"Aku harap kalian bertingkah layaknya orangtua yang sangat merindukan anak gadisnya," ucap Morran saat mengakhiri pertemuan itu dan meninggalkan tempat yang disewanya sementara untuk kedua orang tersebut.
Di hari minggu pagi akhirnya Morran mengajak Wina untuk bertemu kedua orang tuanya. Melihat raut muka Wina yang bahagia membuat hati Morran terasa teriris. Kebahagiaan semu yang ditampilkan kedua pasangan orang tua tersebut tiba-tiba membuat dadanya sakit.
Hatinya tak kuat menahan. Tangannya mengepal, dia tak bisa mengendalikan diri lagi. Hasrat untuk berteriak sudah tak bisa dibendungannya lagi. Dengan tiba-tiba tangannya menonjok dinding yang ada disampingnya. Darah menetes dari luka di sela-sela rusa ruas jarinya.
"Aakh". Suaranya terdengar keras sampai semua mata yang ada di sekitarnya memandangnya kaget.
"Morran!" Wina terkesiap atas tindakan tiba-tiba Morran itu. Kaget bercampur rasa takut. "Kau kenapa sayang ?"
Morran dengan tiba-tiba meraih, merengkuh tubuh Wina dengan eratnya. "Maafkan aku. Maafkan aku," bisiknya di telinga Wina.
Wina terdiam mematung. Semenjak mereka sudah berada di Jakarta, perilaku Morran sangat aneh baginya. Dari pagi hari ini, gerak geriknya seperti orang bingung. Auranya nya bukan seperti Morran yang dia kenal seperti saat di pondok. Wina mengusap punggung Morran perlahan. "Kamu baik-baik saja kan?"
Morran tersentak kaget, dirinya terlalu terbawa emosi yang tak bisa dibendungnya tadi. Pertahanannya runtuh seketika saat melihat Melisa-nya tersenyum hangat menyambut kedua orang tuanya.
Dia sebenarnya tak bisa, tak kuat mengatakan hal sebenarnya pada Wina. Dia tak ingin Melisa-nya nanti akan kembali pada tunangannya. Sangat terpaksa dirinya melakukan sandiwara ini. "Maafkan aku, tiba-tiba hatiku sakit saat melihat kau menangis bersama kedua orangtuamu." dustanya.
"Sudahlah. Semua telah terjadi. Yang penting saat ini kau sudah bersamaku. Biarlah, aku rela mulai saat ini aku tak bisa mengingat masa lalu. Kita buka lembaran baru lagi ya sayang. Aku sangat berterimakasih kau akhirnya membawaku ke Jakarta lagi dan bisa bertemu kedua orangtuaku." Wina menenangkan Morran dengan seulas senyum.
Morran langsung tersenyum saat melihat senyum Wina seraya menunjukkan ruas-ruas jari tangannya yang terluka itu pada Wina sambil berucap "Kau bisa mengobatinya," pintanya muram.
"Ya sayang, sini" sahut Wina sambil mengajak Morran untuk duduk di sofa ruang tamu rumah itu.
Mereka akhirnya menginap di rumah orang tua Wina. Tampak dilihat dari luar keluarga itu terlihat harmonis namun siapa sangka didalamnya penuh misteri kebohongan. "Maafkan aku Wina" lirih Morran dengan wajah yang tertunduk lesu.
**
"Morran, sebenarnya seperti apa masa lalu ku? Maksudku teman-temanku, lingkunganku. Terus kejadian apa yang paling berkesan saat kita berpacaran dulu ?" Morran tersedak makanannya saat Wina menanyakan banyak hal tesebut. Segera ia meminum segelas air putih yang di sodorkan Wina untuknya.
Sehabis pulang dari rumah orangtua Wina di hari berikutnya mereka mampir makan siang di sebuah restoran. Saat ini Morran selalu bersikap waspada. Dalam hatinya berharap semoga tak ada yang mengenali Wina.
"Kau lupa sayang, katanya kau tak ingin mengingat masa lalu itu. Nanti kamu bertambah terluka dengan semua itu. Kita fokus untuk aktivitasmu nanti kedepannya bagaimana? Apa yang kau ingin lakukan?" Morran berusaha mengalihkan topik pembicaraan itu seraya memandang sekeliling restoran, berharap tak seorangpun yang akan mengenali Wina. Bola matanya selalu melirik ke kanan kiri.
"Kenapa matamu selalu melirik kanan kiri sayang? dari tadi aku memperhatikanmu. Apa ada sesuatu yang mengganggumu?" Wina mengedarkan pandangannya ke sekeliling restoran.
Dan dirinya merasa beberapa orang menatap ke arah mereka, tepatnya menatap dirinya. Wina merasa aneh dari tatapan mereka. "Kenapa mereka menatap diriku Morran? apa ada yang salah denganku? Tatapan mereka terasa aneh. Mereka melayangkan senyum saat melihatku."
Morran tak memedulikan apa yang diucapkan Wina. Dirinya malah langsung memanggil salah satu pelayan untuk membayar tagihan pesanan makanan mereka. Setelah itu dengan segera mengajak Wina keluar dari restoran itu.
Wina yang tiba-tiba belum siap merasa kaget saat Morran menarik tangannya dengan cepat. Segera dia berjalan menyamai langkah lebar Morran.
Wina juga merasakan genggaman tangan Morran yang terasa sangat erat ditelapak tangannya. "Aku belum selesai makan, kau sudah menyeretku keluar," gerutu Wina. "Ada apa denganmu?"
Morran terdiam dan menghela nafasnya sesaat. Di normalkan detak jantungnya yang sejak di restoran tadi berdebar kencang.
Kondisi restoran tadi yang sudah tak aman bagi mereka. Besok akan dia pastikan Wina tak akan tinggal di Jakarta lagi biar masa lalunya tak bisa menghantuinya. Biarlah Wina amnesia selamanya.
Tak akan rela jika Melisa-nya akan pergi dari hidupnya. Tak akan dibiarkan jika wanita itu jatuh ke pelukan tunangannya lagi.
Dilangkahkan kakinya cepat menuju parkiran mobil. Saat akan membuka pintu penumpang untuk Wina, suara yang sangat dikenalnya membuatnya tersentak. Mendongak pada seseorang yang tak jauh berdiri dari sampingnya.
"Hai Morran. Benarkah kau Morran,?,.
---- to be next continue---
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengapa Aku (MA)
RomanceApa yang harus dia lakukan saat mengetahui bahwa yang selama ini dia anggap sebagai suami ternyata bukanlah suaminya --- Wina Abraham--- Dia pasti menjadi milikku selamanya meski aku raih dengan cara kelicikan. Wanita itu membuatku selalu merasa b...