Chapter - 5

1K 43 0
                                    

Pagi ini aku mencoba untuk keluar dari pondok. Selama tiga hari aku hanya berbaring, duduk, dan sedikit bercakap-cakap dengan pria itu yang menganggap dirinya adalah suamiku. Dengan agak menyeret kakiku, aku paksakan melangkah keluar, meninggalkan pondok itu untuk berjalan sekitar seratus meter. Aku duduk dibatu besar dekat pohon rindang yang memayungiku dari teriknya sinar matahari pagi.

Indah, mataku memadang hijaunya semak belukar yang tak jauh di sekitarku. Ada juga tanaman bunga. Dan mataku tertuju pada pot-pot bunga yang kelihatan terawat tak jauh dari pintu keluar pondok. Sepertinya ada yang sengaja merawat tanaman pot bunga itu, apa si pria itu? Aku berfikir mungkin pemilik pondok itu sebelumnya.

Dari luar pondok itu terlihat terawat sekali. Di dalam pondok itu juga terawat, bersih dan sedikit ada perabotan memasak. Tapi mataku tidak melihat adanya kompor selama tiga hari menempati pondok itu. Pria yang bernama Morran itu selama tiga hari memberikan makanan buah-buahnya dan kemarin baru memberikan nasi bungkus. Kalau untuk mandi aku cuma membilas badanku dengan air bersih dua ember yang disediakan Morran.

"Aku mencarimu kemana-mana tadi. Tak tahunya kamu duduk disitu. Apa kamu sudah kuat berjalan? Kakimu sudah tidak nyeri lagi,"? suara serak Morran membuat Wina monolehkan kepala ke samping dan melihat Morran yang sedang berjalan semakin dekat ke arahnya.

"Sudah mendingan, harus aku gerakan biar otot-ototnya lemas, tidak kaku lagi. Ohya apa kamu sudah bisa menghubungi keluarga kita Morran? Wina berucap memanggil sebutan untuk pria itu untuk pertama kalinya.

"Aku belum dapat memperoleh handphone. Ohya aku sudah mendapatkan sedikit makanan untuk kita hari ini. Aku sudah menemukan sebuah perkampungan yang padat penduduk lagi. Dari tempat kita berjarak kurang lebih dua kilometer. Banyak penduduk yang merasa prihatin kepada kita setelah aku menceritakan tentang kita. Aku sekarang sudah mendapat pekerjaan, hanya bantu-bantu seorang pedagang di pasar. Lumayan upahnya bisa buat makan kita sehari hari," Ucap Morran panjang lebar disertai senyuman.

Wina hanya terdiam. Mencerna ucapan Morra. Disyukuri saja dirinya masih bisa hidup dalam kecelakaan itu. Selanjutnya butuh proses untuk kembali ke kehidupannya yang normal.

"Morran, aku ingin bertanya?"

"Ya sayang," Morran menyahut.

"Sebelum terjadi kecelakaan itu apa pekerjaanku dan pekerjaanmu? Apa kita sudah saling mengenal dan memiliki hubungan sebelum kita menikah?"

Morran terdiam sesaat. Bingung apa yang harus diucapkan sejenak. Dia belum membuat skema jawaban untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan dilontarkan oleh wanita yang ada disampingnya ini.

Morran langsung berfikir, otaknya bekerja extra cepat sambil mendudukkan dirinya di sebuah batu yang tak jauh dari Wina.

"Sebelum menikah kita memiliki hubungan setahun. Aku seorang CEO di perusahaan ayahku dan kamu seorang karyawati ditempat ku bekerja. Kita bertemu pertama kali saat tak sengaja aku menabrakmu di lobi. Dari situ aku langsung mencari tentang dirimu. Selanjutknya aku selalu mendekati dirimu meski seolah olah kau selalu menyingkir saat aku selalu mendekatimu."

Sambil bercerita Morran membuang pandangangannya matanya ke arah lain, tidak sekalipun dirinya berani memadang Wina. Takut wanita itu akan melihat kebohongan yang mungkin nampak di matanya.

"Aku terus mengejarmu sampai kamu lelah dan akhirnya kamu mau menerima aku menjadi pasangannmu. Simpel saat aku mendengar pengakuanmu kalau kamu tidak mau berhubungan dengan seorang pria yang masih satu kantor dengannmu." Lanjut Morran.

Wina mendengar dengan sedikit berfikir, apa semua yang diutarakan Morra benar adanya atau ada yang disembunyikan. Terlihat sesuatu yang entah mengapa hati Wina tidak bisa mengakui yang Morran ucapkan barusan.

"Aku mau besok pergi ke daerah perkampungan yang kamu bilang tadi Morran, apa kamu bisa mengantarkan aku kesana ? " Wina mencoba mengalihkan pembicaraan karena dirinya sudah mulai tak peduli dengan masa lalunya. Sudah berhari-hari berdiam diri di pondok sambil mengingat-ngingat masa lalunya dan ternyata hasilnya nihil.

"Aku akan mengantarkanmu sayang, tapi setelah kau cukup kuat berjalan jauh, aku janji. Sekarang ayo kembali ke pondok. Kita makan siang bersama, " Morran mengulurkan tangannya dan Wina menyambutnya. Perlahan hati Wina berdetak kencang, tak tahu apa yang dia rasakan saat berdekatan dengan Morran.

Mulai saat ini Wina mencoba membuka lembaran baru tanpa melihat ke masa lalu. Masa depan ada bersama seorang yang sedang memeluk tubuhnya saat ini.

**

Hari berlalu dengan lambatnya. Sudah hampir seminggu Wina masih di pondok, belum bisa keluar jauh-jauh. Kakinya akan merasa nyeri kalau dia berjalan jauh. Kemarin Morran sempat mengajaknya jalan-jalan keluar pondok. Baru berjalan sekitar lima ratus meter kakinya sudah terasa nyeri.

Kedekatan Wina terhadap Morran semakin erat takkala Wina melihat kesabaran dalam diri Morran dalam merawat dirinya. Keceriaan telah menyerbu hatinya. Semakin hari Wina semakin bisa menerima Morran sebagai suaminya. Sepertinya kebersamaan yang mereka ciptakan seperti sudah terjalin sebelumnya.

Setiap hari Morran selalu berangkat subuh ke pasar perkampungan dan pulang siang hari. Rasanya Wina merasakan hal ini sebagai bulan madu yang indah meski bukan bulan madu seperti pada umumnya. Meski sampai sekarang dia belum siap menyerahkan dirinya pada Morran. Dan Morran sangat bersabar untuk tidak meminta haknya sebagai suami untuk saat ini.

Setiap hari mereka tidur saling berpelukan didipan yang sempit. Kehangatan tercipta karena setiap malam Wina merasa kedinginan meski sudah berselimut dan Morran membuat api unggun di luar pondok.

Hari masih pagi, dilihat dari luar masih tampaklah gelap. Morran menggeliatkan badannya. Berasa remuk tulangnya karena tidur didipan yang sempit. 

Tapi dia tidak akan merasakan hal tersebut  karena dia sangat suka tidur berpelukan, berhimpitan dengan Melisa-nya. Nama yang diberikan untuk wanita yang sekarang dipeluknya itu. Tiap hari dirinya bisa mencium bau tubuhnya, mengendus lehernya dan mencium bibirnya walau cuma sebatas mengecup saja.

Dilihatnya Melisa-nya bergelung rapat pada tubuhnya yang hangat membuat dirinya jadi bergairah. Cantik saat melihat wanita itu tertidur, bulu mata yang lentik dan kulit bersih yang kenyal berkilauan.

Sesaat Morran menyapukan jemarinya ke wajah Wina, merapikan rambut yang menutupi wajahnya. "Maafkan aku, tapi aku sepertinya tak akan pernah melepaskanmu." Morran bergumam pelan.

Morran semakin mengeratkan pelukannya. Dia tak bisa menahan dirinya lagi untuk menyatukan dirinya dengan Wina. Dia ingin mencicipi tubuh wanita ini sekarang, rasanya sudah tak bisa menahannya lagi. Dan itu benar-benar harus sekarang, saat ini dirinya tidak mau menunggu lebih lama lagi.

Wina yang merasa tubuhnya diraba Morran, matanya membuka seketika dan melihat Morran yang sedang menatapnya dalam diam.

** to be continue,... Happy Reading 

Mengapa Aku (MA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang