Bab XXXIV. The Last Wishes

860 94 9
                                    

Sebuah ruangan gelap ukuran 4×4 m menjadi tempat dua orang berkumpul. Seorang gadis dengan rambut bergelombang panjang biru menatap seorang pemuda berambut hitam kebiruan dengan lembut, begitu pula sebaliknya. Dibelainya wajah sang gadis membuatnya tersenyum.

"Kau sudah besar, Ai-chan!" kata pemuda itu.

Aiko mengusap wajahnya. "Maafkan aku, Oniichan. Aku tidak bisa menyelamatkanmu--dan juga diriku."

"Hei, hei!" Pemuda yang tak lain adalah Tsuya memanggilnya pelan. "Semua akan baik-baik saja, Ai-chan. Tak ada yang perlu kau sesali atau kau tangisi. Pada akhirnya, semua itu akan berakibat baik padamu."

"Jika seandainya begitu, Niichan." Aiko menggigit bibirnya. Butiran air mata mulai mengalir dari pelupuk matanya.

Tsuya mencoba menahan air mata yang memberontak ingin mengalir di pipinya. Namun, ia tidak bisa begitu melihat adik kesayangannya melepaskan isakannya. Tangannya bergerak dan menepuk pundak sang adik untuk menenangkannya.

"Dengarkan aku, hei! Kau... harusnya tidak melalui semua ini. Hanya karena kebodohanku... kau harus melalui... semua ini. Kesalahanku ini--kau juga yang melaluinya," kata Tsuya seraya mengusap wajahnya.

Aiko tak tahan lagi. "Bagaimana... pendapat ayah... jika bertemu kita?"

Tsuya menggelengkan kepalanya. "Aku tak yakin."

Keduanya menangis dan mencoba menenangkan satu sama lain. Dari balik jendela yang luarnya tak terlihat, Vaniel bersandar di dinding dengan memijat pelipisnya. Ia benci melihat semua ini. Bukan benci melihat orang lemah hingga menangis, namun benci karena dirinya tidak bisa menyelamatkan dua penyihir yang juga andalannya di sana.

"Ayah... apa yang kulakukan salah?" gumam Vaniel.

Hari ini adalah hari terakhir di mana kesempatan Tsuya untuk bebas dari hukuman eksekusinya. Itu juga berlaku untuk Aiko. Namun sampai sekarang, belum ada berita dari Seo Byul. Padahal Vaniel sudah meminta gadis itu untuk mencari keberadaan Warren. Ia yakin bahwa Warren adalah satu-satunya cara untuk menghentikan eksekusi.

Gadis itu belum kembali dan itu membuatnya cemas. Jika Tsuya dan Aiko sampai dieksekusi, tamatlah riwayat kaum penyihir.

"Tuanku," panggil seorang lelaki berusia tiga puluh tahun ketika ia membuka pintu dan memasuki ruangan di mana Vaniel berada.

"David, ada apa?" tanya Vaniel.

"Perhitungan sudah dimulai. Perkiraan malam suci sudah terlihat dari pergerakan bintang. Para pengamat sudah bisa memperhitungkan dan memperkirakan kapan malam suci abad ini," ujar David.

Vaniel menghela napas. "Kapan itu?"

"Perkiraan dua sampai empat hari dari sekarang," balas David.

Yang diajak bicara mendengus dan menyedekapkan tangannya. "Apa Seo Byul belum datang?"

"Belum, Tuanku. Perlukah saya kejar?"

"Tidak perlu!" Vaniel memejamkan matanya. "Tak kusangka akan seperti ini, David. Kita semua tahu jawabannya jika sudah seperti ini."

David memainkan jemarinya dan menunduk. "Mohon maaf, Tuanku. Saya baru mau menyampaikan hal penting dari Dewan Persidangan Penyihir."

"Mmm? Apa itu? Aku yakin tidak jauh dari yang waktu sidang Tsuya itu," tebak Vaniel.

"Ini memang tentang Tsuya-sama. Para dewan memberi tambahan waktu. Jika sampai malam suci Seo Byul belum datang, eksekusi akan dimulai. Jadi, batas waktunya adalah sampai sang algojo mengangkat Pedang Kematian," jelas David.

Loctus : The Wizard Century - 2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang