BAB 10

593 36 11
                                    

Dark side

====================================

Sudah gelas ketiga yang Rakka minum sejak ia datang ke club tersebut. Dentuman suara musik yang keras membuat kepalanya bergoyang mengikuti irama. Sesekali ia menatap arah lorong pintu masuk, menunggu seseorang yang sejak tadi tidak menampakan batang hidungnya. Ia lantas menyalahkan ponselnya, mencari nama seseorang kemudian menghubunginya.

Dering pertama, dering kedua, dering ketiga, dering keempat..

"Lo dimana? Buruan kesini anjir. Lelet lo. Iye iye. Sumpah ya cewek disini nggak ada yang bener. Jijik. Buruan bego." Sambungan pun terputus.

Rakka memesan segelas lagi, ia meminumnya dalam sekali tegak. Ia melihat lagi kearah ponselnya, membuka galerinya, melihat foto-foto lamanya. Tangannya yang sedari tadi ia gulirkan, terhenti. Sorot matanya berubah sendu. Hingga seseorang yang ditunggu datang menepuk pundaknya keras.

"Coba liat jamuran apa engga?" lelaki tu sedikit menarik bahu Rakka dan menyelidik dari atas sampa bawah.

Rakka sontak mendongakkan kepalanya, ponselnya ia masukan kembali ke saku celananya. Ia tersenyum miring.

"Sialan. Cabut yok ah. Gerah gue disini." Rakka berdiri.

Lelaki itu memasang wajah nelangsa, "gue belum minum apa-apa loh Ka."

Rakka tidak mengindahkannya, ia tetap berjalan menuju lorong pintu club tersebut.

***

Sedari tadi, Davin memfokuskan pikirannya untuk mengerjakan soal kimia-nya. Sudah dua jam ia bergelut dengan rumus-rumus elektrolit nya namun tidak ada satu nomor pun yanh terisi. Ia teringat lagi dengan ucapan Randy. Awalnya ia tidak ingin peduli, namun rasa bersalahnya kian hari kian menghantuinya. Davin mengusap wajahnya dengan kasar.

Tok tok tok

"Masuk aja nggak dikunci."

Terdengar suara pintu terbuka, kemudian terdengar suara langkah kaki yang semakin mendekat. Tangan halus yang sudah nampak keriput dimakan usia mengelus lembut puncak kepala Davin. Lalu turun, memegang kedua bahu anaknya dari arah samping.

"Kamu nggak mau makan?" tanyanya lembut.

Davin menggeleng, tatapannya tidak dialihkan dari buku tulis kimia-nya yang masih kosong.

Perempuan paruh baya itu menghela nafas pelan, ia berjalan menuju tepi ranjang Davin. Duduk dan menatap punggung anak lelakinya.

"Mama kok nggak pernah liat kamu main sama Rakka lagi sih Dav?"

Sesaat raut wajah Rakka nampak kaget, namun ia langsung memasang wajahnya seperti biasanya. Ia membalikan badannya, menatap kearah Tania, ibu nya.

"Sibuk Ma, tapi kita masih suka main basket bareng kok disekolah." Walaupun ada kebohongan, tapi setidaknya main basket memang benar adanya, walaupun mereka tidak bisa sedekat dulu.

Tania menatap Davin cemas, seperti tidak percaya dengan ucapan anak bungsunya. Akhirnya ia berdiri, mengelus puncak kepala anaknya sekali lagi dan berjalan keluar kamar Davin, namun sebelum ia membuka kenop pintu, langkahnya terhenti, tubuhnya berbalik. Davin masih menatapnya.

"Kapan kamu tanding?"

"Minggu depan Ma," ia menarik nafasnya pelan. "Davin nggak akan lupa untuk ke makam Papa dulu." Ucapnya penuh rasa sesal.

Tania tersenyum. Matanya sedikit berkaca-kaca. Lalu ia menghilang dibalik pintu.

Davin membalikan badannya lagi menghadap meja belajarnya. Andaikan Papa masih disini, Davin nggak akan ngelakuin hal-hal yang bodoh. Dan sampe sekarang pasti hidup Davin akan baik-baik aja sama seperti tahun lalu. Tanpa rasa sesal, batinnya.

Ia melirik bingkai foto yang terletak disudut meja belajarnya. Nampak tiga wajah dengan muka yang dipasang se-idiot mungkin. Nampak polos dan bahagia. Davin kangen masa-masa itu. Masa-masa awal SMA-nya di mulai. Tanpa sadar Davin tersenyum tipis.

***

Kayla keluar kamarnya menuju ruang tengah, ia menjatuhkan badannya diatas sofa, matanya terpejam hingga ia merasakan seseorang duduk disampingnya. Aroma pria yang ia sudah hafal membuatnya mendekatkan tubuhnya, memeluk lengan pria seraya menyenderkan kepalanya dibahu pria tersebut. Pria itu tersenyum dan mengelus puncak kepala Kayla lembut.

Ardan berdehem sebelum membuka mulutnya, "Kay," ada jeda sebentar sebelum ia melanjutkannya sementara Kayla hanya terdiam menunggu sang Papa melanjutkan pembicaraannya. "Papa dipindahin tugas ke Makassar."

Kayla dengan cepat menarik tubuhnya, memandang Ardan dengan raut wajah yang nampak kaget. Ia mengerutkan keningnya, "terus maksud Papa kita semua pindah?"

Ardan membetulkan posisi duduknya, "Papa nggak maksa kamu buat ikut, lagian juga Mika kerja di Jakarta."

"Kak Qwin ikut?"

Ardan menggeleng, "Quenna dapet beasiswa ke Aussie. Kemungkinan hanya Papa dan Mama, juga kamu kalau kamu ingin ikut."

"Kenapa harus Papa?" matanya memerah, dadanya bergemuruh.

"Papa kan pernah bilang sama kamu, setelah Papa naik jabatan Papa akan dimutasi ke luar kota untuk beberapa tahun."

Ya, Kayla ingat itu. Tapi kenapa harus sekarang? Disaat Kayla sedang mencari kebahagianya yang sempat terampas. Disaat Kayla ditinggal orang yang begitu berarti dalam hidupnya. Sungguh, Kayla tidak baik-baik saja saat ini.

Kayla hanya diam, ia tidak menjawab. Ada setetes bulir air matanya yang terjatuh ke pipinya. Ia berdiri dan beranjak kedalam kamarnya. Ardan memejamkan matanya. Menyadari ia telah membuat kecewa anak kandung satu-satunya.

Kayla menenggelamkan kepalanya dibawah bantal, tangannya meraba-raba mencari ponselnya diatas nakas. Ia menggulir ponselnya mencari nama seseorang. Tapi tak ada jawaban hingga ia berkali-kali menghubungi. Kayla melempar ponselnya putus asa. Ia bangkit dan berjalan menuju meja belajarnya. Duduk dikursi dengan memeluk lututnya.

"Lo kemana? Gue butuh lo.." ucapnya lirih sambil terus mengeluarkan air matanya.

***

Aku pengen update, makanya nggak nunggu hari rabu.

Ini bab yang menurut aku secara ngga jelas ngasih tau sisi-sisi buruk mereka. Rakka yang ternyata alcoholic, Davin yang punya penyesalan tersendiri, dan juga Kayla yang terlihat ceria padahal hatinya rapuh.
Dan nanti, di bab-bab selanjutnya kalian akan lebih tau konflik mereka.

Jingga Dan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang