Di sore hari menjelang malam itu, Wina memaksakan Morran untuk mengantarnya ke pasar perkampungan sebelah. Ada pasar malam hari itu yang sedang diadakan minggu ini yang hanya lima hari berlangsung.
Setelah hampir sebulan terkurung di pondok dan hanya bertemu manusia yang tak lain adalah yang dia anggap sebagai suaminya itu, Wina merasakan hati, mood menjadi lebih baik. Melihat orang-orang baru, anak-anak yang sedang bermain, berlarian sana sini membuatnya tersenyum sendiri, melupakan kesedihannya sejenak.
"Kenapa kamu senyum sendiri sayang?" Morran yang dari tadi melihat tingkah Wina tersenyum kecil di sudut bibirnya. Kelakuan wanita ini sungguh menggelikan, lucu di matanya seperti anak kecil yang seperti baru mempunyai mainan baru lagi.
"Cuma senang saja saat bisa melihat semua ini," ucap Wina sambil merentangkan tangannya dan menoleh ke arah Morran memberikan senyuman termanisnya.
Wina berjalan dengan riangnya mengitari, mengelilingi pasar malam yang tak terlalu luas itu. Ada beberapa wahana permainan anak-anak, para pedagang kaki lima yang bejejer rapi memperdagangkan dagangannya.
Ada pedagang baju, boneka, hingga penjual makanan dan minuman. Bermacam-macam camilan khas daerah setempat disuguhkan oleh para pedagang itu. Warung-warung lesehan beratap tenda terlihat tak jauh dari wahana permainan yang menyajikan berbagai masakan. Hal itu jadi menggugah selera para pengunjung untuk mampir ke warungnya karena wanginya sampai tercium.
"Melisa, harusnya kamu di pondok saja. Kesehatanmu belum pulih benar. Nanti takutnya malah kondisi kamu akan semakin memburuk. Disini tak ada dokter spesialis seperti di kota sayang," Bujuk Morran tadi sore sebelum mereka akhirnya berangkat ke pasar malam.
"Ayolah, hari ini saja. Aku bosan di pondok saja," rengek Wina langsung menampilkan raut mukanya yang cemberut pada suaminya.
Akhirnya dengan rayuan wanita itu, Morran mengabulkan permintaan Wina untuk mengajaknya ke pasar malam meski perjalanan membutuhkan waktu hampir tiga jam dengan berjalan kaki dari pondok. Morran tak tega mendengar rengekan Melisa-nya. Apapun akan dia penuhi asal wanitanya senang.
Melihat Melisa-nya bertingkah seperti anak-anak itu membuat hatinya berbunga-bunga. Dia akan bahagia melihat wanita itu bahagia. Morran merasakan sesuatu yang belum pernah dia rasakan saat bersama Sonya dulu.
Entahlah dia tak tahu apa itu namanya. Ahh memikirkan Sonya membuat moodnya kembali sedih. "Sudah. Lupakan Morran, wanita itu sudah pergi jauh darimu," batin Morran berbisik.
Dilihatnya lagi Melisa-nya sedang memperhatikan salah satu wahana permainan. Bianglala itu dipenuhi anak-anak dan ada juga beberapa orang dewasa yang menaikinya, menemani anak-anak yang masih bocah itu. Mereka semua terlihat dengan riangnya berteriak sambil tertawa keras.
"Lihatlah Morran, rasanya aku kepingin ikut naik seperti mereka. Aku tak takut ketinggian, tapi,." Wina mengangkat bahunya. "Pasti kamu tak akan mengijinkan karena kondisiku," lanjutnya.
Morran menggelengkan kepalanya pelan. Melihat Melisa-nya menampilkan mimik muka cemberut, kekecewaan pasti dirasakan wanita itu. "Suatu saat aku akan mengajakmu naik bianglala tapi jangan sekarang ya, " rayunya.
"Aku senang melihatmu seceria tadi. Senyum lagi jangan langsung cemberut gitu," kata Morran sambil merengkuh tubuh Wina menempel pada tubuhnya.
Wina langsung merubah mood nya dan tersenyum tiba-tiba sambil menelusupkan kepalanya didada Morran tanpa peduli di sekitarnya.
"Apa kamu lapar? Aku akan membelikan kamu makanan tapi tak ada makanan mewah disini pastinya," ucap Morran sambil mencoel pipi Wina dengan manja.
"Aku belum terlalu lapar, sekarang aku hanya butuh camilan. Bisa kah kau belikan kacang rebus saja dulu. Aku kepingin makan camilan sambil menatap langit-langit malam yang indah ini."
Setelah membelikan dua kacang rebus Morran langsung mengajak Wina duduk beralaskan rumput yang tak jauh dari pasar malam tersebut.
"Sepertinya kita seperti remaja lagi kalau seperti ini. Ini ngedate namanya". Wina terkekeh saat berucap dan langsung merebahkan kepalanya didada Morran sambil memakan camilan kacang rebus itu.
"Eemhnn,..," gumam Morran hanya mengangguk tak terlalu menanggapi omongan Wina.
Fikirannnya saat ini sedang berkecambuk. Tadi pagi kaki tangan ayahnya, Bastian mengabarkan berita bahwa ibunya sedang sakit. Ibunya menginginkan Morran kembali ke Jakarta lagi.
Saat ini dirinya bingung langkah apa yang seharusnya dia ambil. Bagaimana selanjutnya dengan wanita yang ada di sampingnya ini? Entah mengapa dia tak akan pernah bisa meninggalkan Melisa-nya. Terlalu berharga untuk ditinggalkan.
Kembali Morran mengingat percakapannya dengan Bastian tadi pagi via telepon.
"Papamu menyuruh kamu kembali ke Jakarta selamanya Morran. Ibumu sakit, dirawat hampir satu bulan. Sebelum jatuh sakit ibumu selalu menanyakanmu. Kamu jarang mengabari keadaanmu. Kenapa kamu tidak mau pulang sekarang?"
"Aku akan memikirkannya, saat ini aku tak bisa langsung terbang ke Jakarta,"
"Kenapa?
"Nanti aku akan cerita,"
"Hei, kau melamun,,." Wina menepuk pipi Morran dengan pelan.
Morran mengedipkan matanya sesaat kembali ke masa sekarang. Senyuman Morran berikan untuk menunjukkan kepada Melisa-nya yang sedang mengamati raut mukanya itu dengan serius. Morran menggelengkan kepalanya. "Aku tak apa-apa sayang,"
"Kau bohong. Fikiranmu sedang tak disini kan? Kau memikirkan sesuatu? Tadi aku melihatmu sepertinya ada sesuatu yang kau sembunyikan. Apa kau tak mau memberitahuku? Apa itu tentang kita atau keluarga kita?"
Morran menggelengkan kepalanya lagi. "Keluarga kita baik-baik saja sepertinya. Sampai saat ini aku belum bisa mengabari mereka. Aku hanya berfikir sampai kapan kita akan terjebak dalam situasi seperti ini. Aku harus segera mendapatkan ponsel," dustanya.
Sesaat setelah mengatakan hal tersebut, Mata Morran terbelalak lebar seketika.
Tak sengaja dia membaca suatu berita yang tertulis di kertas pembungkus kacang rebus yang yang dibelinya tadi. Hal itu langsung membuatnya tertegun sejenak. "Oh Tuhan," batinnya. Dia tak boleh membaca ini. Aku harus segera bertindak.
Tinggalkan jejak,..to be next continue.,,
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengapa Aku (MA)
RomanceApa yang harus dia lakukan saat mengetahui bahwa yang selama ini dia anggap sebagai suami ternyata bukanlah suaminya --- Wina Abraham--- Dia pasti menjadi milikku selamanya meski aku raih dengan cara kelicikan. Wanita itu membuatku selalu merasa b...