14. Saat Nyata adalah Kita (3)

112 7 0
                                    

Katakanlah aku sang drama. Bukan pada sebuah teater ataupun pertunjukan lain. Melainkan, aku pemain drama di dalam hidupku sendiri. Bersikap seolah-olah aku bahagia di dalam semua luka yang kurasakan selama ini. Mudah memang. Tapi tahukah jika ini sangat menyiksa sekali.

Kala itu, dia hadir, masih dengan senyum yang sama. Namun yang kurasakan pada sebuah tatapannya mulai berbeda. Mata itu berbinar, ada bahagia di sana. Yang kutahu, bukan aku alasannya. Itu terpampang jelas. Bahkan amat begitu jelas.

Tiba-tiba saja ia membuka percakapan.

"Ini. Sejuta kali aku memintamu untuk bercerita tentang apa yang membuatmu terlihat murung, pasti kamu tidak akan menceritakannya bukan?"

Aku hanya mampu tersenyum simpul sembari menatap ke bawah, melihat kakiku yang terayun pelan.

"Ini buku diary untukmu. Warna merah, sebab aku tahu kamu tidak menyukai warna pink. Kamu kan setengah cewek, setengah cowok."

Mendengar itu, refleks aku menyenggol bahunya, merasa tak terima. Lalu, kurebut paksa buku itu dan memilih langsung pergi meninggalkannya yang tengah menertawaiku.

Tiba-tiba, aku merasakan sebuah tangan menyentuh pundakku.

"Makannya, sesekali coba buka hati buat cowok lain. Terus ini rambut dilepas, kek." Dia menarik tali rambutku dalam sekali tarikan, langsung terurai.

"Dan!!" Aku ingin merebutnya, namun dia justru berlari mengantunginya.

Di tengah-tengah aku yang berusaha untuk mengejarnya, seorang siswa menghalangi langkahku dengan menarik tanganku begitu saja.

"Luna!" Laki-laki itu tersenyum.

Aku diam, hanya mengernyit bingung karena merasa tidak kenal.

"Gue, Rangga. Yang tadi malam..."

Belum sempat siswa tadi menyelesaikan kata-katanya, Ardan sudah lebih dulu menarikku ke belakangnya.
Beberapa detik kurasakan Ardan melihat Rangga dengan tatapan yang entah mengandung arti apa. Aku tidak paham betul.

Namun, setelah kami berada di kelas, Ardan melepaskan tangannya dan berjalan begitu saja menuju bangkunya, meninggalkanku di depan pintu.

"Dasar aneh," gumamku.

Aku berniat memasuki kelas. Namun, tubuhku seakan membeku kala mendapati Lutfi berada di ruang kelasku.

Sepertinya dia menunggu Ardan sedari tadi. Aku memilih mundur, menghindari mereka berdua.

"Lo, Aluna, kan?" Dua siswi yang kuingat adalah teman sekelas Lutfi itu bertanya.

Aku mengangguk. "Iya."

"Gue cuma mau ngasih tahu. Lebih baik sadar posisi deh. Ardan itu pacarnya Lutfi sekarang. Lo gak usah terlalu deket. Kasihan si Lutfi. Dia cemburu tapi enggak bisa ngomong langsung. Karena dia enggak mau kalau sampai nyakitin Ardan. Makannya kita sebagai temannya yang ngomong sama lo. Di kelas lo kan banyak cewek. Kenapa gak gabung aja sama mereka."

Di hari itu juga aku memutuskan untuk perlahan menjaga jarak dengannya.


Mendung Bukan Berarti HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang