18

93 8 0
                                        

Gerakku sempat terjeda. Hanya untuk beberapa detik saja. Menatap tulisan tangan itu membuat hatiku bergemuruh. Coretan itu adalah coretan tangannya. Tidak beraturan dan sangat berantakan. Kadang aku heran. Dua belas tahun dia bersekolah. Tapi tetap saja tak bisa menulis dengan indahnya.

Ardan memang paling jelek untuk membuat sebuah catatan. Namun dia paling jago kalau urusan kaligrafi dan desain. Apalagi coretan-coretan dinding.

Mataku mulai membaca kata pertama.

'Hai, Una!
Semoga setelah kamu menemukan surat ini. Aku tidak sedang dalam tatapmu. Jika iya, sepertinya aku akan berlari karena malu.
Una! Maafkan aku yang selama ini berdiam diri. Menutup hati pada kenyataan yang seharusnya aku juga katakan.
Una, aku menyadari perasaanmu untukku. Aku tahu kamu melihatku lebih dari sekadar sahabatmu. Maafkan aku yang terlalu egois menahanmu. Seharusnya aku bisa membiarkanmu bahagia dengan salah satu dari mereka. Una. Aku cemburu. Maaf cemburuku bukan pada tempatnya. Aku tidak menyukai Rangga atau siapapun yang mendekatimu. Tapi aku terlalu takut untuk menjelaskan semua rasa itu. Una aku mencintai Lutfi. Bahkan sejak sebelum kita bertemu. Namun dia justru membalasku dengan penghianatannya. Aku tahu tapi memilih untuk tetap diam. Aku hanya ingin melihat sampai di mana dia akan berkata jujur. Dan kamu, satu-satunya yang bisa menghentikan amarahku. Hanya dengan menatapmu saja aku bertahan. kamu  adalah sesuatu menawarkan satu rasa baru untukku. Kamu menawarkan segala yang aku butuhkan. Una. Maaf untuk semua luka yang kutorehkan. Maaf karena tidak bisa mempertahankanmu. Aku menyukaimu. Aku menyukai semua tentangmu. Semoga waktu bisa mempertemukan kita kembali pada rasa yang sama. Terima kasih untuk segalanya Alluna."

Tanpa sadar. Aku meremas kertas itu dalam genggaman.

Mendung Bukan Berarti HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang