Prolog

2.8K 169 4
                                    

New York, 15 Agustus 2016, 23.50

Drap! Drap! Drap!

Seorang gadis berlari di tengah hujan lebat yang melanda New York. Dinginnya udara tidak dihiraukannya. Ia hanya memedulikan satu hal.

Tin! Tin!

Sebuah mobil melaju nyaris menabraknya. Dengan sigap, ia menghindar walaupun mendapat omelan dari pengendara mobil itu.

"Hei, punya mata, tidak?! Lihat baik-baik!" bentaknya.

Gadis itu mengangguk pelan. Rambut panjangnya yang basah menutupi sebagian wajahnya. Pengendara itu terdecak dan menginjak gas, membiarkannya terciprat oleh genangan.

Bodoh! Manusia bodoh! Gadis itu kembali berlari.

Tak tahukah kalian, para manusia?

Kalian benar-benar memiliki ego yang tinggi. Tidak berperasaan, tidak ingin menderita, dan tersenyum penuh kemenangan di atas penderitaan orang lain.

Kalian akan tahu rasanya apa itu cinta, jika kalian benar-benar kehilangan apa yang kalian cintai.

Dan aku, tidak akan membiarkan itu terjadi!

Sebuah bangunan tua kosong menjadi sasaran gadis itu. Ia memasukinya dan melihat sekeliling.

"Hei! Aku bawa yang kau mau! Sekarang, lepaskan mereka!" teriak gadis itu.

Asap hitam muncul di bawah cahaya bulan. Sesosok pria bertudung hitam mulai terlihat di depannya dengan seringai mulus di wajahnya.

"Baguslah kau datang!"

Gadis itu menatap pria bertudung hitam tadi dengan tajam. "Di mana orang tuaku?!"

"Tenanglah, mereka di sini!" balas pria itu. Ia mendekat dan mengulurkan tangannya. "Berikan dulu penyangganya!"

"Maaf!" Gadis itu melangkah maju. "Aku ingin melihat keduanya sebelum memberikannya padamu! Mana orang tuaku?!"

Pria itu tersenyum sinis. Dua orang bertudung lain muncul dengan keadaan menyandera seorang pria dan seorang wanita.

"Ayah! Ibu!" teriak gadis itu.

Kedua orang tuanya berusaha meronta. Tatapan gadis itu menjadi marah. "Lepaskan kedua orang tuaku!"

"Baiklah, akan kulepaskan!" katanya lirih. "Tapi dengan catatan, berikan penyangganya dan akuilah bahwa kau bersedia disalahkan oleh bangsa penyihir."

Gadis itu mengeratkan kepalannya. "Kau tahu ini tahun apa?"

"Mana ada orang yang tidak tahu? The Blue Moon For All Wizards, di mana akan muncul bulan biru yang dikhususkan untuk penyihir. Bulan yang hanya muncul sekali dalam satu abad dan amat dinantikan oleh kalangan penyihir. Oleh karena itu biasa disebut... Abadnya Para Penyihir."

Senyum jahat pria itu tidak hilang tatkala cahaya petir menembus jendela di bangunan itu. Gadis itu terdiam, semakin erat kepalannya, semakin besar pula amarahnya.

***

Tokyo.

Gedung-gedung tinggi yang menjulang menutupi sinar mentari yang hendak menembus masuk ke salah satu gorden kamar seorang gadis. Ia mengerjap. Kamarnya berantakan dan teleponnya terus berdering, memaksanya beranjak untuk mengangkat benda mati yang berisik itu.

"Moshi-moshi!" katanya dengan suara serak.

Beberapa saat setelah mendengar suara dari seberang, matanya membulat sempurna.

"Hmm, aku akan ke sana. London, 'kan? Aku akan tiba malam ini."

Ia menutup teleponnya dan menghela napas.

Bahaya...

***

Hai, selamat datang di prolog dari sequel Loctus : The Wizard Century. Aku harap kalian bisa menikmatinya😁

See you next time!

Loctus : The Wizard Century - 2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang