh dilapangan pas ambil nilai basket, untung ada si Davin.

Hanya satu kalimat itu, satu kalimat yang sukses membuat Rakka yang baru saja masuk kelas langsung berjalan lagi keluar kelas. Jalannya dipercepat menuju dua kelas sebelahnya, XI-A4.

"Mana Davin?"

Satu kelas menahan nafasnya, melihat sesosok Rakka dikelas mereka.

Singa tidur dibangunin.

"Ngapain lo cari gue?" Suara lelaki dari arah belakang Rakka membuat ia membalikan badannya. Ditarik kerah Davin kemudian menyudutkannya dibalkon sekolah.

Tanpa disuruh anak kelas langsung bangkit dari kursinya dan mencari posisi yang pas untuk melihat pertunjukan.

Sorot matanya tajam. Rahangnya mengeras. Tangan kanannya sudah mengepal, siap kapan saja ia bisa melayangkan bogem mentahnya.

Pasti karena Kayla.

"Kalau aja lo nggak nyuruh gue buat anterin tuh formulir sialan, Kayla nggak akan jatoh!" Nada suaranya sangat tidak bersahabat.

Davin menyeringai, tidak sedikitpun merasa takut. "Lo harusnya makasih sama gue."

Rakka membalas dengan sikap acuh tak acuh "buat apa gue makasih sama lo?"

Davin mengangkat bahunya "setidaknya buat basa-basi. Lagian lo bukan siapa-siapanya Kayla. Kenapa marah sama gue?"

Seketika cengkraman tangan Rakka mengendur. "Oh gue tau, lo marah sama gue karena gue bisa nolongin dia kan?" Nada suaranya mengejek.

Suasana menegang. Tidak ada yang berani melerai. Mau cari mati mereka semua? Dikta yang bersahabat dengan mereka berdua aja lebih memilih menonton dari jarak aman.

Dirasa ucapannya memberi dampak ke Rakka, Davin lagi-lagi berkata "Ayolah Ka, semua orang juga tau-" Davin menggantungkan ucapannya lalu memajukan wajahnya mendekati telinga Rakka "-gue pahlawannya disini." menekankan setiap katanya.

***

Oh Hallo guys ❤

Menurut kalian, aku lebih baik nulis per-part-nya berapa kata?

Jangan lupa untuk vote vote vote dan comment ya shay!

Love, your author.

Jingga Dan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang