09. Terbius

384 37 0
                                    

Udara dingin menyambut kedatanganku. Hembusannya mampu membuatku bergidik, merasakan sensasinya yang luar biasa. Aku menggosok-gosokan kedua telapak tanganku. Sesekali meniup-niupnya untuk sedikit menghangatkan tanganku yang terasa kaku.

"Nanti malam siapkan baju hangat kalian. Kita akan mengadakan acara api unggun di halaman depan. Villa ini khusus untuk kalian berempat. Sedangkan yang lain ada di depan," jelas Edvan sambil mengangkat ransel kita satu persatu.

Aku mengamati pemandangan sekitar Villa. Begitu sejuk dan cukup menenangkan. Tidak ada suara bising seperti yang setiap hari kutemukan pada jalanan Ibu kota, dekat Caffe. Di sini benar-benar cocok untuk dijadikan tujuan berlibur.

Desy dan Widi sudah lebih dulu masuk, berlari menuju kamar yang berada di lantai bawah. Sedangkan aku justru lebih menikmati untuk mengamati barang-barang yang mengisi Villa. Seperti kursi yang terbuat dari kayu jati. Juga lantai yang bukan terbuat dari keramik.

Villa ini tidak bisa dibilang besar, tapi cukup membuat nyaman. Lantai satu dikhususkan untuk tempat makan dan dapur. Lantai bawah, tempat tidur dan juga ruang teve. Ada balkon di belakangnya. Dari balkon ini kita bisa melihat posisi Villa bagian para laki-laki yang cukup besar.

Mataku terhenti pada sebuah kursi goyang yang berada di balkon ini. Aku cukup tertarik untuk mencoba sensasinya. Kata orang kursi ini adalah kursi orang malas. Aku tidak peduli. Kupejamkan saja mataku, beristirahat sejenak ditemani pemandangan hijau yang cukup menyejukkan.

*****

Malam ini, Hujan tidak datang. Seakan Tuhan merestui susunan acara yang kami buat. Bahkan, Tuhan memberikan kami kesempatan untuk menatap langit malam yang begitu indah ditemani jutaan bintang juga bulan purnama yang melengkung indah.

Desy, Diana, dan Widi begitu bersemangat sekali.

"Aduh, Luna! Semangat, dong."

Aku hanya tersenyum kecil seraya mengangguk.

"Lun. Kita duluan gak pa-pa?" tanya Widi. Mereka pasti sudah tidak sabar untuk berkumpul. Jika aku mengizinkan itu berarti aku sendirian. Diana sudah lebih dulu pergi membantu Edvan bersama anak lain.

"Gak pa-pa. Duluan aja. Aku masih nyari sesuatu," jawabku.

Widi dan Desy pun pamit, meninggalkanku sendirian. Aku berjalan menuju jendela untuk mengintip mereka yang tengah sibuk dengan kegiatannya.

Karena merasa tidak enak, aku bergegas menyusul untuk membantu.

Beberapa laki-laki tengah sibuk menyusun kayu-kayu. Para perempuan sibuk menyiapkan mangkuk dan juga alas untuk duduk. Ada juga yang memilih mengangkat kursi Villa yang ditaruh pada teras untuk dibawa ke halaman.

Saat api unggun siap untuk dinyalakan, bersamaan itu seseorang berteriak dengan lantangnya. "Butuh gitar?"

Dan seketika aku terbius, seluruh gerakku terkunci dalam hitungan detik. Dia dan suara itu mampu membuat jantungku berdetak bukan dalam ritme yang biasanya.

"Percaya? Dia pasti datang," bisik Edvan disambuti senyuman oleh Diana.

Mendung Bukan Berarti HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang